Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Hari-hari setelah kepergian Raya, seperti berjalan dalam kabut. Aku hadir secara fisik, tapi seringkali pikiranku mengembara ke tempat lain—ke kenangan, ke pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sempat terjawab.

Jadwal jahit pouch, merangkai souvenir, sampai revisi undangan digital pun berantakan. Aku tahu waktu tidak akan menunggu. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa tidak ingin dikejar apa-apa.

"Na, ada update vendor katering yang kamu mau," tulis Radit di chat.

Aku membacanya tanpa membalas. Kuletakkan ponsel, lalu menatap dinding kamar yang kosong.

Setelah hampir seminggu hanya tidur dan menangis, aku akhirnya duduk lagi di meja kerja kecil kosan. Di sana, alat jahitku masih rapi menunggu. Beberapa bahan souvenir sudah kupotong, tapi belum kusentuh sejak Raya meninggal.

Aku menyalakan lampu meja, lalu membuka jurnal.

Aku masih sedih. Tapi aku tidak ingin kehilangan semuanya karena rasa kehilangan ini. Raya pasti nggak mau aku gagal hanya karena larut terlalu dalam. Hari H sudah dekat. Aku harus berdiri. Harus… pelan-pelan.

Kupaksa tanganku bekerja. Hiasan bunga yang sempat kupelajari dari YouTube kini kupasang satu per satu di atas pouch.

Radit datang malam itu sambil membawa nasi padang.

“Maaf, aku belum bisa banyak bantu ya,” kataku, mencoba tersenyum meski wajahku masih terlihat letih.

Dia menggeleng. “Kamu udah bertahan sejauh ini aja udah luar biasa, Nar.”

Kami makan berdua dalam diam. Tapi tidak canggung. Hanya lelah, tapi saling ada.

***

Hari berikutnya, aku mulai menyusun daftar tamu lagi. Mulai komunikasi dengan tim WO, dan minta tolong temanku bantu desain ulang undangan.

Tiap langkah kecil yang kulakukan, rasanya seperti bentuk doa untuk Raya—bahwa aku akan tetap menjalani hidup ini, semampuku.

Dan meski masih sering menangis diam-diam di kamar mandi atau di balik layar laptop, aku belajar menerima bahwa berduka tidak berarti berhenti. Aku bisa menangis dan tetap melangkah. Bisa kehilangan dan tetap mencintai apa yang masih tertinggal.

***

Malam sebelum hari pernikahanku, suasana rumah terasa hangat tapi penuh tekanan yang diam-diam menyelinap. Semua orang sibuk. Tapi aku justru merasa hampa. Mungkin karena beberapa hari terakhir aku masih berjuang menahan sedih karena kehilangan Raya. Mungkin juga karena aku tahu, mulai besok, hidupku akan berubah.

Aku duduk di teras belakang, di bangku kayu yang dulu sering kupakai untuk membaca buku waktu masih sekolah. Aku menatap langit yang kosong, mencoba mencari arah.

Nenek datang pelan-pelan, membawa dua gelas teh hangat. Aroma melatinya menguar lembut. Ia duduk di sebelahku, tanpa banyak tanya.

"Besok kamu resmi jadi istri orang, Nar."

Aku mengangguk kecil. “Iya, Nek.”

Dia menatapku lama, lalu berkata, “Kalau ada niat kabur, sekarang waktunya.”

Aku tertawa kecil, walau tanganku dingin.

"Nenek dulu pengin kabur juga?"

"Pengin. Tapi nggak jadi. Karena tahu, hidup setelah nikah jauh lebih butuh keberanian daripada sebelum nikah."

Aku menunduk. Ada benarnya. Lalu nenek menatapku serius, suaranya lebih dalam.

"Nenek tahu kamu pinter. Punya banyak potensi. Tapi ingat ya, Nara. Kamu tetap harus punya pijakan sendiri. Jangan cuma bergantung sama suami. Usahain tetap kerja. Jadi PNS kalau bisa."

Aku menoleh cepat. Kaget.

"PNS, Nek?"

"Iya. Nenek dulu nggak sempat sekolah tinggi. Tapi Nenek lihat sendiri, yang jadi PNS lebih dihargai, keuangannya juga lebih stabil. Kamu jangan diremehin cuma karena jadi istri. Nenek nggak mau kamu ngalamin kayak Ibumu dulu."

Jantungku berdesir. Ini bukan pertama kalinya aku dengar cerita tentang perjuangan Ibu, tapi malam ini rasanya beda. Lebih personal, lebih dekat.

“Nenek bangga kamu mau nikah. Tapi nenek juga mau kamu tetap jadi dirimu sendiri. Jangan hilang. Jangan lupa cita-cita.”

Aku mengangguk pelan, mata mulai berkaca-kaca. “Iya, Nek…”

Dia menepuk tanganku pelan. “Hidup itu nggak harus selalu nurut sama rencana. Tapi kamu harus tetap punya arah.”

Malam itu aku tidur dengan perasaan campur aduk. Ada sedih, ada takut, tapi juga ada tekad yang baru tumbuh. Kalau besok aku jadi istri, aku juga harus tetap jadi Nara.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Main Character
1492      889     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Ruang Suara
209      146     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Di Bawah Langit Bumi
2787      1118     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Happy Death Day
598      336     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Paint of Pain
1202      753     33     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Langit Tak Selalu Biru
84      71     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Pasal 17: Tentang Kita
140      60     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
JUST RIGHT
117      99     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Lovebolisme
172      150     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Diary of Rana
227      188     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...