Aku melangkah masuk ke dalam konbini dengan hati-hati, seolah aku ini agen rahasia yang sedang menyusup ke markas musuh.
Sebenarnya sih, aku cuma mau bertahan hidup sebentar, bukan belanja, tapi bertahan. Seperti vampir yang mencari sinar matahari palsu, aku mencari secuil kenyamanan di tengah malam Tokyo yang beku.
Lampu konbini itu menyambutku dengan cahaya putih steril, bikin aku merasa kayak pasien di rumah sakit gigi yang baru saja dibius.
AC-nya mendesis pelan, seperti memberi tahu, “Hei, sini dingin, jangan banyak gerak.” Rak-rak berdiri rapi, berjajar seperti prajurit yang siap menjaga wilayah mereka. Semua terlihat terlalu sempurna, terlalu bersih, terlalu... resmi untuk seseorang yang belum mandi dua hari dan bau seperti petualang yang kehabisan air.
Kupungut keranjang belanja dari rak depan, walau aku tahu aku nggak bakal beli apa-apa yang mahal.
Keranjang itu lebih seperti properti buat teatrikalitas semu. Aku berdiri di sana, pura-pura memilih barang, meski sebenarnya mataku cuma menatap kosong.
Aku coba menguasai seni berpura-pura ini dengan serius, supaya tidak kelihatan seperti gelandangan yang kebetulan ngendon di tempat itu.
Aku genggam keranjang belanja dengan penuh wibawa, meskipun wibawa itu cuma pura-pura doang. Ritual klasik konbini pun dimulai: berpura-pura memilih barang seolah aku ahli kuliner Jepang sejati, padahal aku baru tahu onigiri itu apa dari anime.
Langkah pertama: aku berhadapan dengan rak nasi bento. Aku pelajari setiap label dengan seksama, pura-pura membaca komposisinya.
Padahal kanji di situ? Kalau aku coba baca, itu cuma seperti bahasa alien tingkat dewa. Jadi aku cuma angguk-angguk dan sesekali mengernyitkan dahi, biar kelihatan paham. “Hmm... ayam? Mungkin... nasi? Bisa dimakan?” pikirku.
Langkah kedua: bagian makanan ringan. Aku berdiri di sana selama tujuh menit, memperbandingkan dua bungkus keripik kentang yang harganya sama, kayak orang yang mau pilih jurusan kuliah. Kalau dipikir-pikir, ini sama aja kayak debat internal soal hidup: “Ini enak, itu enak... mana yang lebih worth it?”
Akhirnya aku cuma pilih satu yang bungkusnya lebih lucu, supaya dapat bonus moral.
Langkah ketiga: minuman. Aku muter-muter lemari pendingin dua kali seperti hantu bingung yang kehilangan arah. Tiap lima menit, aku geser ke sisi lain supaya tidak terlalu mencurigakan.
Tapi hasilnya? Aku malah kelihatan seperti pencuri pemula yang baru belajar cara ngendap-ngendap. Buru-buru balik ke depan lemari, pura-pura lihat harga. “Ini murah... Eh, itu lebih murah!” Ujung-ujungnya aku cuma pilih teh botol biasa, karena rasa takut aku beli sesuatu yang aneh dan gak bisa diminum.
Dari balik meja kasir, aku sadar ada sepasang mata yang mengamati: pria dengan rambut klimis dan ekspresi wajah kosong yang nggak beda jauh sama robot kasir di film sci-fi.
Nametag-nya bertuliskan “Kenji.” Aku menatap balik, tapi dia nggak berkedip. Aku jadi merasa seperti sedang diperiksa dalam ujian mata laser.
Kenji itu, kasir konbini dengan rambut yang licin seperti baru disisir oleh angin topan, menatapku dari balik meja dengan ekspresi yang, jujur saja, lebih dingin dari AC ruangan ini.
Dia kelihatan seperti robot yang baru saja diprogram ulang supaya nggak peduli sama perasaan manusia. Aku, di sisi lain, merasa seperti kriminal kelas berat yang ketahuan nyolong… udara.
Akhirnya aku memutuskan buat beli sesuatu sebagai “tanda cinta” ke konbini ini. Aku ambil dua onigiri, si nasi segitiga favorit para pelancong miskin, dan satu teh botol yang dingin. Sebagai “tebusan moral” aku menyerahkan barang-barang itu ke Kenji.
Dia memindai barang tanpa sepatah kata. Tangannya bergerak cepat, dingin, dan profesional, bikin aku merasa aku cuma angka di layar kasirnya. Aku coba memecah kebekuan dengan kata-kata sederhana, “Ano... Samui ne,” ucapku sambil menggigil pura-pura. Artinya: “Eh... dingin, ya.”
Kenji menatapku, ekspresinya kosong. “Hah?” katanya datar, seperti robot yang lagi error. Aku buru-buru tambah, “Umm… weather. Cold.” Dingin, bukan dingin hati, aku tekankan dalam hati.
Lalu dia angguk, tapi lama menatapku. “You again,” katanya datar.
Aku kaget. “Eh?” Ternyata dia ingat aku! Si tukang pura-pura belanja, yang duduk lama, makan pelan, dan tak pergi-pergi itu.
Aku tertawa kaku, “Ah... I like konbini. Warm.”
Matanya menyipit penuh curiga, “Student?”
Aku mengangguk, meski aku nggak yakin itu jawaban asli atau cuma refleks bertahan hidup.
“ID?” tanyanya tegas.
Aku membeku. “Umm… forgot.”
Dia menatapku dua detik, lalu menghela napas panjang seperti guru yang sedang menyerah dengan murid nakal. “Don’t make trouble.”
Aku menunduk, bilang, “Okay.”
Dia menyerahkan belanjaanku sambil berkata, “Tiga ratus tujuh puluh yen.”
Aku bayar tunai, koin terasa berat di tangan, entah karena dingin, entah karena harga hidup yang mulai menekan.
Aku duduk di meja kecil di pojok konbini, tempat yang hanya muat satu kursi dan satu colokan listrik. Pojok ini terasa seperti markas rahasia kecilku, tapi dengan pemandangan kaca yang menampilkan jalanan malam Tokyo yang sibuk, penuh lampu kendaraan dan orang-orang yang terlihat punya tujuan, berbeda denganku yang cuma duduk di sini untuk bertahan.
Aku mulai makan onigiri pertama dengan sangat pelan, seolah-olah setiap gigitan adalah momen bersejarah yang harus dinikmati sepenuh hati. Teh botol kuhisap perlahan, seperti ritual sakral yang menjaga aku tetap hangat dan waras. Makan di konbini ini, entah kenapa, terasa seperti pelukan hangat dari saudara sepupu jauh yang nggak suka sama kamu tapi tetap rela antar pulang karena perintah ibunya. Hangat, tapi awkward.
Setiap kali pintu otomatis konbini terbuka, angin malam yang dingin menyusup masuk, membuat aku langsung meringkuk dalam jaket. Aku tetap duduk di sana, terus makan dengan pelan dan hati-hati, seperti nggak mau kehabisan sedikit pun kenyamanan yang aku punya malam ini.
Onigiri pertama habis setelah hampir sepuluh menit. Teh botol? Aku kunyah pelan-pelan, bukan cuma meneguk, karena ini bukan cuma minum, ini tentang bertahan hidup.
Dari balik meja kasir, Kenji beberapa kali melirikku, ekspresinya masih dingin tapi entah kenapa ada sesuatu yang beda malam ini.
Aku hampir selesai makan ketika tiba-tiba Kenji berdiri dan keluar dari balik meja kasir. Langkahnya tenang, seperti ninja yang sudah menghabiskan shift panjang tanpa tidur. Dia mendekat ke mejaku, lalu dengan ekspresi yang sama dinginnya, tapi entah kenapa aku merasa ini adalah gestur paling hangat yang pernah aku terima, meletakkan sebuah bungkusan plastik di depan wajahku.
“Bento leftover. Will throw anyway,” katanya polos, tanpa ekspresi, seolah ini cuma urusan sampah biasa.
Aku menatapnya dengan mata membesar. “Hah? For me?”
Dia hanya mengangguk singkat dan berjalan kembali ke posisinya seolah tak pernah pergi. Aku duduk diam beberapa detik, bingung sekaligus terharu.
Plastik itu terasa berat di tangan, isinya nasi, sepotong ayam, dan setengah telur. Bukan makanan mewah, bukan juga hidangan gourmet. Tapi malam itu, di tengah dinginnya Tokyo, itu adalah hadiah Nobel rasa kasih sayang.
Makan sisa bento itu, aku merasa bukan lagi cuma gelandangan yang bertahan hidup. Aku merasa sedikit lebih manusia. Sedikit lebih dihargai, walau cuma oleh Kenji si kasir klimis yang tampaknya punya hati walau disembunyikan rapat-rapat.