Pagi itu, aku bangun sebelum alarm berbunyi. Bukan karena semangat atau mimpi indah, tapi karena tubuhku sudah terbiasa terjaga. Di luar jendela, cahaya matahari menyelinap malu-malu lewat celah tirai. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku tidak menoleh dan menarik selimut lagi.
Aku duduk di tepi ranjang, menatap lantai sebentar, lalu berdiri perlahan. Kaki terasa berat, tapi ada sesuatu yang mendorongku. Mungkin karena semalam Radit memelukku lebih lama dari biasanya. Mungkin karena bisikan lembutnya masih tersisa di telingaku: “Kita bisa pelan-pelan, Na.”
Kuhampiri dapur, merebus air, dan menyiapkan dua cangkir teh jahe. Dulu, aku membuat ini hampir setiap pagi untuk Radit. Hari ini, aku buat lagi. Tanganku masih sedikit gemetar saat menuang air panas, tapi tidak ada teh yang tumpah. Itu saja sudah cukup.
Ketika Radit muncul dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan handuk melingkar di leher, ia memandangku sejenak, lalu tersenyum kecil. "Wah, kamu bikin teh lagi? Rasanya udah lama banget. Senang deh lihat kamu mulai pagi kayak gini."
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum balik. Tapi di dalam, ada percikan hangat yang muncul. Seperti lilin kecil yang baru saja dinyalakan di sudut hati yang lama gelap.
***
Hari-hari berikutnya, aku mulai menyusun ulang rutinitas. Tidak banyak, hanya hal-hal kecil. Bangun pagi. Mandi tepat waktu. Nulis jurnal meski hanya dua kalimat. Kadang satu kalimat. Kadang cuma titik.
"Tapi satu titik pun berarti: aku masih di sini. Masih berjuang."
Aku mengikuti saran Radit untuk konsultasi dengan psikolog online. Di awal sesi, aku lebih banyak diam. Psikologku sabar, tidak memaksaku bicara. Ia hanya bilang, "Kalau hari ini kamu cuma ingin didengarkan, nggak apa-apa."
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa dimengerti tanpa harus menjelaskan.
Lalu aku memberanikan diri membuka percakapan dengan Radit. Pelan, tapi jelas.
"Dit... kalau nanti aku udah sedikit lebih kuat... boleh ya, kalau kita coba lagi? Bukan karena harus. Tapi karena aku pengin mencoba lagi. Sama kamu."
Radit tidak langsung menjawab. Ia mendekat, menggenggam tanganku yang dingin. Lalu dengan suara berat, ia berkata, "Kita jalanin sama-sama, ya. Tapi kamu janji satu hal: jangan lupa jaga hatimu juga."
Hatiku mencelos, tapi dalam cara yang hangat. Aku mengangguk. “Iya. Kita sama-sama.”
***
Suatu malam, Radit mengajakku nonton drama Korea.
"Katanya bagus, Na. Rating-nya tinggi banget," ujarnya sambil mengayunkan remote TV ke arahku.
Aku hanya mengangkat bahu, masih memeluk bantal dan selimut. Tapi saat dia menekan tombol play, aku tak benar-benar menolak. Di layar, seorang perempuan dengan hidup berantakan bertemu pria dingin berhati hangat—klasik, tapi tetap menarik.
Beberapa menit pertama kami hanya diam. Tapi di menit ke-30, kami mulai bersuara. Menertawakan karakter yang terlalu dramatis, ikut menghela napas saat tokoh utamanya gagal dalam wawancara kerja, atau saling lempar komentar sok tahu tentang jalan ceritanya.
"Yakin nih dia nggak ternyata anak orang kaya yang hilang waktu kecil?" Radit berspekulasi sok serius.
Aku nyengir. "Itu sih drama tahun 2010 banget."
Lalu kami tertawa. Bukan tawa lebar yang lepas, tapi cukup untuk menghangatkan ruang tamu yang biasanya sunyi.
Radit menatapku, ekspresinya melunak. “Kita nonton drama, tapi tetap bareng. Sekarang pun, walau rasanya masih gelap… aku senang kamu masih di sini, duduk di sampingku.”
Aku tak langsung menjawab. Tapi aku menatapnya lama. Mengangguk pelan. Kadang, tidak butuh kata-kata panjang untuk bilang: aku juga masih di sini. Kita coba, pelan-pelan.
***
Aku mulai jalan kaki keliling kompleks. Kadang satu putaran. Kadang dua. Mulai makan sayur lagi, walau masih harus dipaksa. Mulai baca artikel soal program hamil sehat. Dan suatu pagi, kami mengunjungi dokter kandungan.
Ruangannya dingin, tapi tangan Radit hangat di genggamanku. Dokter menjelaskan langkah-langkah yang bisa kami tempuh, tes yang perlu dijalani, dan bagaimana menjaga tubuh dan pikiran tetap sehat.
Aku mencatat semuanya. Kali ini, bukan dengan beban. Tapi dengan harapan. Harapan yang tidak dibangun dari ambisi atau ekspektasi, tapi dari cinta dan keberanian untuk mencoba lagi.
Di jurnal malam itu, aku menulis:
“Kali ini, kalaupun gagal, aku tahu aku nggak sendirian. Dan itu membuat segalanya terasa lebih ringan. Lebih mungkin.”
Dan kutulis satu kalimat besar di belakang jurnalku:
“Pelan-pelan, tapi terus jalan.”
Mungkin kami tidak akan langsung sampai di tujuan. Tapi kami sedang menuju ke arahnya—bersama.