Di tengah aku masih belajar berdamai dengan keheningan yang menggema di rumah ini—yang dulu terasa sesak karena suara tangis bayi yang kami harapkan, tapi kini sunyi seperti kamar kosong yang enggan dihuni—aku mendengar kabar itu: Arya akan menikah.
Kalimatnya ringan. Hanya tiga kata dalam chat dari teman lama: “Arya menikah, Na.”
Tapi dampaknya seperti palu godam ke dadaku. Aku terdiam lama, menatap layar ponsel yang kini terasa terlalu terang di tangan. Rasanya seperti tubuhku tertarik ke masa lalu, ke ruang yang belum sempat benar-benar kubersihkan dari jejaknya. Ke ruang yang pernah aku tata dengan harapan, tapi ditinggalkan dalam keadaan berantakan.
Yang membuatku tercekat bukan hanya kenyataan bahwa ia akan menikah—karena bagaimanapun, hidup harus terus berjalan. Tapi karena siapa yang akan dinikahinya.
Seseorang dari keluarga terpandang. Selevel. Sederajat. Perempuan yang pantas dilihat di panggung bersama dia dan keluarganya, tanpa tatapan merendahkan atau kalimat yang digantung di udara.
Seseorang yang... bukan aku.
Aku tidak tahu perasaan macam apa yang menyeruak saat itu. Cemburu? Mungkin. Sedih? Jelas. Kecewa? Sangat. Tapi lebih dari itu semua, aku merasa seperti dikembalikan pada versi diriku yang paling kecil—paling tidak diinginkan.
Yang dulu berusaha sebaik mungkin untuk pantas, tapi tetap tak cukup.
Saat membuka Instagram, aku melihat kabar itu. Slide demi slide dari pesta mewah dengan bunga-bunga pastel, meja berlapis kain putih, dan keluarga besar yang tersenyum bangga. Wajah Arya tampak sumringah, berdiri di samping seorang perempuan yang memeluk lengannya.
Namanya Clara. Dari keluarga terpandang. Seperti potongan puzzle yang memang disiapkan untuk hidup Arya. Seperti jawaban atas kegamangan yang dulu tak pernah selesai dijelaskan padaku.
Aku menatap layar lama sekali, sampai jempolku tak bergerak. Mataku kabur. Bukan hanya karena air mata—tapi karena ada bagian dalam diriku yang terasa diremukkan ulang. Bukan iri. Bukan karena aku masih mencintainya. Tapi karena aku pernah tidak dipilih. Karena dulu aku tidak cukup untuk diperjuangkan.
Dan sekarang, saat hidupku bahkan belum sempat pulih sepenuhnya, kabar itu datang. Seolah semesta ingin bilang: Lihat, ini hidup yang bukan milikmu. Tapi mungkin bisa kamu rasakan nyerinya sekali lagi.
Sejak hari itu, aku lebih banyak diam.
Depresi tidak datang seperti gempa bumi. Tidak mengguncang segalanya sekaligus. Ia datang perlahan—menyusup seperti kabut pagi yang tak terasa sampai akhirnya jarak pandang hanya sebatas langkah kaki.
Awalnya aku pikir ini cuma kelelahan biasa. Lalu berubah jadi malas makan. Lalu malas bicara. Lalu tiba-tiba aku merasa kosong saat melihat cermin. Seperti tubuhku ada, tapi jiwaku entah tertinggal di mana.
Radit beberapa kali mengajakku keluar rumah. Ke taman, beli kopi, ke toko buku.
"Ayo, Na. Cuma sebentar aja, biar kamu nggak bosan di rumah terus."
Tapi yang aku rasakan bukan bosan. Aku merasa tidak sanggup. Bahkan memakai baju saja terasa seperti tugas besar. Seolah segala energi terkuras hanya untuk bangun dari tempat tidur.
Aku pernah duduk di kamar mandi selama hampir satu jam, tanpa sadar air kran masih menyala. Pandanganku kosong. Tanganku dingin. Tapi yang lebih dingin adalah pikiranku. Hampa. Dan sunyi.
“Aku nggak tahu kenapa rasanya sakit banget,” bisikku lirih, tak berharap Radit mendengarnya. Tapi ia mendekat, duduk di sampingku, lalu tanpa banyak tanya langsung menarikku ke pelukannya.
“Aku tahu kamu masih berusaha kuat. Tapi nggak apa-apa, sayang... kamu boleh sedih,” katanya, pelan dan berat.
Tubuhku yang kaku akhirnya runtuh juga. Aku bersandar di dadanya, membiarkan air mata mengalir sekali lagi. Tanganku mengepal di dadanya, bukan karena marah, tapi karena aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih di sini. Masih punya seseorang. Masih bisa merasa.
Radit membelai rambutku pelan, lalu menunduk dan berkata nyaris berbisik, “Aku juga sedih. Tapi kalau kamu ambruk, aku harus pegangan ke mana?”
Ada tangis kecil di ujung suaranya. Untuk pertama kalinya, aku sadar: bukan cuma aku yang kehilangan. Dia juga. Dia mungkin tidak mengandung, tidak merasakan sakit fisik seperti aku, tapi hatinya sama remuknya.
“Aku gagal, Dit,” isakku. “Aku nggak jaga anak kita baik-baik...”
“Nggak ada yang gagal, sayang. Bukan salah kamu. Bukan salah siapa-siapa,” katanya sambil mengusap air mataku. “Anak kita... cuma mampir sebentar. Tapi dia tahu, dia dicintai. Dia tahu, dia kita doain setiap hari.”
Aku terisak lagi. Kali ini bukan hanya karena sedih, tapi karena ucapan Radit membuka ruang kecil di hatiku yang selama ini tertutup rasa bersalah. Seperti jendela yang sedikit demi sedikit mulai berani dibuka.
Kami duduk diam cukup lama. Tak bicara, tapi terasa saling menguatkan.
Dan untuk pertama kalinya sejak keguguran itu... aku merasa tidak sepenuhnya hancur. Masih ada yang bertahan. Masih ada yang bisa kurangkul.
Walau masa lalu kadang kembali seperti hantu yang tak pernah diusir tuntas, aku tahu... hidupku sekarang ada di sini.
Di pelukan Radit. Di duka yang kami bagi berdua. Di harapan yang, meski masih samar, perlahan ingin kutatap lagi.
Aku menangis malam itu. Lama. Di pelukannya. Untuk pertama kalinya, bukan karena sedih, tapi karena merasa dimengerti—meski belum sepenuhnya dipahami.
**
Hari-hariku tetap tidak langsung cerah. Tapi setidaknya aku mulai jalan kaki keliling kompleks. Lalu mulai mandi tepat waktu. Lalu mulai nulis jurnal lagi, walau cuma satu dua paragraf. Lalu mulai tersenyum sedikit saat Radit menyelipkan catatan lucu di kotak bekalku.
Kadang aku masih takut. Takut jika suatu hari perasaan ini datang lagi. Takut jika aku tak cukup kuat lain kali. Tapi ketakutan itu perlahan kuakui keberadaannya, bukan lagi kutolak mentah-mentah.
Penyembuhan, ternyata, tidak selalu tampak seperti 'sembuh'. Kadang hanya berupa detik-detik kecil saat aku tidak ingin bersembunyi dari dunia.
Di jurnal malam itu, aku menulis:
“Aku belajar bahwa gelap bukan berarti tidak ada harapan. Kadang kita hanya perlu duduk sebentar, memeluk diri sendiri, dan bilang: ya, ini gelap, tapi aku belum selesai di sini.”
Satu kalimat kutulis besar-besar di belakang jurnalku—pakai spidol hitam:
“Kalau hari ini cuma bisa bangun dan cuci muka, itu juga sudah cukup.”
Dan aku mulai percaya, pelan-pelan, bahwa luka mental bukan aib. Tapi bukti bahwa aku hidup, dan sedang berusaha kembali.