Ada rasa yang pelan-pelan tumbuh. Bukan euforia. Bukan juga semangat menggebu. Tapi lebih seperti bara kecil di dada—hangat, tenang, dan hidup.
Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, aku menulis lagi.
Bukan laporan keuangan.
Bukan surat direktur.
Bukan rencana rumah tangga.
Tapi… puisi.
Sebuah bait kecil, kutulis di tengah malam ketika anakku sudah tidur dan dapur sudah rapi.
Kalimatnya sederhana, tapi saat selesai kutulis, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Bukan karena takut, tapi karena rindu. Rindu akan versi diriku yang dulu pernah bermimpi jadi penulis. Versi diriku yang dulu menulis di mading sekolah, dengan tangan penuh tinta dan hati yang penuh cerita.
Dari puisi, aku pindah ke cerpen. Dari cerpen, aku mulai menyusun satu demi satu bab novel yang belum tentu selesai. Tapi aku menulisnya dengan sepenuh hati. Karena setiap kata yang kutulis, membuatku merasa utuh. Tidak kosong. Tidak hampa.
Hingga suatu hari, aku menemukan info lomba menulis di Instagram. Temanya tentang kehilangan dan harapan. Tangan ini gatal ingin ikut. Hatiku pun langsung berdesir.
Tapi kepala ini penuh suara:
"Siapa kamu?"
"Udah tua."
"Siapa yang mau baca tulisan kamu?"
Aku hampir menghapus draft yang sudah separuh jalan.
Tapi entah kenapa, malam itu aku justru membuka jendela, memandang langit, dan berbisik pelan:
“Ya Allah, aku nggak minta menang. Aku cuma pengin berani.”
Maka kukirimkan juga tulisanku, meski dengan tangan gemetar. Aku tak bilang siapa-siapa. Tak mengumumkan apa pun. Hanya aku, Tuhan, dan mimpiku yang mulai bertunas.
Dan rasanya… luar biasa. Bukan karena aku merasa hebat. Tapi karena akhirnya aku berani melangkah.
Di usia tiga puluh ini, aku memang bukan siapa-siapa. Tapi aku adalah seseorang yang sedang belajar percaya lagi.
Bahwa mimpi itu boleh dimulai ulang.
Bahwa luka bisa jadi pupuk bagi harapan.
Aku mungkin belum sampai ke mana-mana. Tapi aku tahu, aku sedang menuju ke suatu tempat yang lebih dekat dengan jiwaku sendiri.
Lama aku tidak pernah merasa seperti ini.
Tiap malam, tanganku mengetik pelan di atas keyboard usang, tapi hatiku bergetar seperti baru saja menyalakan cahaya di ruangan yang lama gelap.
Aku mulai mempublikasikan tulisan-tulisanku di platform online. Cerita pendek, puisi-puisi kecil yang dulu hanya aku simpan di folder ‘draf’, diam-diam aku unggah satu per satu.
Dulu aku bahkan ragu untuk membukanya kembali. Tapi sekarang, aku cukup berani untuk membiarkannya dibaca dunia.
Dan pelan-pelan, satu per satu komentar datang. DM dari pembaca yang bilang, “Kak, tulisannya bikin aku nangis.” Atau, “Aku merasa ditemani lewat kata-katamu.”
Aku terdiam setiap kali membacanya.
Aku? Yang dulu berpikir semua ini sia-sia?
Ternyata… bisa menyentuh hati seseorang hanya lewat kata-kata.
Beberapa puisiku yang aku kirim ke penerbit pun mulai lolos seleksi untuk diterbitkan. Bukan karya besar. Tapi cukup untuk membuatku merasa hidup.
Lebih hidup dari sekadar memenuhi target harian, lebih hangat dari sekadar gaji bulanan.
Ada hari-hari saat aku masih takut. Masih ingin bersembunyi.
Tapi ada juga pagi-pagi saat aku bangun dengan semangat baru:
Hari ini aku menulis. Hari ini aku hidup.
***
Suatu malam, aku membuka YouTube. Dan di sana, wajah Mbak Nana—Najwa Shihab—tampil penuh keyakinan. Kalimatnya menghantam seperti panah:
“Kalau mimpimu nggak bikin kamu gelisah, nggak bikin kamu takut, nggak bikin kamu deg-degan… berarti mimpimu nggak cukup besar.”
Aku mengulang bagian itu berkali-kali.
Deg-degan.
Takut.
Gelisah.
Ya. Aku merasa semuanya. Tapi untuk pertama kalinya, itu bukan karena aku takut gagal…
Melainkan karena aku benar-benar ingin berhasil.
Mbak Nana juga bilang—hidup bukan soal pencapaian jangka pendek. Kita juga harus mengizinkan diri mengejar mimpi jangka panjang. Yang benar-benar kita inginkan. Tanpa mengejar validasi siapa pun.
Aku terdiam lama.
Mungkin… inilah waktuku. Bukan untuk sempurna. Tapi untuk berani. Untuk percaya bahwa aku tak lagi hidup hanya untuk bertahan, tapi juga untuk bertumbuh.
Dan mungkin, akhirnya… untuk terbang.