Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

“Kenapa nggak bilang dari kemarin kalau kamu sibuk banget?”

Nada suara Radit di ujung telepon terdengar sedikit naik. Tidak marah, tapi cukup membuat dadaku terasa berat.

Aku duduk di lantai kamar, di antara tumpukan kain flanel dan gulungan handuk yang belum selesai dibungkus. Ponsel kutaruh di mode speaker agar kedua tanganku tetap bisa bekerja.

“Aku memang sibuk, Dit,” jawabku pelan. “Nggak bermaksud ngilang atau gimana. Cuma… capek banget akhir-akhir ini.”

Dia diam. Hanya terdengar helaan napasnya. Lalu, “Kamu bisa kasih kabar meski cuma dua detik, Ra. Satu kalimat aja cukup.”

Aku menahan diri. Ingin membalas, ingin menjelaskan bahwa dunia di sekitarku benar-benar padat sekarang. Tapi di saat yang sama, aku tahu… dia nggak sepenuhnya salah.

“Maaf,” akhirnya aku mengalah. “Aku lagi belajar ngatur semuanya. Kantor, orderan, pikiran, dan… ya, kamu.”

“Aku bukan sesuatu yang perlu kamu ‘atur’, Ra.”

Kalimat itu menampar lebih keras dari yang ia sadari. Tanganku terhenti. Pita pink yang tadi ingin kuikat malah kulempar ke meja.

Aku menarik napas panjang. “Aku tahu. Tapi aku juga lagi berusaha nyelarasin semuanya. Aku senang sama kamu, Dit. Tapi akhir-akhir ini, aku juga senang sama diriku sendiri. Sama hidup yang lagi aku bangun.”

Di ujung sana, Radit kembali diam. Lalu, suaranya terdengar lebih pelan, nyaris seperti gumaman, “Aku takut, kamu jadi terlalu nyaman tanpa aku.”

Kalimat itu menelusup ke hatiku dengan cara yang aneh. Bukan menyakitkan, tapi membuatku sadar: mungkin selama ini aku terlalu sibuk menata hidupku, sampai lupa mengajak dia duduk di ruang yang sama.

“Dit,” kataku pelan, “aku nggak pengin kehilangan kamu. Tapi aku juga nggak bisa buru-buru jadi versi ‘ideal’ dari calon istri yang semua orang harapkan.”

“Ra…”

“Boleh nggak… kita saling kasih ruang. Tapi saling percaya.”

Hening sejenak.

“Iya,” katanya akhirnya. “Maaf ya, aku juga kadang egois. Pengen kamu kayak dulu. Padahal sekarang kamu lagi tumbuh, dan aku harusnya ikut belajar.”

Aku tersenyum. Tanganku kembali mengambil pita pink dan mulai mengikat handuk berbentuk kelinci.

“Makasih ya, Dit. Kita sama-sama belajar, ya.”

“Iya. Tapi… minggu depan kita tetap jalan, kan?”

Aku tertawa kecil. “Asal kamu nggak protes aku bawa kiriman ke ekspedisi dulu, habis itu bebas deh.”

“Deal.”

***

Malam itu, kamar kostku terasa lebih sempit dari biasanya. Tumpukan handuk yang belum dibungkus, laptop yang masih menyala dengan ratusan notifikasi belum terbaca, dan lampu kuning temaram yang biasanya membuatku tenang, justru terasa menyudutkanku.

Aku duduk bersandar di dinding, menarik napas panjang. Di atas pangkuanku, jurnal kecil berwarna biru laut itu terbuka setengah, menunggu aku menumpahkan isi hati.

"Hari ini aku bertengkar kecil dengan Radit. Bukan karena hal besar. Hanya karena aku lupa membalas pesannya sejak pagi. Tapi entah kenapa, kata-katanya siang tadi terasa tajam."

Tangan kiriku memegang pena, tangan kananku memeluk lutut. Aku berhenti menulis sejenak, lalu kembali menunduk.

“Aku takut, kamu jadi terlalu nyaman tanpa aku.”

Kalimat itu berputar-putar di kepalaku, lebih nyaring dari suara motor di luar jendela.

Aku memang sibuk. Tapi apakah aku juga sedang menutup diri? Apakah aku mulai takut terbuka karena khawatir akan kehilangan kenyamananku yang sekarang?

Aku menulis lagi:

"Radit marah bukan karena aku sibuk. Tapi karena dia merasa diabaikan. Dan aku… mungkin memang belum terbiasa berbagi ruang dengan orang lain, bahkan seseorang yang kucintai."

Aku menatap langit-langit kamar. Perasaan bersalah menyelinap. Tapi juga ada rasa takut. Takut berubah. Takut kehilangan diriku sendiri lagi.

Aku mengambil air wudhu, lalu sholat. Tak panjang, tak sempurna. Tapi dalam sujud itu, aku menangis. Mengadu dengan suara yang tak keluar, hanya hati yang bicara.

"Ya Allah… aku sayang dia, tapi kenapa sulit sekali membuka ruang? Kenapa aku masih ingin bersembunyi di balik kesibukan dan kata 'nanti'?"

Malam itu, aku tidak menemukan jawaban. Tapi setidaknya aku jujur pada diriku sendiri.

Dan itu, mungkin, langkah pertama untuk belajar saling pengertian.

***

Pagi datang terlalu cepat.

Aku baru saja selesai membereskan beberapa pesanan ketika notifikasi pesan masuk di layar ponselku menyala. Dari Radit.

"Pagi. Aku nggak mau ganggu, cuma mau bilang: maaf kalau aku terlalu keras kemarin. Aku masih belajar juga."

Jantungku seperti dicubit pelan. Kubaca ulang pesan itu dua kali, lalu kutatap lama-lama, mencoba menenangkan riuh di dadaku.

Lalu kubalas:

"Aku juga minta maaf. Aku belum terbiasa nyambungin dunia baru ini sama kamu. Tapi aku belajar, pelan-pelan."

Tak lama kemudian, notifikasi balasan masuk lagi.

"Gimana kalau kita sarapan bubur ayam, kayak dulu? Nggak harus banyak omong. Aku cuma pengen duduk bareng kamu, itu aja."

Aku tersenyum kecil.

***

Setengah jam kemudian, kami duduk di bangku taman kecil di dekat lapangan basket, masing-masing memegang semangkuk bubur ayam dari abang gerobak langganan.

Diam. Lama. Tapi tidak kaku.

Radit menyesap teh hangatnya, lalu menoleh padaku. “Kamu masih pengen sendiri, ya?”

Aku menggeleng pelan. “Aku pengen bareng kamu… tapi aku juga pengen tetap jadi aku.”

Ia mengangguk, lalu menatap jauh ke depan. “Kalau gitu, kita cari iramanya. Kayak main gitar, kan? Nggak langsung jago, tapi bisa enak didengar kalau sering dilatih.”

Aku tertawa kecil. “Perumpamaanmu makin aneh.”

“Biar cocok sama kamu.” Ia menyengir.

Kita memang tidak langsung saling memahami. Tapi di pagi yang tenang itu, kami sama-sama tahu: belajar saling mengerti tidak butuh kata-kata besar.

Cukup semangkuk bubur, teh hangat, dan ruang yang saling disediakan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Diary of Rana
225      188     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
613      268     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Cinderella And The Bad Prince
1590      1034     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
HABLUR
1078      488     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Ilona : My Spotted Skin
617      432     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
142      125     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Metafora Dunia Djemima
101      83     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Arsya (The lost Memory)
1009      647     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
Hideaway Space
118      95     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Imajinasi si Anak Tengah
2440      1317     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...