Pagi itu, kertas kecil itu masih ada di atas meja dapur restoran, tempat aku biasa memulai hari. Aku tidak tahu sejak kapan kertas itu diletakkan di sana, apakah tadi malam atau pagi-pagi buta, tapi itu tak terlalu penting. Yang penting adalah pesan yang tertera di kertas itu.
"Matsuri. Datang?"
Sakura, dengan gaya yang sederhana namun penuh makna. Gambar sakura yang dia buat dengan pensil warna halus di sisi kertas itu seolah memperlihatkan betapa dia tahu betul caranya menarik perhatianku. Aku memegang kertas itu dengan tangan gemetar, seolah ini adalah undangan untuk sebuah momen besar dalam hidupku. Tapi di sisi lain, rasa cemas muncul begitu saja. Aku ingin datang, tentu saja. Tapi ada begitu banyak keraguan. Apakah aku diundang karena dia ingin aku datang, atau hanya karena dia merasa tidak enak jika tidak mengundangku? Aku tidak tahu.
Satu-satunya petunjuk yang aku miliki adalah gambar yukata yang dia gambar dengan begitu rinci, yukata biru dengan pola bunga kecil. Aku membayangkan betapa indahnya dia mengenakannya, dengan rambut yang disanggul rapi. Di satu sisi, aku merasa cemas dan takut tidak bisa memenuhi ekspektasi, tapi di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang menggelora tentang apa yang akan terjadi jika aku benar-benar datang.
Aku melipat kertas itu perlahan dan menyimpannya di saku dada. Jantungku berdetak cepat, bukan karena antusiasme, tapi karena ketidakpastian yang membanjiri pikiranku. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus datang dengan segala ketidakpastian ini? Apakah aku pantas ada di sana?
Siang harinya, saat Kenji datang ke dapur membawa bahan untuk stok, aku merasa perlu untuk bertanya. “Kenji-san,” suaraku pelan, penuh keraguan. “Kamu punya... yukata?”
Kenji memandangku sejenak, lalu menyeringai. “Buat apa?” tanyanya, nada suaranya seolah meragukan pertanyaanku.
Aku terdiam sejenak, lalu dengan suara pelan, hampir seperti anak kecil yang mengaku salah, aku berkata, “Ada yang ngajak ke festival.”
Kenji menggelengkan kepala sambil mendesah panjang, tampaknya tidak mengerti betul situasinya. “Kamu ini selalu kelihatan bingung kalau ada hal baru. Tunggu sini,” katanya, kemudian pergi tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Aku hanya bisa mengangguk, walau perasaan cemas masih membebani dada. Apakah aku benar-benar siap untuk ini?
***
Sepuluh menit kemudian, Kenji datang kembali, membawa sebuah kantong plastik besar. Dia meletakkannya di meja depan aku dan berkata dengan nada serius yang tidak biasa terdengar darinya, “Ini dulu punya aku waktu masih kurus. Jangan bikin malu, ya.”
Aku membuka kantong itu perlahan dan melihat yukata biru tua dengan pola gelombang laut. Obi-nya terlihat kaku, dan sandal yang terbungkus di dalam kantong itu tampak sedikit lebih besar dari ukuran kaki aku. Kenji memberi aku pandangan tajam. “Mudah-mudahan cukup muat,” katanya dengan gurauan yang khas, walau aku tahu ada sedikit kekhawatiran di balik kata-katanya.
Aku mengangguk, berusaha menunjukkan bahwa aku mengerti dan tidak merasa terbebani. Aku merasa seperti anak kecil yang sedang diberi pelajaran oleh orang dewasa, tapi di sisi lain, ada rasa hangat yang mulai tumbuh. Kenji mungkin tidak menyadari itu, tapi dia telah memberikan sedikit keberanian di dalam diriku, bahkan tanpa kata-kata yang besar.
Aku mengunci pintu kamar dan berdiri di depan cermin. Perlahan aku mengenakan yukata itu. Sandalnya sedikit kebesaran, obi-nya kaku dan sulit untuk diikat dengan sempurna, tapi saat aku berdiri di depan cermin, sesuatu terasa berbeda. Aku merasakan semacam kebanggaan dalam diri sendiri. Tidak sempurna, memang, tapi aku merasa bahwa aku sudah mencoba. Aku ingin pergi. Aku ingin mencoba.
Dengan langkah pelan, aku melangkah keluar dari kamar, menuju ke taman tempat festival itu biasa diadakan. Angin sore mengusap wajahku, dan aku tidak bisa menghindari ketegangan di dalam dada. Setiap dua langkah, aku berhenti, memastikan apakah yukata-ku kusut atau sandal ini berbunyi terlalu keras. Aku merasa seperti orang asing dalam dunia yang begitu jauh dari rutinitas sehari-hari. Tapi di sisi lain, aku juga merasa ada semangat yang membara, semangat untuk menghadapi ketidakpastian itu, untuk mencoba sesuatu yang baru.
***
Langit mulai menguning, disinari cahaya senja. Festival musim panas itu telah dimulai. Dari jauh, suara genderang taiko terdengar menggema, dan aroma makanan dari stand-stand kecil mulai memenuhi udara. Setiap langkah yang aku ambil terasa semakin berat, seolah aku sedang berjalan menuju sebuah pintu yang tak pasti, yang mungkin akan mengungkapkan sesuatu yang lebih besar dari apa yang aku bayangkan.
Aku berhenti beberapa kali untuk memeriksa yukata-ku, memastikan semuanya tidak kusut atau mengganggu gerakan. Sandal ini terdengar terlalu keras saat aku berjalan, dan aku merasa sedikit cemas. Aku tidak ingin menarik perhatian yang salah. Tidak ingin terlihat seperti orang yang tidak tahu apa yang dia lakukan. Aku hanya ingin menjadi bagian dari festival itu, menjadi bagian dari momen itu, bersama Sakura.
Akhirnya, setelah beberapa menit berjalan, aku tiba di taman. Suasana festival begitu hidup, orang-orang tertawa, anak-anak berlarian, penjaga stand berteriak menawarkan makanan, dan di antara semua itu, aku melihat dia. Sakura.
Di bawah lentera-lentera kertas yang bergoyang ditiup angin sore, dia berdiri dengan anggun, mengenakan yukata yang sama persis seperti yang digambar di kertas undangan itu. Tanpa banyak gerakan, Sakura tampak begitu alami di sana. Rambutnya disanggul rapi, dan senyumnya tidak lebar, hanya sebuah anggukan pelan. Saat mata kami bertemu, tidak ada kata-kata, hanya tatapan yang penuh makna.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan yang mengalir begitu saja dalam diriku. Tetapi anggukan itu, anggukan yang begitu sederhana, terasa lebih dalam dari seribu kata-kata.
Sakura mengangguk pelan sekali lagi. Tanpa berkata apa-apa, dia memberikan senyuman kecil. Itu bukan senyum lebar atau ceria, melainkan senyum yang penuh dengan pengertian. Seolah dia sudah tahu segala hal yang aku rasakan, bahkan tanpa perlu mendengarnya.
Aku merasa seperti ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami, tetapi dalam diam itu, aku tahu satu hal, aku datang. Aku berani datang, meskipun penuh dengan ketidakpastian. Dan itu sudah cukup.