“Kenapa nggak bilang dari kemarin kalau kamu sibuk banget?”
Nada suara Radit di ujung telepon terdengar sedikit naik. Tidak marah, tapi cukup membuat dadaku terasa berat.
Aku duduk di lantai kamar, di antara tumpukan kain flanel dan gulungan handuk yang belum selesai dibungkus. Ponsel kutaruh di mode speaker agar kedua tanganku tetap bisa bekerja.
“Aku memang sibuk, Dit,” jawabku pelan. “Nggak bermaksud ngilang atau gimana. Cuma… capek banget akhir-akhir ini.”
Dia diam. Hanya terdengar helaan napasnya. Lalu, “Kamu bisa kasih kabar meski cuma dua detik, Ra. Satu kalimat aja cukup.”
Aku menahan diri. Ingin membalas, ingin menjelaskan bahwa dunia di sekitarku benar-benar padat sekarang. Tapi di saat yang sama, aku tahu… dia nggak sepenuhnya salah.
“Maaf,” akhirnya aku mengalah. “Aku lagi belajar ngatur semuanya. Kantor, orderan, pikiran, dan… ya, kamu.”
“Aku bukan sesuatu yang perlu kamu ‘atur’, Ra.”
Kalimat itu menampar lebih keras dari yang ia sadari. Tanganku terhenti. Pita pink yang tadi ingin kuikat malah kulempar ke meja.
Aku menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi aku juga lagi berusaha nyelarasin semuanya. Aku senang sama kamu, Dit. Tapi akhir-akhir ini, aku juga senang sama diriku sendiri. Sama hidup yang lagi aku bangun.”
Di ujung sana, Radit kembali diam. Lalu, suaranya terdengar lebih pelan, nyaris seperti gumaman, “Aku takut, kamu jadi terlalu nyaman tanpa aku.”
Kalimat itu menelusup ke hatiku dengan cara yang aneh. Bukan menyakitkan, tapi membuatku sadar: mungkin selama ini aku terlalu sibuk menata hidupku, sampai lupa mengajak dia duduk di ruang yang sama.
“Dit,” kataku pelan, “aku nggak pengin kehilangan kamu. Tapi aku juga nggak bisa buru-buru jadi versi ‘ideal’ dari calon istri yang semua orang harapkan.”
“Ra…”
“Boleh nggak… kita saling kasih ruang. Tapi saling percaya.”
Hening sejenak.
“Iya,” katanya akhirnya. “Maaf ya, aku juga kadang egois. Pengen kamu kayak dulu. Padahal sekarang kamu lagi tumbuh, dan aku harusnya ikut belajar.”
Aku tersenyum. Tanganku kembali mengambil pita pink dan mulai mengikat handuk berbentuk kelinci.
“Makasih ya, Dit. Kita sama-sama belajar, ya.”
“Iya. Tapi… minggu depan kita tetap jalan, kan?”
Aku tertawa kecil. “Asal kamu nggak protes aku bawa kiriman ke ekspedisi dulu, habis itu bebas deh.”
“Deal.”
***
Malam itu, kamar kostku terasa lebih sempit dari biasanya. Tumpukan handuk yang belum dibungkus, laptop yang masih menyala dengan ratusan notifikasi belum terbaca, dan lampu kuning temaram yang biasanya membuatku tenang, justru terasa menyudutkanku.
Aku duduk bersandar di dinding, menarik napas panjang. Di atas pangkuanku, jurnal kecil berwarna biru laut itu terbuka setengah, menunggu aku menumpahkan isi hati.
"Hari ini aku bertengkar kecil dengan Radit. Bukan karena hal besar. Hanya karena aku lupa membalas pesannya sejak pagi. Tapi entah kenapa, kata-katanya siang tadi terasa tajam."
Tangan kiriku memegang pena, tangan kananku memeluk lutut. Aku berhenti menulis sejenak, lalu kembali menunduk.
“Aku takut, kamu jadi terlalu nyaman tanpa aku.”
Kalimat itu berputar-putar di kepalaku, lebih nyaring dari suara motor di luar jendela.
Aku memang sibuk. Tapi apakah aku juga sedang menutup diri? Apakah aku mulai takut terbuka karena khawatir akan kehilangan kenyamananku yang sekarang?
Aku menulis lagi:
"Radit marah bukan karena aku sibuk. Tapi karena dia merasa diabaikan. Dan aku… mungkin memang belum terbiasa berbagi ruang dengan orang lain, bahkan seseorang yang kucintai."
Aku menatap langit-langit kamar. Perasaan bersalah menyelinap. Tapi juga ada rasa takut. Takut berubah. Takut kehilangan diriku sendiri lagi.
Aku mengambil air wudhu, lalu sholat. Tak panjang, tak sempurna. Tapi dalam sujud itu, aku menangis. Mengadu dengan suara yang tak keluar, hanya hati yang bicara.
"Ya Allah… aku sayang dia, tapi kenapa sulit sekali membuka ruang? Kenapa aku masih ingin bersembunyi di balik kesibukan dan kata 'nanti'?"
Malam itu, aku tidak menemukan jawaban. Tapi setidaknya aku jujur pada diriku sendiri.
Dan itu, mungkin, langkah pertama untuk belajar saling pengertian.
***
Pagi datang terlalu cepat.
Aku baru saja selesai membereskan beberapa pesanan ketika notifikasi pesan masuk di layar ponselku menyala. Dari Radit.
"Pagi. Aku nggak mau ganggu, cuma mau bilang: maaf kalau aku terlalu keras kemarin. Aku masih belajar juga."
Jantungku seperti dicubit pelan. Kubaca ulang pesan itu dua kali, lalu kutatap lama-lama, mencoba menenangkan riuh di dadaku.
Lalu kubalas:
"Aku juga minta maaf. Aku belum terbiasa nyambungin dunia baru ini sama kamu. Tapi aku belajar, pelan-pelan."
Tak lama kemudian, notifikasi balasan masuk lagi.
"Gimana kalau kita sarapan bubur ayam, kayak dulu? Nggak harus banyak omong. Aku cuma pengen duduk bareng kamu, itu aja."
Aku tersenyum kecil.
***
Setengah jam kemudian, kami duduk di bangku taman kecil di dekat lapangan basket, masing-masing memegang semangkuk bubur ayam dari abang gerobak langganan.
Diam. Lama. Tapi tidak kaku.
Radit menyesap teh hangatnya, lalu menoleh padaku. “Kamu masih pengen sendiri, ya?”
Aku menggeleng pelan. “Aku pengen bareng kamu… tapi aku juga pengen tetap jadi aku.”
Ia mengangguk, lalu menatap jauh ke depan. “Kalau gitu, kita cari iramanya. Kayak main gitar, kan? Nggak langsung jago, tapi bisa enak didengar kalau sering dilatih.”
Aku tertawa kecil. “Perumpamaanmu makin aneh.”
“Biar cocok sama kamu.” Ia menyengir.
Kita memang tidak langsung saling memahami. Tapi di pagi yang tenang itu, kami sama-sama tahu: belajar saling mengerti tidak butuh kata-kata besar.
Cukup semangkuk bubur, teh hangat, dan ruang yang saling disediakan.