Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Di tengah aku masih belajar berdamai dengan keheningan yang menggema di rumah ini—yang dulu terasa sesak karena suara tangis bayi yang kami harapkan, tapi kini sunyi seperti kamar kosong yang enggan dihuni—aku mendengar kabar itu: Arya akan menikah.

Kalimatnya ringan. Hanya tiga kata dalam chat dari teman lama: “Arya menikah, Na.”

Tapi dampaknya seperti palu godam ke dadaku. Aku terdiam lama, menatap layar ponsel yang kini terasa terlalu terang di tangan. Rasanya seperti tubuhku tertarik ke masa lalu, ke ruang yang belum sempat benar-benar kubersihkan dari jejaknya. Ke ruang yang pernah aku tata dengan harapan, tapi ditinggalkan dalam keadaan berantakan.

Yang membuatku tercekat bukan hanya kenyataan bahwa ia akan menikah—karena bagaimanapun, hidup harus terus berjalan. Tapi karena siapa yang akan dinikahinya.

Seseorang dari keluarga terpandang. Selevel. Sederajat. Perempuan yang pantas dilihat di panggung bersama dia dan keluarganya, tanpa tatapan merendahkan atau kalimat yang digantung di udara.

Seseorang yang... bukan aku.

Aku tidak tahu perasaan macam apa yang menyeruak saat itu. Cemburu? Mungkin. Sedih? Jelas. Kecewa? Sangat. Tapi lebih dari itu semua, aku merasa seperti dikembalikan pada versi diriku yang paling kecil—paling tidak diinginkan.

Yang dulu berusaha sebaik mungkin untuk pantas, tapi tetap tak cukup.

Saat membuka Instagram, aku melihat kabar itu. Slide demi slide dari pesta mewah dengan bunga-bunga pastel, meja berlapis kain putih, dan keluarga besar yang tersenyum bangga. Wajah Arya tampak sumringah, berdiri di samping seorang perempuan yang memeluk lengannya.

Namanya Clara. Dari keluarga terpandang. Seperti potongan puzzle yang memang disiapkan untuk hidup Arya. Seperti jawaban atas kegamangan yang dulu tak pernah selesai dijelaskan padaku.

Aku menatap layar lama sekali, sampai jempolku tak bergerak. Mataku kabur. Bukan hanya karena air mata—tapi karena ada bagian dalam diriku yang terasa diremukkan ulang. Bukan iri. Bukan karena aku masih mencintainya. Tapi karena aku pernah tidak dipilih. Karena dulu aku tidak cukup untuk diperjuangkan.

Dan sekarang, saat hidupku bahkan belum sempat pulih sepenuhnya, kabar itu datang. Seolah semesta ingin bilang: Lihat, ini hidup yang bukan milikmu. Tapi mungkin bisa kamu rasakan nyerinya sekali lagi.

Sejak hari itu, aku lebih banyak diam.

Depresi tidak datang seperti gempa bumi. Tidak mengguncang segalanya sekaligus. Ia datang perlahan—menyusup seperti kabut pagi yang tak terasa sampai akhirnya jarak pandang hanya sebatas langkah kaki.

Awalnya aku pikir ini cuma kelelahan biasa. Lalu berubah jadi malas makan. Lalu malas bicara. Lalu tiba-tiba aku merasa kosong saat melihat cermin. Seperti tubuhku ada, tapi jiwaku entah tertinggal di mana.

Radit beberapa kali mengajakku keluar rumah. Ke taman, beli kopi, ke toko buku.

"Ayo, Na. Cuma sebentar aja, biar kamu nggak bosan di rumah terus."

Tapi yang aku rasakan bukan bosan. Aku merasa tidak sanggup. Bahkan memakai baju saja terasa seperti tugas besar. Seolah segala energi terkuras hanya untuk bangun dari tempat tidur.

Aku pernah duduk di kamar mandi selama hampir satu jam, tanpa sadar air kran masih menyala. Pandanganku kosong. Tanganku dingin. Tapi yang lebih dingin adalah pikiranku. Hampa. Dan sunyi.

“Aku nggak tahu kenapa rasanya sakit banget,” bisikku lirih, tak berharap Radit mendengarnya. Tapi ia mendekat, duduk di sampingku, lalu tanpa banyak tanya langsung menarikku ke pelukannya.

“Aku tahu kamu masih berusaha kuat. Tapi nggak apa-apa, sayang... kamu boleh sedih,” katanya, pelan dan berat.

Tubuhku yang kaku akhirnya runtuh juga. Aku bersandar di dadanya, membiarkan air mata mengalir sekali lagi. Tanganku mengepal di dadanya, bukan karena marah, tapi karena aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih di sini. Masih punya seseorang. Masih bisa merasa.

Radit membelai rambutku pelan, lalu menunduk dan berkata nyaris berbisik, “Aku juga sedih. Tapi kalau kamu ambruk, aku harus pegangan ke mana?”

Ada tangis kecil di ujung suaranya. Untuk pertama kalinya, aku sadar: bukan cuma aku yang kehilangan. Dia juga. Dia mungkin tidak mengandung, tidak merasakan sakit fisik seperti aku, tapi hatinya sama remuknya.

“Aku gagal, Dit,” isakku. “Aku nggak jaga anak kita baik-baik...”

“Nggak ada yang gagal, sayang. Bukan salah kamu. Bukan salah siapa-siapa,” katanya sambil mengusap air mataku. “Anak kita... cuma mampir sebentar. Tapi dia tahu, dia dicintai. Dia tahu, dia kita doain setiap hari.”

Aku terisak lagi. Kali ini bukan hanya karena sedih, tapi karena ucapan Radit membuka ruang kecil di hatiku yang selama ini tertutup rasa bersalah. Seperti jendela yang sedikit demi sedikit mulai berani dibuka.

Kami duduk diam cukup lama. Tak bicara, tapi terasa saling menguatkan.

Dan untuk pertama kalinya sejak keguguran itu... aku merasa tidak sepenuhnya hancur. Masih ada yang bertahan. Masih ada yang bisa kurangkul.

Walau masa lalu kadang kembali seperti hantu yang tak pernah diusir tuntas, aku tahu... hidupku sekarang ada di sini.

Di pelukan Radit. Di duka yang kami bagi berdua. Di harapan yang, meski masih samar, perlahan ingin kutatap lagi.

Aku menangis malam itu. Lama. Di pelukannya. Untuk pertama kalinya, bukan karena sedih, tapi karena merasa dimengerti—meski belum sepenuhnya dipahami.

**

Hari-hariku tetap tidak langsung cerah. Tapi setidaknya aku mulai jalan kaki keliling kompleks. Lalu mulai mandi tepat waktu. Lalu mulai nulis jurnal lagi, walau cuma satu dua paragraf. Lalu mulai tersenyum sedikit saat Radit menyelipkan catatan lucu di kotak bekalku.

Kadang aku masih takut. Takut jika suatu hari perasaan ini datang lagi. Takut jika aku tak cukup kuat lain kali. Tapi ketakutan itu perlahan kuakui keberadaannya, bukan lagi kutolak mentah-mentah.

Penyembuhan, ternyata, tidak selalu tampak seperti 'sembuh'. Kadang hanya berupa detik-detik kecil saat aku tidak ingin bersembunyi dari dunia.

Di jurnal malam itu, aku menulis:

“Aku belajar bahwa gelap bukan berarti tidak ada harapan. Kadang kita hanya perlu duduk sebentar, memeluk diri sendiri, dan bilang: ya, ini gelap, tapi aku belum selesai di sini.”

Satu kalimat kutulis besar-besar di belakang jurnalku—pakai spidol hitam:

“Kalau hari ini cuma bisa bangun dan cuci muka, itu juga sudah cukup.”

Dan aku mulai percaya, pelan-pelan, bahwa luka mental bukan aib. Tapi bukti bahwa aku hidup, dan sedang berusaha kembali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tok! Tok! Magazine!
104      92     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
YANG PERNAH HILANG
1772      662     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Metafora Dunia Djemima
101      83     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
HABLUR
1075      487     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Tic Tac Toe
482      384     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Let me be cruel
5651      2822     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Ruang Suara
207      145     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
A Sky Between Us
48      43     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Simfoni Rindu Zindy
796      567     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Monday vs Sunday
223      175     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...