Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Lampu-lampu Shinjuku terus menari di balik lensa kameraku, menciptakan tarian warna yang kacau namun memesona. Merah menyala dari neon restoran ramen di sudut jalan, biru dingin dari papan iklan elektronik yang menyilaukan, dan kuning hangat dari lampu jalan yang tergantung rendah di atas trotoar. Suara langkah kaki bergema di antara gedung-gedung tinggi, iramanya teratur dan cepat seperti detak jam yang tidak bisa dihentikan.

Aku duduk di bangku taman kecil yang berdebu di pinggir jalan, tepat di bawah pohon ginkgo yang menggugurkan daun-daunnya satu per satu. Udara malam Tokyo dingin namun segar, membawa aroma minyak goreng dari warung dekat sana dan wangi samar bunga sakura yang tersisa sejak festival musim semi berlalu. Dari kejauhan, klakson kendaraan terdengar sayup, diselingi gumaman orang-orang yang lalu-lalang. Semuanya terasa jauh, seperti berasal dari dunia lain yang tidak lagi kutinggali.

Kamera ponselku terus bekerja keras, mencoba menangkap momen-momen yang bergerak cepat, menyulap kebisingan menjadi gambar-gambar yang tampak penting. Aku mengarahkan lensa ke pantulan lampu di jendela gedung kaca, membekukan kepala-kepala yang melintas sebagai siluet anonim, mencoba mengabadikan langit malam yang dipenuhi kehidupan.

Kutekan tombol shutter berkali-kali. Aku ingin menangkap bukan hanya cahaya, tapi juga perasaan. Aku ingin mengabadikan kebebasan. Atau setidaknya, memalsukannya.

Di dalam kepalaku, suara kecil terus berbisik. Kenapa aku di sini. Apa yang sebenarnya kucari. Awalnya kupikir ini pelarian yang menyenangkan, membuang uang untuk kesenangan sesaat. Tapi mengingat bahwa aku harus kembali ke hidup yang sama, rasanya memuakkan. Aku segera memalingkan wajah dari pertanyaan itu dan bersembunyi di balik senyum buatan.

Mataku menyapu jalanan yang dipenuhi wajah-wajah asing. Mereka semua berjalan cepat tanpa menoleh, seperti mesin yang sudah diprogram. Efisien dan tanpa cela. Aku merasa seperti boneka yang tersesat di panggung yang sudah mulai, tanpa naskah dan tanpa arah.

Tas di sampingku terasa berat, bukan karena isinya, melainkan karena beban ketidakpastian yang kian menekan dada. Kuteguk teh dingin yang kubeli sejak pagi, namun rasanya hambar. Sama seperti energiku yang menguap tanpa tujuan.

Pada detik-detik itulah aku sadar bahwa kebebasan yang kucari bukanlah tentang tempat. Bukan tentang Tokyo atau Jakarta. Tapi tentang bebas dari rasa takut, dari masa lalu, dari masa depan. Namun di kota yang tidak pernah tidur ini, aku hanya bisa duduk diam, menatap lampu-lampu yang bahkan tidak peduli padaku, dan merasa semakin kecil.

Ponselku tiba-tiba bergetar di saku jaket. Nada dering yang familiar memecah kesunyian semu di tengah hiruk-pikuk malam. Jantungku berdetak lebih cepat, entah karena apa.

Layar menampilkan nama Ibu. Aku ragu sejenak, lalu menekan tombol hijau dengan jari yang gemetar.

"Bu?" Suaraku keluar lebih tinggi dari biasanya, setengah tak percaya, setengah berharap ini hanya panggilan biasa.

Namun yang kudengar bukan suara hangat ibu yang biasa menyambutku. Hanya napas terengah-engah, seperti seseorang yang sedang berlari, dan suara gaduh samar yang tidak jelas.

"Bu? Ibu kenapa? Halo? Bu, bisa dengar?" Suaraku meninggi, dipenuhi kecemasan.

Lalu terdengar suara lain, lebih panik, bercampur bisikan dan jeritan yang membuat dadaku membeku.

"Arya." Suara itu pelan, retak seperti kertas yang disobek perlahan. "Rumah kita dijarah. Semua hilang."

Aku terpaku. Kata-kata itu menggantung di udara, seperti pukulan yang datang dari kejauhan tapi menghantam dengan telak.

"Apa?" tanyaku dengan suara nyaris tak terdengar. Aku takut ini mimpi buruk, yang sebentar lagi akan lenyap.

"Iya. Papa diseret ke pos keamanan. Katanya mendukung pihak yang salah. Tapi kami tidak tahu apa-apa soal politik. Kami hanya jualan kecil-kecilan." Suara ibu mulai pecah. "Rumah habis, Arya. Kamu..."

Suaranya terisak, penuh kepedihan yang belum pernah kudengar dari ibu yang biasanya kuat dan tegas.

"Aku sudah coba telepon kamu sejak sore, tapi tidak nyambung. Arya, kamu jangan pulang dulu. Jangan pulang. Di sini kacau. Sangat kacau."

Aku berdiri tanpa sadar, lalu duduk kembali. Tubuhku gemetar, dadaku sesak seperti tertimpa batu besar. Semua rasa yang selama ini kuanggap jauh kini datang membanjiri sekaligus.

"Bu, pelan-pelan. Papa di mana sekarang? Kamu aman tidak? Kamu di mana?"

"Ibu di rumah Bu Tatik. Mereka sembunyikan kami. Tapi Arya, kamu harus dengar Ibu. Jangan pulang. Tolong."

Aku mencoba menyerap setiap kata, tapi panik mulai menjalari tulang sumsumku.

"Aku akan cari cara," ucapku lirih, terbata-bata.

Lalu suara di ujung sana menghilang. Digantikan oleh nada bip yang menusuk telinga.

Sambungan terputus.

Aku menatap layar ponsel dengan tidak percaya. Kutekan tombol ulang panggilan, tapi yang kudengar hanya suara operator yang dingin dan hampa.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.

Tanganku gemetar hebat. Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman.

Dan di tengah cahaya lampu kota yang terus menyala tanpa peduli, aku menyadari satu hal. Rumah yang kutinggalkan mungkin tidak lagi menjadi tempat untuk pulang.

Hening memenuhi udara setelah suara bip itu. Aku masih terpaku, jari-jari kaku memegang ponsel yang terasa panas karena ketegangan. Nafasku tercekat, dan pikiranku berputar liar tanpa arah.

Bayangan rumah yang kukenal tiba-tiba terasa jauh dan rapuh. Rumah yang dulu penuh tawa dan aroma masakan ibu, kini berubah menjadi tempat yang diserbu dan dirampas begitu saja. Dijarah. Kata itu berulang di kepalaku, bergema seperti dentuman yang tak kunjung berhenti.

Aku mencoba menenangkan diri, memutar ulang kata-kata ibu di kepala. Papa diseret ke pos keamanan. Apa maksudnya. Orang-orang bilang dia mendukung pihak yang salah. Tapi keluarga kami bukan siapa-siapa dalam politik. Kami hanya orang biasa, jualan kecil-kecilan, hidup sederhana tanpa ambisi besar.

Hatiku mencelos.

Aku membayangkan wajah papa. Kuat, pendiam, dan selalu menjadi tempat ibu bersandar ketika dunia terasa berat. Sekarang dia dituduh tanpa alasan. Sedangkan ibu dan kami hanya bisa bersembunyi, bergantung pada kebaikan tetangga. Rumah Bu Tatik.

Aku membayangkan ibu yang biasanya tegas, kini suaranya pecah dan tersedak, seolah menahan tangis yang tidak tertahankan.

Aku coba telepon kamu sejak sore. Nggak nyambung terus, Arya. Kata-kata itu berputar di ingatan.

Perasaan bersalah perlahan merambat, menggerogoti dada. Kenapa aku tidak bisa di rumah. Kenapa aku harus jauh di sini, di kota yang bahkan tidak tahu bahwa aku sedang berjuang menerima kenyataan ini.

Aku menatap sekeliling. Jalanan masih ramai, lampu masih menyala terang, tapi di dalam diriku, dunia runtuh satu demi satu.

Mataku mulai panas, tapi aku tidak menangis. Belum.

Aku ingin berkata, aku akan pulang. Tapi suara ibu yang memohon agar aku jangan pulang masih terngiang jelas. Ada ketakutan dalam suaranya yang tidak bisa kupahami sepenuhnya.

Aku bingung. Antara rindu dan takut. Antara cinta dan cemas.

Bingung apakah aku harus tetap di sini, atau berlari pulang ke tanah yang kini tak lagi terasa aman.

Di balik kesunyian yang menyelimuti malam Tokyo, aku berdiri di tengah kota asing, membawa koper dan beban yang jauh lebih berat dari yang pernah kubayangkan.

Aku menatap layar ponsel yang kini hanya memancarkan cahaya dingin. Pesan suara operator berulang tanpa emosi. Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.

Aku mencoba mengulang panggilan. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi selalu suara yang sama yang menyambut. Datar dan tak peduli. Jantungku berdegup semakin cepat. Nafasku mulai tak teratur. Rasa putus asa menyelinap, perlahan menggerogoti.

Di sekitar, hiruk-pikuk kota Tokyo terus berlangsung seperti biasa. Orang-orang melewati bangku taman tempat aku duduk, sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Beberapa melirikku sekilas, mungkin heran dengan ekspresi wajah yang tak bisa kusembunyikan, tapi tak satu pun berhenti. Mereka kembali pada dunia mereka. Dunia yang tidak menyisakan tempat untukku malam ini.

Tanganku mulai gemetar, memegang ponsel erat-erat, seolah benda kecil itu adalah satu-satunya penghubung ke dunia yang semakin jauh. Aku coba mengirim pesan singkat. Tak ada balasan. Sinyal penuh. Tapi koneksi ke rumah seperti terputus total.

Rasanya seperti terapung di tengah samudra luas tanpa pelampung. Ombak ketakutan dan kekhawatiran menghantam dari segala arah. Aku ingin berteriak, tapi suara tersekat di tenggorokan. Aku ingin menangis, tapi seolah air mata telah mengering bersama keberanianku.

Aku berdiri dan berjalan tanpa arah, menyusuri jalanan Shinjuku yang terang benderang tapi terasa kosong. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap meter menjauhkan aku dari rumah.

Aku berusaha mengingat siapa saja yang bisa kuhubungi. Teman. Kerabat. Kedutaan. Tapi semua terasa jauh dan tak pasti. Aku seperti terjebak dalam labirin. Tidak ada jalan keluar.

Sesekali aku menengadah menatap langit malam yang tertutup awan tipis. Mencari sesuatu. Harapan barangkali. Tapi yang kutemukan hanya kegelapan.

Aku menarik napas dalam-dalam. Tapi dadaku tetap sesak. Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang tak punya jawaban.

Apa yang harus kulakukan sekarang. Tetap di sini. Atau pulang.

Tanganku akhirnya terkulai di samping tubuh. Koper yang kupegang terasa makin berat. Bukan karena isinya. Tapi karena semua yang kini kusandang. Ketakutan. Ketidakpastian. Ketiadaan rumah.

Aku merasa kecil. Tak berdaya. Di tengah keramaian yang tak mengenalku.

Langit Tokyo yang tadi terasa megah kini menjadi tirai kelam. Lampu-lampu kota yang semula memesona, kini seperti bintang palsu. Mereka terang tapi dingin. Indah tapi tak punya jiwa.

Aku mencoba bernapas. Tapi udara tak pernah sampai penuh ke paru-paru. Suara-suara di sekelilingku terus berdentang. Tawa. Obrolan. Langkah kaki. Tapi semuanya terdengar jauh. Seperti berasal dari dunia lain.

Aku tidak menangis. Entah kenapa. Air mata seolah hilang. Tertinggal entah di mana. Mungkin tertahan oleh tubuh yang terlalu kaget untuk bisa merasa.

Aku merasa seperti boneka. Tidak dikendalikan siapa pun. Bergerak sendiri. Tapi tanpa arah. Tanpa maksud.

Untuk pertama kalinya sejak aku tiba di Tokyo, aku merasa benar-benar terputus. Tidak hanya dari rumah. Tapi dari segalanya. Dari semua hal yang pernah membuatku merasa utuh.

Aku menunduk. Menatap bayangan kaki yang terpantul di trotoar. Di sana, aku melihat sosok yang lelah. Rapuh. Sosok yang ingin pulang. Tapi tidak tahu ke mana.

Aku mengusap wajah dengan tangan yang tak lagi stabil. Mencoba menghapus kekacauan yang tidak terlihat.

Tapi tidak ada yang berubah.

Yang tersisa hanya kesunyian. Pekat dan dalam.

Di tengah keramaian Shinjuku yang tidak pernah tidur, aku berdiri. Sendiri. Di antara orang-orang yang berlalu, aku menjadi titik yang tak kasat mata. Bagian dari cerita yang tidak ditulis siapa pun. Seorang figuran yang bahkan lupa dialognya sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Da Capo al Fine
259      219     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Ilona : My Spotted Skin
458      335     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Perjalanan Tanpa Peta
50      45     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Merayakan Apa Adanya
349      256     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Deep End
35      34     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Je te Vois
500      362     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
116      103     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Kertas Remuk
95      78     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Rumah?
47      45     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Lantunan Ayat Cinta Azra
787      521     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...