“Mama lagi apa?” suara kecil itu datang bersamaan dengan langkah Ray yang mendekat sambil membawa boneka dinosaurus kesayangannya.
Aku mengangkat wajah dari layar laptop, senyum refleks muncul. “Mama lagi nulis, Sayang.”
Ray memanjat duduk di sebelahku di sofa, mencondongkan tubuh kecilnya, mencoba melihat ke arah layar. Matanya membulat. “Cerita lagi?”
“Iya,” jawabku sambil menyimpan draft sementara. “Cerita. Kayak yang Mama ceritain sebelum Ray tidur itu, tapi ini Mama tulis di laptop.”
Dia mengangguk-angguk. “Aku suka cerita Mama. Seru. Dinosaurusnya bisa ngomong, terus ada yang nyasar ke planet roti.”
Aku tertawa kecil. “Yang itu, Mama belum tulis. Baru Mama ceritain buat Ray.”
“Mama tulis dong,” katanya semangat, “Biar bisa dibaca banyak orang.”
Aku diam sejenak. Kata-kata polos Ray menghantamku seperti cahaya yang hangat. Dalam beberapa minggu terakhir, aku memang sudah mulai berani. Mengunggah tulisan di platform online, lalu pelan-pelan menerima DM dari orang-orang tak dikenal yang bilang mereka suka tulisanku. Bahkan beberapa puisi dan cerita pendek yang aku kirim ke penerbit sudah lolos seleksi untuk terbit.
Tapi baru kali ini aku benar-benar sadar: yang pertama kali percaya pada ceritaku… adalah Ray.
“Mama punya mimpi baru sekarang,” kataku, lebih kepada diriku sendiri, tapi cukup lantang untuk didengar Ray.
“Kayak mimpi aku pengen jadi astronot?” katanya bangga.
Aku tersenyum. “Iya, kayak gitu. Tapi mimpi Mama itu… nulis buku. Banyak buku. Cerita-cerita yang bisa dibaca orang, didengerin anak-anak, bahkan mungkin disimpan orang tua untuk diceritakan ke anaknya.”
Ray mengangguk dengan gaya yang terlalu dewasa untuk anak seusianya. “Mama bisa. Aku suka kalau Mama cerita.”
Aku mengelus rambutnya. “Makasih, Ray. Kamu tahu nggak? Karena kamu suka dengar Mama cerita… Mama jadi ingat kalau Mama dulu juga suka cerita. Suka nulis. Dan ternyata, Mama kangen. Kangen banget ngerasain hidup sambil ngikutin mimpi.”
“Mama senyum. Mama seneng ya?” tanyanya sambil menyentuh pipiku.
“Iya, Mama senang,” kataku jujur. “Nulis bikin Mama deg-degan, tapi juga bikin Mama ngerasa hidup.”
Beberapa jam kemudian, setelah Ray tertidur, aku kembali membuka laptop. Menyelesaikan cerita yang sempat tertunda.
Aku menarik napas. Jemariku kembali menari di atas keyboard. Bukan sekadar untuk menulis cerita. Tapi untuk membangun sesuatu yang baru: versi diriku yang lebih berani, lebih baik, dan lebih hidup.
***
Malamnya, aku dan Radit duduk berdua di ruang tengah. Lampu redup, suara kipas angin berputar lembut, dan secangkir teh hangat menunggu di antara kami. Aku ragu-ragu sejenak, lalu akhirnya membuka suara.
“Dit…”
“Hm?” Radit menoleh, masih dengan mata yang tenang seperti biasa.
“Aku… kayaknya mau serius nulis.”
Dia mengangkat alis. “Serius nulis? Maksudnya?”
“Kayak… nulis-nulis. Cerpen. Puisi. Novel mungkin. Aku kirim ke penerbit, ikut lomba. Posting di platform, gitu-gitu.” Aku tertawa kecil, gugup sendiri. “Aku tahu mungkin kedengerannya… kekanakan. Atau telat. Tapi rasanya ini hal pertama yang bikin aku benar-benar hidup lagi, Dit.”
Radit tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku, lama. Bukan dengan tatapan bingung atau skeptis. Tapi seperti sedang mencoba memahami lebih dalam.
“Kamu yakin?” tanyanya, suaranya pelan.
Aku mengangguk. “Yakin. Aku nggak tahu ke mana arahnya. Tapi aku tahu, ini bikin aku gemetar. Bikin aku pengen bangun pagi, pengen buka laptop. Kayak… ada yang bergetar lagi di dada. Dan aku udah lama banget nggak ngerasain itu.”
Radit tersenyum kecil. Lalu menggeser duduknya lebih dekat. Tangannya menyentuh tanganku.
“Nara, aku nggak pernah anggap mimpi kamu telat. Kamu ibu hebat, istri yang luar biasa… dan kalau sekarang kamu ngerasa hidup lagi karena nulis—ya kejar. Aku dukung seratus persen. Seribu persen.”
Aku mengerjap. Sedikit tak percaya mendengar kalimatnya yang begitu ringan tapi penuh makna.
“Serius?”
“Serius.” Dia mengangguk. “Apa pun yang kamu tulis, aku mau jadi pembaca pertamanya.”
Hatiku terasa penuh. Bukan hanya karena kata-katanya. Tapi karena aku tahu, ini bukan bentuk basa-basi. Radit memang bukan tipe yang romantis dengan kejutan atau pujian manis, tapi ketika dia bilang dukung, dia benar-benar akan ada di sana—meski aku jatuh, meski aku mulai ragu sendiri nanti.
Malam itu, aku membuka laptopku lagi. Tapi kali ini bukan dengan rasa takut atau ragu. Ada Ray yang percaya padaku. Ada Radit yang mendukungku. Dan ada aku—yang akhirnya mulai percaya lagi pada diri sendiri.