Aku pikir aku sudah cukup dewasa untuk tidak marah soal cucian. Tapi sore itu, saat pulang kerja dan mendapati mesin cuci masih penuh, airnya dingin, dan baju-baju masih terendam sabun, aku diam lama di depan pintu kamar mandi.
Padahal tadi pagi aku sudah bilang pelan, sambil sarapan, “Tolong jemurin cucian ya, Dit. Soalnya besok aku kerja pagi.”
Dia mengangguk waktu itu. Bahkan sempat cium keningku sebelum aku berangkat.
Tapi sekarang, 12 jam kemudian, baju-baju itu masih basah di tempat yang sama.
Aku nggak langsung marah. Cuma diam, cuci tangan, ganti baju, lalu duduk di ruang tengah sambil menggulir layar ponsel tanpa benar-benar membaca isinya.
Radit datang beberapa menit kemudian. Dia bawa gorengan yang dibungkus plastik. Senyumnya ringan.
“Eh, tadi kamu beli gorengan ya?” aku tanya, datar.
“Iya, lewat tukang gorengan pas jalan pulang. Iseng beli.”
Aku mengangguk. Lalu pelan, aku bilang, “Cuciannya belum dijemur.”
Dia kelihatan bingung sebentar, lalu jawab santai, “Oh iya, lupa. Ya udah nanti aku jemur deh.”
“Nanti itu jam berapa?”
Dia mengangkat bahu, lalu meletakkan plastik gorengan di meja. “Ya ampun, ya tinggal jemur aja. Nggak usah dibesar-besarin, kali.”
Kalimat itu seperti benang yang akhirnya putus setelah terlalu lama ditarik.
**
Kami bertengkar malam itu. Bukan dengan teriakan, tapi dengan nada yang pelan dan tajam. Pertengkaran yang justru lebih menyakitkan karena tak ada suara keras—hanya ucapan yang disimpan terlalu lama dan akhirnya keluar dalam bentuk tuduhan-tuduhan kecil.
“Aku capek,” kataku, akhirnya. “Capek mikirin semuanya sendiri. Urusan dapur, cucian, listrik, pengeluaran… Kamu pikir aku nggak kerja juga?”
Radit menatapku, wajahnya berubah gelap. “Aku juga kerja. Aku juga capek. Aku bukan pengangguran.”
“Kamu kerja cuma pas ada proyek. Sisanya kamu di rumah, Dit. Sementara aku full time—”
“Aku di rumah bukan leha-leha!”
Dan begitu saja, ruang tengah kami berubah jadi medan perang sunyi. Tak ada tangisan, tapi dada kami sama-sama sesak.
**
Beberapa hari setelahnya, kami tidak benar-benar bicara. Masih satu rumah, satu meja makan, tapi hanya membahas hal-hal praktis: “Nasi masih ada?” “Kamu besok masuk pagi?” “Ada struk belanja?”
Tapi malam itu, saat kami sedang memotong tempe untuk masak besok pagi, aku akhirnya bicara duluan.
“Dit,” kataku pelan, tanpa menoleh, “Aku nggak marah soal cucian. Tapi aku ngerasa… sendirian.”
Dia diam lama. Lalu meletakkan pisau dan duduk di kursi dapur.
“Aku juga ngerasa diserang terus, Na. Seolah aku nggak ngelakuin apa-apa.”
Aku menoleh, pelan. “Aku tahu kamu berusaha. Tapi aku butuh kamu juga ada di sini. Bukan cuma fisik, tapi bantu mikir bareng. Aku capek mikir sendiri.”
Dia mengangguk, mata berkaca. “Aku pikir… aku harus jadi cowok yang bisa nyelesaiin semuanya sendiri. Tapi ternyata, itu malah bikin aku ngerasa gagal.”
Aku menghela napas. “Kita bisa gagal bareng, Dit. Tapi jangan saling tinggalin.”
**
Malam itu, setelah cuci piring, aku duduk lagi di meja ruang tengah yang mulai menguning karena sinar sore. Lampunya remang. Radit sudah tidur duluan.
Aku membuka jurnalku lagi. Kutulis:
“Kadang, masalahnya bukan karena bajunya nggak dijemur. Tapi karena aku menumpuk ekspektasi tanpa membaginya. Dan dia menumpuk tekanan tanpa membaginya juga.”
“Ternyata, adaptasi bukan cuma soal tinggal bareng. Tapi tentang gimana caranya kita ribut, saling ngalah, dan tetap mau duduk bareng di meja makan esok pagi.”
Dan di halaman terakhir malam itu, aku menulis:
"Masalah kecil itu seperti pasir di sepatu. Kalau dibiarkan, bisa bikin luka jalan kaki. Tapi kalau dibersihkan bareng, kita masih bisa melangkah, pelan-pelan, meski jalannya jauh."