Malam itu, aku duduk di meja belajarku. Lampu kuning remang menyinari tumpukan pouch polos, pita, dan label-label kecil. Tapi aku belum menyentuhnya. Jari-jariku justru sibuk menari di atas halaman jurnal.
“Apa sih arti pernikahan buatku?”
Aku menulis kalimat itu besar-besar, lalu menatapnya lama.
Sejak kecil, pernikahan di mataku seperti perangkap. Aku tumbuh melihat ibu berjuang sendiri setelah ayah pergi—melihatnya menahan marah, menangis diam-diam di dapur, dan tetap bekerja keras demi aku bisa sekolah. Mungkin karena itulah, aku terlalu waspada. Terlalu takut terjebak di dalam lingkaran yang sama.
Aku pikir pernikahan itu tentang pengorbanan yang tidak seimbang. Tentang menunda mimpi, menahan keinginan, dan menjadi versi yang paling bisa dimengerti oleh pasangan.
Tapi sekarang, Radit hadir dengan cara yang lain. Ia tidak sempurna, tapi ia mau mendengarkan. Ia tidak mendesak, tapi juga tidak lari saat aku ragu.
Mungkin pernikahan bukan soal siapa yang lebih kuat menahan, tapi tentang siapa yang mau saling menguatkan. Bukan tentang menyatukan dua orang yang sempurna, tapi tentang dua orang yang sama-sama berantakan, dan memilih untuk tumbuh bersama.
Aku membuka notifikasi pesan dari Radit lagi. Menatap satu kalimat terakhir yang dia kirimkan tadi:
“Aku lebih baik nunggu kamu siap, daripada bareng kamu yang masih ragu.”
Kalimat itu seperti embun di pagi hari. Tidak menyelesaikan semuanya, tapi membuatku ingin bangun dan berjalan pelan-pelan.
Malam itu, aku menulis lebih panjang dari biasanya. Aku tulis soal ketakutanku, tapi juga tentang harapanku. Aku tulis soal trauma masa lalu, tapi juga tentang pelan-pelan membuka pintu yang baru.
Dan entah kenapa, besoknya aku bangun dengan lebih ringan.
***
Beberapa hari kemudian, kami duduk berdua di bangku taman kecil dekat kosku. Pohon kamboja di belakang kami menjatuhkan bunga ke tanah, dan suara kendaraan terdengar samar dari jalan raya.
Aku menyeka tangan berkeringat di celana jins sebelum bicara.
"Dit… aku udah lama mikirin ini. Tentang kita. Tentang nanti setelah menikah."
Radit menoleh, mengangguk pelan. "Aku dengerin."
"Aku cuma… aku cuma pengin kamu tahu, aku tuh pengin tetap kerja, tetap punya ruang buat diri sendiri."
Radit diam sebentar, lalu bertanya lembut, "Ruang yang kayak gimana maksudnya?"
"Ya… bukan berarti aku mau menjauh. Tapi aku butuh waktu buat sendiri. Kadang buat nulis jurnal, atau sekadar duduk tanpa mikirin hal rumah tangga. Kayak sekarang."
Dia mengangguk. Wajahnya serius, tapi nggak menghakimi.
"Aku ngerti. Kayaknya kita semua butuh itu, ya."
Aku tertawa kecil. "Tapi nggak semua pasangan bisa kasih itu ke pasangannya."
Radit menatapku lama. "Aku bukan pasangan semua orang. Aku pengin jadi pasangan kamu. Jadi aku pengin belajar cara ngerti kamu."
Napas yang kutahan sejak tadi, akhirnya keluar perlahan.
"Aku juga pengin ngerti kamu, Dit," kataku. "Tapi aku nggak bisa janji akan selalu jadi istri ideal. Kadang aku moody. Kadang aku pengin diam aja seharian. Kadang aku butuh waktu buat bangkit lagi, kayak kemarin waktu pesanan sepi."
"Aku tahu, Ra. Dan aku nggak nyari yang ideal. Aku nyari yang nyata."
Aku menoleh padanya. Ada senyum kecil di wajahnya yang biasanya kaku. Hangat, dan nggak menggurui.
"Kalau kita sama-sama punya ruang, tapi juga saling jadi rumah... mungkin itu bisa jalan, ya?"
Aku mengangguk. Di benakku, pernikahan perlahan-lahan bukan lagi perangkap. Tapi mungkin, kalau dilakukan dengan sadar dan jujur, ia bisa menjadi tempat pulang yang aman.