Kami mulai membicarakan hal-hal yang sebelumnya hanya jadi wacana: undangan, katering, konsep acara, bahkan siapa saja yang akan diundang. Dan seperti banyak pasangan lain yang mempersiapkan pernikahan, kami pun mulai sering berdebat untuk hal-hal sepele yang tiba-tiba terasa besar.
“Aku kepikiran souvenirnya campur-campur aja, gimana?” kataku sambil membuka notes di HP. “Ada pouch yang aku hias sendiri, terus bunga sabun, handuk gulung... pokoknya yang bisa aku bikin sendiri.”
Radit menoleh sambil mengunyah cemilannya. “Nggak ribet tuh?”
“Justru lebih hemat. Aku udah punya sebagian bahannya. Dan kayaknya lebih personal juga.”
“Personal iya, tapi jangan sampai kamu capek sendiri. Mau nikah malah masuk angin,” candanya.
Aku nyengir. “Aku senang bikinnya, kok. Lagian banyak juga yang bantu. Temen-temen kantor malah ada yang nawarin beli buat acara mereka juga.”
Radit mengangguk, lalu berkata, “Keren sih. Souvenirnya jadi punya sentuhan kamu banget.”
“Ya kan? Biar tamu yang dapet juga ngerasa ini bukan sekadar oleh-oleh.”
“Kalau aku dapet souvenir gitu, mungkin malah sayang mau makenya,” katanya sambil tersenyum.
Aku menepuk lengannya pelan. “Ya jangan kamu yang dapet. Kamu kan pengantinnya.”
Dia tertawa kecil. “Oh iya, lupa. Aku bagian nyiapin dana nikah dan... bayar catering.”
Aku tertawa juga, tapi kemudian diam sebentar. “Dit, serius... makasih ya. Kamu nggak maksa soal apa-apa. Aku tahu banyak cowok yang mungkin bakal pengen semuanya serba instan.”
Dia menatapku sebentar, lalu meraih botol minum dan berkata ringan, “Aku cuma nggak mau kita stres sendiri-sendiri. Nikah bukan lomba, kan?”
Aku mengangguk. Kadang, ucapan sederhana seperti itu bisa jadi pengingat yang paling menenangkan.
***
Pernah satu malam, kami hampir diam-diaman seharian hanya karena aku lupa mengirim daftar vendor catering yang sempat kami diskusikan.
“Kenapa nggak bilang dari tadi, Nara?” Nada suara Radit terdengar sedikit meninggi saat kami video call.
“Aku sibuk, Dit. Tadi harus revisi laporan kantor, terus bantuin tetangga juga, baru sempat buka HP sore ini. Kamu kira aku sengaja?”
Aku tahu suaraku ikut naik. Mungkin karena lelah. Mungkin karena aku merasa terus dituntut untuk kuat dan sigap.
Radit terdiam sebentar. Lalu dengan nada yang lebih tenang, dia berkata, “Aku tahu kamu sibuk. Tapi aku juga butuh tahu apa yang kamu kerjain. Ini kan persiapan kita bareng.”
Aku terdiam. Ada benarnya. Aku terlalu terbiasa menyelesaikan semua sendiri. Terlalu terbiasa memikul semuanya diam-diam. Sejak kecil, aku memang dibiasakan begitu.
“Maaf,” kataku akhirnya. Pelan. “Kadang aku lupa kalau ini bukan cuma tentang aku.”
Radit menarik napas panjang dari seberang layar, lalu duduk menyender ke kursinya.
“Aku juga minta maaf. Mungkin aku terlalu mikirin checklist, sampai lupa kita ini manusia. Bukan panitia event.”
Aku mengangguk. Mata kami bertemu di layar yang sepi. Kami tidak langsung menemukan solusi malam itu. Tapi kami belajar satu hal penting: bahwa hubungan yang sehat bukan soal siapa yang paling siap atau paling benar. Tapi soal siapa yang mau terus belajar untuk saling mengerti.