Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Setelah pertemuan keluarga kecil itu, orang-orang mulai membicarakan pernikahan kami seolah semuanya sudah pasti. Ibuku bahkan sempat menelepon untuk menanyakan persiapan pernikahan, padahal kami belum benar-benar menentukan apapun.

“Kapan mau mulai fitting kebaya, Na?” tanyanya riang di telepon.

Aku diam sejenak sebelum menjawab, “Nanti dulu ya, Bu. Aku masih pengin fokus kerja dulu, masih ada beberapa hal yang pengin aku kejar sebelum… menikah.”

Ibuku tidak langsung membantah. Tapi aku tahu, dari nada suaranya, ada kekecewaan kecil di sana. Mungkin beliau pikir aku akan segera masuk ke fase yang ‘seharusnya’.

Tapi ‘seharusnya’ siapa?

***

Sore itu, aku dan Radit bertemu di taman dekat tempat kosku. Dia membawakanku teh hangat di tumbler, tahu kalau aku belum sempat istirahat karena lembur hari sebelumnya.

“Maaf ya, Na, minggu ini belum sempat ngobrol banyak,” katanya sambil duduk di bangku panjang di sebelahku.

Aku mengangguk pelan. “Sama. Aku juga lagi banyak kerjaan.”

Hening sebentar. Lalu aku membuka suara.

“Aku belum bisa langsung nikah, Dit. Aku tahu kita udah lamaran, tapi aku belum siap.”

Radit menoleh. Wajahnya tidak kaget. Seolah sudah menebak akan ke arah situ.

“Aku ngerti,” ujarnya tenang. “Aku malah senang kamu jujur soal ini.”

Aku menatapnya penuh rasa terima kasih. “Aku nggak tahu butuh waktu berapa lama. Tapi rasanya, aku baru mulai belajar tentang diriku. Dan aku takut kalau nikah nanti malah… kehilangan itu.”

Dia menarik napas dalam. “Kalau kamu butuh waktu, ya kita ambil waktu itu. Aku di sini bukan buat buru-buruin kamu.”

Lagi-lagi, sikap Radit membuatku semakin bingung. Bukan karena dia salah—tapi karena kebaikannya itu terasa seperti beban. Seolah aku harus bisa membalas dengan kesiapan yang sama.

***

Beberapa minggu setelahnya, aku mulai iseng ikut kursus online membuat souvenir pernikahan. Iseng yang akhirnya jadi candu. Setiap malam setelah pulang kerja, aku duduk di lantai kamar, dikelilingi gunting, lem tembak, pita, dan handuk kecil warna-warni.

Pertama kali berhasil bikin handuk mini berbentuk anjing, aku hampir menangis bahagia.

Aku foto, aku upload ke Instagram story, dan tak disangka, beberapa teman langsung tertarik.

“Ra, bikinin buat nikahan temen dong. Lucu banget!” tulis seorang teman dari komunitas online-ku.

Pesanan pertama datang dari Intan, temanku di kantor.

“Aku pesen dua lusin ya. Mau yang handuk model kelinci. Bisa?” katanya waktu kami makan siang di pantry.

Aku tertawa. “Aku baru belajar, loh. Tapi ya, coba deh.”

“Kamu tuh telaten banget. Nggak nyangka dari tangan lo bisa muncul hal-hal lucu gini,” pujinya.

Aku tersipu. Mungkin ini pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar menciptakan sesuatu yang disukai orang lain.

***

Radit juga tahu soal ini. Sesekali dia mampir membawakan cemilan malam, dan menemani aku melipat handuk atau menempel label kecil.

“Na, ini beneran bikin kamu bahagia ya?” tanyanya suatu malam sambil memandangi meja kecil yang penuh kerajinan tangan.

Aku menoleh, tersenyum. “Iya. Rasanya kayak… aku bisa punya dunia kecilku sendiri.”

Dia tersenyum balik. “Aku senang kamu nemu itu.”

Tapi aku juga tahu, kesibukan baruku membuat kami jarang bertemu. Bahkan kadang aku lupa membalas chatnya sampai malam. Hubungan kami pelan-pelan jadi terasa seperti dua orang sahabat yang saling dukung dari jauh.

Dan di tengah malam-malam yang sunyi, saat semua pesanan sudah selesai kubungkus dan kupastikan rapi, aku duduk sendiri… menatap layar HP. Kadang Radit mengirim pesan:

"Hari ini capek ya? Gak apa-apa, besok cerita kalau sempat."

Aku hanya menjawab dengan emoji atau kata pendek: "Iya. Makasih, Dit."

***

Ada hari-hari ketika aku bangun pagi dengan rasa bersalah, seperti lupa sesuatu yang penting. Tapi entah apa. Mungkin karena Radit tidak lagi sering mengirim pesan panjang. Mungkin karena aku mulai terbiasa tidak menanyakan kabarnya. Mungkin… karena aku sedang terlalu nyaman sendiri.

Pikiran itu sering datang saat malam, ketika akhirnya aku berhenti bekerja, meletakkan lem tembak, dan bersandar di dinding kamar. Di saat sunyi, ketika tidak ada notifikasi, tidak ada pesanan baru, tidak ada suara apa pun kecuali detak jam dinding—aku mulai bertanya:

Apakah aku sedang melarikan diri dari sesuatu?

Dari kewajiban? Dari kenyataan bahwa aku telah bertunangan? Dari harapan-harapan orang yang ingin melihatku menjadi "perempuan utuh" dengan pernikahan?

Atau… apakah ini justru bentuk paling jujur dari diriku? Yang baru kali ini bisa berkata “Ini aku” tanpa perlu menyenangkan siapa pun?

Setiap kali aku menulis label pengiriman, mencantumkan alamat dengan hati-hati agar tak salah kirim, lalu melihat notifikasi masuk dari pembeli yang mengunggah hasil karyaku dengan emoji hati dan senyum—ada percikan kecil dalam hatiku yang berkata, “Lihat, kamu bisa bikin orang lain bahagia dengan caramu sendiri.”

Aku mulai rutin menulis semua ini dalam jurnal. Kadang pakai bahasa campur-campur, seperti sedang curhat ke teman lama yang nggak pernah menghakimi.

"Hari ini aku bikin lima belas gulungan handuk motif lebah. Warna kuningnya terlalu cerah, tapi lucu. Teman kosku bilang bentuknya mirip tahu goreng. Tapi pelanggan senang, dan aku lega."

"Hari ini ada yang order dari Papua. Katanya mau buat nikahan adiknya. Gila ya, hasil tanganku bisa sampai ke ujung negeri. Aku bahkan belum pernah ke luar Jawa."

"Hari ini aku nolak ajakan Radit jalan sore. Bukan karena nggak sayang. Tapi aku pengin sendiri. Heran, kenapa aku nggak ngerasa bersalah ya?"

Dan perlahan-lahan, aku menyadari… aku sedang berubah. Tidak, bukan berubah menjadi orang baru—tapi tumbuh menjadi diriku sendiri. Orang yang tidak lagi takut akan kesepian, karena tahu bagaimana mengisi hari-hari dengan hal yang bermakna. Orang yang tidak lagi takut untuk jujur, meski jujurnya kadang tidak sesuai harapan banyak orang.

Aku sedang tumbuh. Dan tumbuh kadang membuat kita mengambil jarak dari apa-apa yang dulu terasa dekat. Bukan karena ingin pergi. Tapi karena ingin tahu: apakah yang tersisa nanti benar-benar untuk kita?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Me vs Skripsi
2656      1147     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Langit-Langit Patah
37      32     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Broken Home
40      38     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
392      329     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Tanpo Arang
77      66     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Catatan Takdirku
1681      925     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Senja di Balik Jendela Berembun
36      34     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Loveless
9109      4443     612     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
1165      577     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Main Character
2304      1282     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...