Aku masih ingat hari itu seperti kabut tipis yang menolak pergi dari ingatan. Langit sedang mendung, cucian belum kering, dan aku bangun dengan rasa mual yang tidak biasa. Awalnya kupikir karena telat makan atau stres kerja. Tapi dua hari berturut-turut, aku tetap mual. Bahkan aroma nasi saja membuatku ingin muntah.
Radit yang pertama menyadari.
“Kamu hamil ya?” katanya setengah bercanda, saat aku buru-buru lari ke kamar mandi.
Aku menoleh dengan wajah pucat. “Enggak tahu. Masa sih?”
Dua garis merah itu muncul jelas di alat tes kehamilan yang kubeli dengan jantung berdebar. Aku duduk di lantai kamar mandi lama sekali, memandangi testpack itu seolah dia bisa bicara dan memberi jawaban atas semua rasa takutku.
Radit berdiri di ambang pintu. “Beneran?” tanyanya, suaranya pelan.
Aku hanya mengangguk. Mataku panas.
Kehamilan itu bukan berita buruk. Tapi juga bukan berita yang kami siap dengar saat itu. Gaji freelance Radit belum tentu kapan datangnya. Aku sedang banyak deadline di kantor. Tabungan kami hampir habis. Bahkan bulan lalu kami baru pinjam dari adikku buat bayar kontrakan.
“Aku belum siap, Dit,” kataku di malam yang dingin, dengan selimut setengah menutupi kaki.
Radit menggenggam tanganku. “Aku juga belum. Tapi mungkin kita akan siap karena ini.”
Kami tidak pernah membicarakan lebih jauh. Kami takut bicara tentang hal-hal besar, seolah itu bisa membuat kenyataan terasa lebih berat.
Tapi di balik kecemasan itu, diam-diam aku mulai membayangkan. Wajah mungilnya. Tawa kecil. Lalu aku beli buku catatan kosong. Rencananya ingin kutulis surat-surat kecil untuknya. Tapi belum sempat kutulis satu pun.
**
Subuh itu, aku terbangun dengan rasa kram yang aneh. Bukan seperti kram biasa. Ada nyeri di bawah perut yang datang bergelombang. Kupikir hanya efek kelelahan. Tapi saat berdiri, aku merasa basah. Dan ketika kulihat ke bawah…
Darah.
“Radit!” jeritku panik.
Dia bangun dengan wajah panik, lalu berlari ke arahku. Matanya melebar melihat darah yang mengalir di kakiku, mengenai lantai, mengenai piyamaku.
“Astaga… Astaga… Na, tahan ya! Aku panggil taksi, sekarang!”
**
Di rumah sakit, aku tak berhenti menangis. Perawat mencoba menenangkanku. Dokter bicara dengan suara pelan tapi tak terdengar apa-apa olehku. Rasanya seperti dunia di sekelilingku menghilang suara.
"Janinnya nggak bisa diselamatkan."
Aku tak bisa mendengar kalimat itu tanpa ingin menghantam dada sendiri.
Mereka bilang aku perlu dikuret. Aku mengangguk seperti robot. Di meja operasi, aku menggenggam tangan Radit yang dingin dan gemetar. Aku menangis—kencang, tak terkontrol, seperti tangisan anak kecil yang kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat disentuh.
**
Hari-hari setelah itu adalah kabut. Aku tidur dalam sunyi. Bangun dengan mata bengkak. Di satu titik, aku merasa tubuhku kosong—bukan hanya secara fisik, tapi seperti ada satu ruang dalam diriku yang kini berlubang.
Radit mencoba menghibur. Tapi dia juga berkabung dengan caranya sendiri. Kami tidak banyak bicara. Hanya duduk berdampingan. Kadang ia pegang tanganku lama sekali, seolah takut aku ikut hilang seperti calon anak kami.
**
Suatu malam, aku akhirnya menulis jurnal lagi. Tanganku gemetar, tapi aku menulis juga.
“Maaf, Nak. Mama belum siap waktu kamu datang. Tapi bukan berarti Mama nggak sayang. Kamu datang seperti cahaya kecil… lalu pergi sebelum sempat kami sambut. Tapi tahu nggak? Setelah kamu pergi, rumah ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Dan sunyi itu seperti bukti bahwa kamu sempat hadir.”
“Mungkin kamu datang hanya untuk mengajarkan kami… bahwa hidup tidak bisa selalu ditunda sampai semua sempurna. Bahwa cinta pun bisa muncul dari ketakutan.”
**
Aku mengelus perutku yang kini datar. Tapi rasanya masih penuh. Penuh dengan kenangan yang tak sempat tumbuh. Di dalam hati, aku memanggilnya dengan nama yang hanya aku dan Radit tahu.
Fajar berikutnya, saat langit mulai oranye muda, aku menulis satu kalimat di dinding hati yang rapuh ini:
"Kau datang bukan untuk tinggal, tapi cukup lama untuk mengubah kami. Dan itu lebih dari cukup."