Aku duduk termenung di meja kerja. Ingatan tentang kegagalan demi kegagalan terus berputar di kepalaku. Setiap kali, harapan sempat membara—lalu padam begitu saja.
Orang tuaku selalu berharap aku, anak sulung mereka, bisa menjadi PNS. Katanya, itu lambang kestabilan dan kebanggaan keluarga. Jalan hidup yang aman dan terhormat. Ibu sering bilang, “Kalau kamu jadi PNS, hidupmu terjamin. Kami semua bangga.”
Tapi kenyataan berkata lain.
Perjalananku tidak mudah. Setelah lulus sarjana, aku bertekad melanjutkan kuliah S2. Tapi, harapan akan beasiswa itu gugur—seperti bunga yang layu sebelum sempat mekar. Keuangan keluarga kami yang pas-pasan membuatku harus berhenti di tengah jalan.
Setiap kali gagal, hatiku hancur. “Apa aku memang kurang mampu?” bisikku dalam diam.
Terlalu sering aku merasa seperti sedang berlari dalam lorong gelap tanpa ujung. Aku masih terjebak dalam lingkaran yang sama. Bahkan sekarang aku merasa hampa.
“Kenapa aku gagal terus? Apa yang salah dengan aku?” pikirku, menatap langit-langit ruangan yang mulai memburam.
Sedikit demi sedikit, rasa percaya diriku terkikis. Aku mulai meragukan kemampuanku sendiri, bahkan identitasku.
Aku merasa terjebak dalam peran: istri yang seharusnya kuat dan ibu yang seharusnya tegar.
Dalam diam, aku rapuh dan tersesat.
Aku memejamkan mata, berusaha mencari secercah harapan. Tapi kegagalan demi kegagalan membuat hatiku nyaris beku.
“Aku ingin bangkit, tapi aku takut jatuh lagi,” gumamku lirih.
Di tengah keheningan rumah, aku tahu satu hal: aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus menemukan jalan baru. Atau setidaknya… mulai dari titik yang baru.
Langkahku pelan menyusuri lorong rumah menuju kamar. Anak dan suamiku sudah terlelap. Rumah sunyi. Tapi pikiranku justru semakin bising. Aku membuka laci meja rias, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Pensil alis, hand cream, charger—semuanya terasa biasa saja. Sampai mataku menangkap sebuah buku lusuh dengan sampul biru muda, ujung-ujungnya menguning.
Jurnal lamaku.
Aku memegangnya perlahan, seperti sedang menyentuh bagian dari diriku yang sudah lama hilang. Jemariku membuka halaman pertama. Tulisan tangan remaja dengan tinta hitam memenuhi lembar demi lembar—penuh emosi, keluhan, mimpi, bahkan puisi-puisi pendek yang dulu tak pernah berani kutunjukkan pada siapa pun.
"Kalau aku gede nanti, aku pengin jadi penulis. Nulis cerita yang bisa bikin orang ketawa, senyum-senyum sendiri, atau ngerasa kayak lagi ngobrol sama temen. Seru aja kali ya, kalau tulisan kita bisa nemenin orang pas lagi capek atau sedih."
Aku membacanya pelan. Ada sesuatu yang hangat merambat di dadaku. Mataku tiba-tiba berkaca-kaca.
Kapan terakhir kali aku merasa sepenuh itu saat menulis?
Kapan terakhir kali aku jujur pada diri sendiri tentang apa yang benar-benar aku cintai?
Hidup telah membawaku jauh dari semua itu. Aku terlalu sibuk mengejar validasi, memenuhi ekspektasi, dan membuktikan bahwa aku tidak sia-sia. Tapi justru di tengah semua itu, aku kehilangan diriku sendiri.
“Menulis,” bisikku lirih. Seolah sedang menyapa bagian dalam diriku yang lama tertidur. “Dulu kamu pernah jadi alasanku bangun pagi. Sekarang aku bahkan lupa rasanya punya mimpi.”
Beberapa tahun terakhir, hidupku hanya soal satu hal: bertahan.
Bertahan secara mental, bertahan secara finansial, bertahan biar tetap waras.
Dan itu… tidak pernah mudah.
Dulu aku punya banyak rencana.
Kupikir aku akan lanjut sekolah, jadi dosen, kerja sesuai passion, memberi manfaat buat banyak orang.
Semua mimpi itu pernah begitu hidup dalam jurnal dan rencana-rencana yang kususun rapih.
Tapi hidup mengambil arah yang berbeda.
Folder di laptop yang dulu menyimpan semua berkas pentingku—jurnal, rencana studi, pengajuan beasiswa S2—sekarang bahkan sudah tak ada.
Waktu berlalu begitu saja.
Dan aku sempat merasa... mungkin aku sudah terlalu jauh jatuh. Terlalu lama diam.
Tapi ternyata, meski aku sering lupa arah, Allah tidak pernah pergi.
Dia tetap menjagaku dalam diam—dalam bentuk keluarga, dalam waktu yang menyembuhkan, dan dalam hati akhirnya berani bilang:
"Aku mau mulai lagi. Pelan-pelan saja, tapi jangan lepas tanganku, ya Allah."
Aku mengusap halaman-halaman jurnal itu perlahan, seperti menyentuh kenangan masa kecil. Hangat—tapi juga menyakitkan.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku duduk dengan pena dan kertas kosong di hadapanku.
Bukan untuk laporan kerja, bukan untuk daftar belanja, bukan juga untuk catatan sekolah anak.
Tapi untuk diriku sendiri.
Karena mungkin, satu-satunya orang yang bisa benar-benar mengerti luka dan harapan ini… adalah aku yang masih bertahan sampai hari ini.
Di sela-sela halaman kosong, aku akhirnya menulis lagi.
"Halo, aku yang berusia tiga puluh tahun. Aku tahu kamu lelah. Tapi aku juga tahu kamu belum selesai. Mari kita mulai lagi—pelan-pelan, tapi sungguh-sungguh."
Kalimat itu kutulis pelan, dengan hati yang penuh perasaan yang belum selesai.
Bukan karena ingin mengulang masa lalu,
tapi karena aku percaya: mimpi yang tertunda, bukan berarti mati.
Aku masih di sini. Masih bernapas. Masih bersyukur.
Dan kalau boleh bermimpi lagi, aku ingin bukan hanya hidup... tapi menghidupkan.
Bismillah. Untuk langkah yang lebih berarti, untuk mimpi yang tak pernah benar-benar mati. Karena bersama Allah, tak ada kata 'terlambat'. Yang ada hanyalah: waktunya baru sekarang.