Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Aku berdiri di depan gedung kaca besar dengan tulisan mencolok: “Tokyo Toshokan – Public Library.” Dari jauh, gedung itu tampak seperti benteng pengetahuan. Rapi, modern, dan super serius. Tapi buatku, ini bukan tempat yang penuh harapan, melainkan sumber harapan palsu yang bikin hati ini deg-degan.

Langit pagi Tokyo cerah, tapi entah kenapa aku malah merasa kayak badai lagi siap datang. Napasku sedikit tercekat. “Oke, Arya, kamu sudah di sini. Sekarang, jangan bikin malu,” kataku dalam hati sambil berusaha menenangkan diri.

Saat melangkah masuk, dinginnya AC langsung menyerang kulitku. Rasanya kayak disambut oleh ibu tiri yang cuek dan dingin, yang cuma peduli soal aturan dan sopan santun, bukan soal kenyamanan anak tiri yang lagi butuh kehangatan. Semua pengunjung di perpustakaan ini tenggelam dalam dunia masing-masing: ada yang sibuk baca buku tebal yang entah apa isinya, ada yang ngetik laptop dengan kecepatan kayak hacker, dan yang lain menatap layar dengan ekspresi “aku baru saja menemukan rahasia alam semesta.”

Sementara aku? Aku cuma datang dengan ponsel butut dan harapan seadanya. Aku mencari-cari colokan listrik, ibarat petani yang mencari sumber air di padang pasir. Suara detak jam dinding perpustakaan terdengar lebih keras dari biasanya, mengingatkanku bahwa waktu terus berjalan, dan aku belum punya kerjaan, visa juga cuma turis, dan entah sampai kapan aku bisa bertahan.

Aku berjalan pelan, mencoba tidak menarik perhatian, tapi juga takut terlalu tenggelam dalam kesunyian yang menekan. Rasanya seperti jadi alien di tengah kota yang bergerak cepat. Aku menatap sekeliling, melihat betapa seriusnya semua orang, dan bertanya dalam hati, “Apa aku benar-benar pantas ada di sini?”

Lalu, di pojok lantai dua, aku menemukan oase kecil: kursi kosong di dekat jendela, dengan colokan listrik dan sinar matahari yang lembut masuk. Sejenak, aku merasa seolah menemukan tempat berteduh dari badai kehidupan yang menghantamku.

Aku duduk, menyalakan ponsel, dan menghela napas panjang. Mungkin ini bukan tempat untukku bersinar, tapi setidaknya aku bisa bertahan untuk beberapa saat. Aku berbisik pelan ke diri sendiri, “Oke, jangan menyerah. Cari cara. Jalan terus.”

Aku melangkah ke kursi kosong di pojok lantai dua, yang entah kenapa terasa seperti zona nyaman kecil di tengah hiruk-pikuk pikiran. Colokan listrik di dekatku seolah jadi oase di padang pasir teknologi. Aku colokkan ponsel bututku yang sudah kayak veteran perang, siap bertempur menghadapi dunia nyata.

Sinar matahari masuk pelan lewat jendela, menerangi layar ponsel yang retak ini, dan aku merasa sejenak seperti karakter utama dalam film indie, meskipun ceritanya lebih ke komedi tragis.

Dengan penuh harap, aku buka Google Translate, alat sakti yang selama ini jadi jimat bertahan hidupku. Aku mengetik pertanyaan yang sudah bertahun-tahun mengganggu pikiranku:

“Apakah bisa kerja di Jepang dengan visa turis?”

Jantungku berdetak kencang. Seolah-olah jawaban dari Google Translate akan menentukan hidup atau matiku hari ini.

Layar memuat dengan lambat, seolah sengaja menahan detik-detik keputusasaan yang akan datang.

Akhirnya muncullah jawaban panjang, penuh kalimat formal, istilah hukum, dan frasa yang aku yakin hanya dimengerti oleh pengacara visa. Tapi inti pesan itu jelas: tidak bisa.

Aku menutup tab itu, merasa seperti habis ditampar tanpa alasan.

Tapi aku nggak mau menyerah cuma karena satu kata: “tidak.”

Aku mulai mencari dengan kata kunci yang lebih optimis dan “ajaib,” berharap ada celah: “part-time tokyo foreigner ok cash daily pay.”

Apa yang muncul? Forum-forum samar yang desainnya masih pakai template jadul dari tahun 2004, penuh iklan berkedip yang bikin mata hampir juling. Di antara itu, ada satu yang menarik: lowongan “Staff Cafe Pembersih Jam Tutup” dengan janji gaji harian dan shift malam. Tidak perlu pengalaman.

Aku senyum tipis, “Ini dia, mungkin kesempatan gue.”

Tapi, ya, tulisan di formulir aplikasi itu campur aduk, Inggris patah-patah dan Jepang yang bahkan Google Translate pun bingung menerjemahkan. Aku coba isi dengan segala usaha.

Nama? Arya Satya.

Visa? Pertama aku tulis “Student visa,” lalu hapus. Ketik “Working holiday visa,” hapus lagi. Akhirnya, aku ketik “Short stay visa,” berharap sistemnya cuma ngantuk dan nggak ngecek.

Bahasa? English, little Japanese, Indonesian.
Pengalaman kerja? “Konbini helper (temporary).” Padahal, jujur aja, aku cuma pernah berdiri di depan konbini selama sejam, bukan helper yang sebenarnya.

Aku tarik napas dan tekan tombol submit dengan penuh harap.

Layar loading. Detik-detik terasa lebih lama dari ujian skripsi dulu.

Tiba-tiba muncul tulisan merah menyala:
“Invalid visa status. Please apply with work permit.”

Aku menatap layar itu dengan ekspresi antara marah dan geli.
“Seriusan nih, internet aja udah nge-bully aku?”

Aku memasukkan ponsel ke saku, napas mulai berat, tapi hatiku masih menolak menyerah. Karena kalau menyerah sekarang, kapan lagi?

Aku duduk di sana, menatap layar ponsel dengan perasaan yang campur aduk antara kesal, lelah, dan sedikit geli. Pesan merah itu seperti tamparan keras dari dunia maya yang bilang, “Bro, kamu gak boleh main-main di sini tanpa izin resmi!”

Aku pikir, serius nih? Aku baru buka aplikasi kerja, belum nyentuh apapun, eh, sudah kena reject duluan sama sistem komputer? Kayak baru ngelamar jadi pacar aja udah ditolak, apalagi kerja!

Dengan napas berat, aku masukkan ponsel ke saku dan berdiri. Aku berjalan pelan menuju jendela, menatap langit yang lebih cerah dari suasana hatiku. Aku merasa transparan, kayak hantu yang lewat tanpa bisa disentuh atau dilihat orang.

Tapi entah kenapa, hati kecilku berbisik, “Jangan berhenti sekarang, Arya. Kau harus terus berjuang, walau dunia bilang ‘no’.”

Besoknya, aku teringat sesuatu yang aku lihat kemarin. Papan iklan di luar stasiun yang menawarkan kerja konstruksi. Mungkin di sana ada peluang.

Aku segera melangkah ke tempat itu, penuh harap tapi juga was-was. Kantor kecil itu sederhana, dengan dua pria botak yang duduk santai sambil menyeruput kopi dari mesin yang terlihat sudah lama tak berfungsi sempurna.

Aku mengangguk sopan dan berkata dengan bahasa Jepang seadanya, “Eto... jobu... arimasu ka?” (Ada pekerjaan?)

Salah satu dari mereka menatapku, menurunkan koran dengan santai, lalu tanya, “Visa?”

Aku ragu-ragu menjawab, “Tori...stu. Tourist.”

Pria itu tertawa. Tapi ini bukan tawa ramah atau menghibur. Ini tawa singkat dan dingin, seperti batuk yang bikin kamu merasa kecil dan gak penting.

“Dame. No visa, no work.”

Lalu dia balik ke korannya, tanpa memandang lagi.

Aku melengos keluar dari kantor itu, merasa seperti badut yang baru saja dipermainkan. Langit di luar tampak lebih terang, tapi aku? Aku merasa semakin gelap, semakin tidak berarti.

Aku duduk di bangku taman dekat stasiun, membuka catatan di ponsel dan mulai mengetik:
Catatan untuk Arya yang dulu: Jangan lari ke Jepang cuma karena kamu suka anime dan stres sama skripsi. Ini bukan drama, ini nyata. Di sini, tanpa legalitas, kamu hanya jadi bayangan.

Aku menatap layar ponsel, lalu menambahkan: Catatan untuk Arya yang sekarang: Kamu harus makan malam. Jadi jangan lebay. Jalan terus. Cari Wi-Fi. Cari tempat duduk. Cari rejeki, walau cuma sepotong roti.

Aku tahu, perjalanan ini masih panjang, penuh liku, dan kadang terasa konyol. Tapi aku harus terus berjalan.

***

Sore itu, setelah ditolak di kantor konstruksi dan merasa seolah-olah menjadi pengunjung tak diundang di negeri orang, aku duduk sendiri di bangku taman dekat stasiun. Suasana kota yang sibuk dan penuh orang berlalu-lalang kontras dengan kekosongan di dadaku.

Aku membuka kembali ponsel bututku, yang sudah seperti teman setia sekaligus saksi bisu perjuanganku. Di layar kecil itu, aku mengetik pesan untuk diri sendiri, seolah memberi nasihat bijak dari masa depan ke masa lalu yang penuh harap dan kebingungan.

"Jangan kabur ke Jepang cuma karena kamu suka anime dan stres skripsi. Ini bukan film. Ini dunia nyata. Di sini, kamu tak bisa jadi apa-apa kecuali kamu legal."

Aku tertawa kecil sendiri, setengah sedih, setengah geli. Betapa absurdnya perjuanganku ini. Tapi aku tahu, tertawa adalah satu-satunya cara untuk tetap waras.

Lalu aku menambahkan: "Tapi, Arya, kamu juga harus makan malam. Jadi jangan lebay. Bergerak. Cari Wi-Fi lagi. Cari tempat duduk. Cari sisa roti. Jalan terus."

Matahari mulai meredup, lampu kota menyala satu per satu. Aku bangkit dari bangku, menarik napas dalam-dalam. Meskipun dunia ini keras dan penuh penolakan, aku tahu aku harus terus berjuang. Karena menyerah bukan pilihan.

Dengan langkah yang sedikit lebih ringan, aku berjalan menyusuri jalanan Tokyo, kota yang tampak kejam tapi juga penuh peluang. Mungkin aku belum menemukan jalan yang benar, tapi setidaknya aku masih berjalan.

Dan itu sudah cukup untuk hari ini.
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tok! Tok! Magazine!
87      75     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Fidelia
2058      882     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Di Bawah Langit Bumi
2028      766     86     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Atraksi Manusia
441      324     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2092      931     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Paint of Pain
734      514     27     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Love Yourself for A2
26      24     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
Unframed
409      307     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Interaksi
332      267     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Trying Other People's World
121      106     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...