Kekhawatiran bercampur dengan ketegangan semakin dia rasakan. Wajah Mina memucat terlebih setelah mendengar percakapan mereka yang duduk di bangku paling sudut.
Dia sudah cukup lama duduk sembari mendengar pembicaraan mereka berdua. Dengan perlahan dan sabar menanti sampai menemukan petunjuk lagi. Namun Mina ketahuan saat mencuri-curi pandang ke arah Aldi yang tengah berbisik.
Pandangan mereka saling bertemu satu sama lain. Mina yang panik secara tak sadar mengalihkan pandangannya dengan cepat.
Jantungnya berdegup kencang tak karuan, bernapas pun terasa berat bahkan sekujur tubuh ikut gemetar. Perasaan takut kembali menjelma, sebanding dengan perasaan kehilangan seseorang.
Albert yang baru sadar ada sesuatu yang aneh dengan Aldi lekas berbalik badan dan melihat ke arah yang dilihat oleh temannya itu.
“Kenapa? Ada sesuatu?” Albert bertanya.
Aldi justru tertawa menanggapi pertanyaan itu, lantas dia langsung menunjuk ke arah wanita berpakaian hitam putih.
“Kau mau menggodanya? Ayolah, tidak ada waktu berbuat begitu. Lagi pula kau sudah punya pacar 'kan?”
“Pacar apanya? Itu cuman status hubungan tapi bukan berarti aku memang ada rasa dengan dia,” kata Aldi.
“Tapi bukan berarti kau harus menggoda banyak perempuan, Aldi. Kau terlalu playboy.”
Aldi sekali lagi menatap ke arah Mina, begitu juga dengan Albert. Selang beberapa saat kedua pria itu langsung melirik satu sama lain dengan ekspresi yang serius.
“Dia mendengar pembicaraan kita?” Dengan suara pelan, Albert bertanya lalu kembali menghadap ke arah dinding kafe.
“Kalau aku jawab iya, kau mau berbuat apa?” sahut Aldi.
“Katakan saja itu salah paham. Lagi pula ini terjadi tidak hanya sekali atau dua kali.” Albert mengerutkan kening sembari menatap Aldi dengan tajam.
“Ini semua karena kau, Aldi,” imbuh Albert.
Aldi mengangkat kedua bahunya, dia berniat menghindari tanggung jawab namun karena desakan Albert yang begitu serius dan marah, dia akhirnya mengurus urusan ini.
Aldi menghampirinya lalu menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda permintaan maaf dan berkata,“Nona, mohon maafkan kami berdua yang sepertinya sudah mengganggu.”
Tidak ada respon dari wanita itu. Aldi pun cemas dibuatnya, lekas dia berjalan ke sisi kiri dari wanita itu dengan berharap dapat melihat wajahnya dan dia tampak terkejut saat beradu tatap dengan sosok wanita berkacamata yang ada di hadapannya.
“Maaf,” ucap Mina dengan menahan suaranya di bagian perut agar terdengar sedikit lebih berbobot namun pelan.
Pandangan Aldi terpaku pada sosok wanita yang memiliki ekspresi tegas di wajahnya terlihat begitu memesona.
Sementara Albert memandang wajah temannya dari kejauhan, merasa jijik karena kelakuan Aldi yang tidak pernah berubah.
“Astaga dia sama sekali tidak bisa diandalkan,” gerutu Albert yang seketika merasa pusing.
Jatuh cinta pada pandangan pertama bukanlah pertama kalinya Aldi rasakan. Dia mungkin berpenampilan seperti pria yang giat belajar dengan mengenakan kacamata tetapi sifat aslinya tidak berbeda jauh dari pria yang menyukai setiap wanita cantik.
“Aku seperti pernah melihatmu,” ucap Aldi spontan.
Saking terkejutnya Mina dengan sigap mengalihkan pandangannya sambil menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka.
“Maaf untuk sebelumnya. Saya tidak berniat ikut campur atau sengaja menguping pembicaraan kalian berdua.”
“Justru saya yang harus meminta maaf karena percakapan kami yang terlalu keras. Maaf.”
“Itu tidak masalah. Kalau begitu mari kita lupakan masalah ini.”
Aldi menganggukkan kepala tanda setuju untuk melupakan masalah ini. Namun sayangnya Albert memiliki pikiran yang berbeda.
“Tunggu sebentar. Boleh saya tahu apa saja yang kamu dengarkan dari percakapan kami?” Albert sadar jika pertanyaan ini akan membuat Mina takut dan curiga tapi dia sengaja melakukannya.
“Tolong jangan khawatir. Saya bertanya karena takut jika ada kesalahpahaman,” imbuh Albert.
Pertanyaan Albert lebih seperti tekanan batin yang menyudutkan Mina agar menjawab dengan jujur. Jika Mina mengatakan kejujurannya maka mungkin mereka akan mengambil kesempatan bertindak begitu sepi tetapi jika Mina berbohong maka dia akan terjebak dan terus diawasi.
Tidak ada pilihan yang lebih baik karena pada akhirnya Mina akan terlibat oleh mereka lagi. Maka dari itu Mina harus memikirkan jalan lain yang lebih aman.
"Mereka tidak akan pernah berani bertindak di tempat umum tapi aku tetap tidak beruntung karena harus terlibat lagi dengan mereka," batin Mina.
“Saya hanya mendengar bahwa kalian berdua ingin mencari seorang anak,” ungkapnya dengan ekspresi tenang.
Melihat wajah tenang dan tegas itu, Aldi merasa sangat terpesona, sejak tadi pun dia tidak pernah melepas pandangan darinya. Sedangkan Albert yang memiliki wajah sedikit menyeramkan hanya menatap Mina dengan tatapan tak bersahabat.
“Lalu saya juga dengar kalau anak itu sedang menghilang? Saya berharap anak itu segera ditemukan oleh kalian.” Mina sedikit tersenyum. “Atau kalian butuh bantuan?” tanya Mina yang dengan sengaja menawarkan bantuan pada mereka.
Mereka menolak tawaran itu dengan tegas lantas pergi dari kafe. Timbulnya kecurigaan yang tak biasa membuat Albert sedikit tidak puas dengan hasilnya. Begitu juga dengan Mina yang mendapatkan keuntungan sekaligus kerugian di saat yang sama.
"Aku mendapat informasi, entah mereka melakukan percakapan itu untuk memancingku atau bukan pun tetap membuatku berada dalam bahaya," batin Mina.
Di satu sisi dia bersyukur karena tidak dikenali oleh mereka, karena jika tidak maka situasinya akan jadi jauh lebih rumit.
***
Di dalam gang kecil.
“Aku merasa pernah melihat dia sebelumnya. Tapi di mana ya?” Aldi bertanya-tanya sambil mengingat sesuatu.
“Perempuanmu banyak, buat apa diingat kalau satu persatu kau campakkan selang seminggu. Tidak ada gunanya,” ketus Albert.
Aldi menyikut lengan Albert lantas berkata, “Bilang saja iri.”
Albert mengerutkan kening, kesal karena ucapan yang keluar dari mulut Aldi selalu tidak berguna.
Hari sudah semakin siang, sebentar lagi Lia akan segera pulang dari sekolahnya.
Anak-anak murid di sekolah itu kini mulai mengasingkan Lia dari lingkaran pertemanan. Mereka melakukan itu hanya disebabkan karena Lia masih ingin berteman dengan Mina. Alhasil Lia sendirian di bangku paling sudut dalam kelas.
“Tuh 'kan aku bukan bunga sekolah,” gumam Lia sambil tersenyum hambar.
Dunia terasa asing bila sesuatu hal kehilangan warnanya. Hanya putih, hitam ataupun abu-abu sebagai warna dominan terasa sangat hampa dan membosankan. Kehidupan Lia yang biasanya dipenuhi dengan canda tawa dan ditemani banyak orang kini berubah dalam sekejap hanya karena berdiri di pihak seseorang yang dikucilkan.
Habis manis sepah dibuang, sosoknya yang menjadi pusat perhatian telah terkubur dalam kubangan lumpur. Sudah tidak ada warna, rusak dan berubah menjadi sampah. Beginilah nasib Lia yang dulu sering disebut bunga sekolah yang diidamkan banyak kaum adam.
Sendirian di dalam kelas yang sepi, Lia merasa sangat lelah padahal tidak melakukan apa-apa. Kini dia merasakan apa yang dirasakan oleh Mina saat dikucilkan oleh banyak orang.
Berhadapan dengan dua pria yang merupakan musuhnya sungguh menguras tenaga. Menekan suara dari perut, memperhatikan gestur tubuh dan mengatur ekspresi pun membuat dia begitu kelelahan. Tepat setelah kepergian mereka, Mina langsung melepas semua gerak-gerik untuk penyamarannya.
Kini dia telah bisa bernapas lega. Hatinya mungkin telah lega tetapi tidak untuk ke depannya karena dia sekarang sudah ditandai oleh Albert yang pernah mencurigainya itu.
Segera Mina beranjak pergi dari kafe ini. Begitu keluar, dia langsung menghirup udara segar sejenak demi membuat dirinya sendiri rileks. Lalu dia melepas kacamata miliknya dan meletakkan itu ke dalam tas.
Awalnya dia tidak menggunakan kacamata itu, dia menggunakannya saat Aldi hendak menghampirinya. Itu dia lakukan demi penyamaran belaka, mengelabui mereka dengan penampilan orang dewasa.
Mina sangat merasa bersyukur karena telah menyiapkan hal itu semua, setidaknya bisa disebut sukses karena tidak ada tanda-tanda dari mereka setelah semua informasi yang dia dengar.
“Pengalaman pertama dalam mencari informasi sudah membuatku semakin berhati-hati. Aku memang nggak berpengalaman tapi seenggaknya aku bisa berakting walaupun itu payah.”
Mina mengakui diri sendiri bahwa dirinya payah dalam berakting. Meski begitu usahanya kali ini mampu mengecoh musuh.
Mina mengeluarkan ponselnya dan melihat kembali foto para target. Sekarang bukti dari percakapan mereka telah membuat Mina menandai mereka.
“Hanya dua orang ini. Itu artinya sisanya bukan targetku. Aku sungguh beruntung karena menemukannya secepat ini, tapi entah ini benar sebuah keberuntungan atau karena aku yang sedang dijebak oleh mereka.”
Kewaspadaan Mina memang tidak pernah mengendur. Hanya saja dia merasa perjalanannya tidak akan semulus ini dan dia merasa janggal meski tak tahu di bagian mananya.
Kejanggalan dalam hati pun membuat Mina terus mewaspadai sekitar. Dalam perjalanan menuju ke rumah, sesekali dia melirik ke belakang guna memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti. Setelah merasa aman, Mina bergegas dengan mempercepat langkahnya dengan pandangan yang tetap menoleh ke belakang.
Hingga tanpa sadar Mina menabrak sesuatu di depannya, Mina terdorong mundur dan hampir jatuh terjengkang. Mina yang terkejut lantas menutupi wajahnya sambil melihat ke bawah.
“Ma-maaf,” ucap Mina dengan terbata-bata.
Sadar yang ditabraknya adalah seseorang, dia meminta maaf dan berniat akan segera pergi dari sana namun orang itu justru menghalangi jalannya dengan sengaja.
Setiap kali Mina berpindah posisi dari kiri ke kanan, dia akan mengikutinya. Dalam kebingungan, Mina lekas mendongakkan kepala dengan kesal.
“Kenapa malah menghalangi?!” Mina meninggikan nada suara, membentak orang itu.
Ternyata yang ditabrak Mina tanpa sengaja adalah seorang pria berpostur tubuh tinggi dan dia bukan pria asing atau semacamnya melainkan teman dari kedua targetnya.
“Kita bertemu lagi. Tempo hari kita belum berkenalan.” Dia menyapanya sambil tersenyum ramah. Perangai yang tenang mirip dengan seseorang.
“Sekilas aku kira Lia,” ucap Mina spontan.
“Ya?” Pria itu dibuat bingung karena kalimat barusan.
“Eh, bukan.” Mina menggelengkan kepala dengan cepat. “Maaf saya nggak bermaksud menabrak apalagi marah-marah. Ini seharusnya kesalahan saya,” tutur Mina dengan suara yang lembut dan tenang.
“Lalu, saya Mina.”
Sudah tidak ada gunanya bersembunyi. Kacamata yang dia gunakan sudah tersimpan dalam tas sehingga pada akhirnya pria ini langsung mengenalinya.
"Mina rupanya," batin pria itu.
“Jangan terlalu formal. Meskipun itu bagus karena kamu menghormati yang lebih tua, tapi kita hanya terpaut beberapa tahun saja dan aku nggak begitu suka dengan keramahtamahan.”
Mina mengangkat sebelah alisnya dengan heran, maksud untuk bertanya lantaran apa yang barusan diucapkan oleh pria ini terdengar aneh baginya.
“Semua orang tentu harus bersikap sopan. Kenapa tidak suka?”
“Karena kedengarannya seperti orang munafik atau bermuka dua dan juga ciri khas seorang penjilat.” Ketika dia mengatakannya, itu terdengar seperti menghina.
Mina tersentak kaget, dia merasa sedikit tersindir namun tetap mengontrol ekspresinya sedemikian rupa serta amarah pada dirinya sekarang ini.
“Saya pikir orang munafik atau bermuka dua tidak punya etika. Mereka orang yang lihai dalam menyembunyikan sesuatu di balik kata, "Jangan merasa sungkan", atau semacamnya.”
“Oh? Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya pria itu.
“Karena saya baru saja bertemu dengan orang semacam itu. Bagaimana saya tidak tahu?” Mina membahas Albert dan Aldi yang sempat menginterogasinya di dalam kafe.
Jujur saja hingga saat ini Mina masih terbayang-bayang akan ketakutannya terhadap mereka berdua terutama pada Aldi yang hampir mengenali sosoknya dalam penyamaran.
“Mungkin orang yang kamu temui jauh lebih licik ya?”
“Tidak juga. Saya hanya tahu bahwa orang itu agak sedikit narsis.”
Licik atau tidaknya sifat mereka bahkan tidak jelas, Mina hanya mengungkapkan bahwa mereka yang bersikap baik belum tentu baik. Dia tidak membahas cara Aldi bersikap ramah melainkan menilainya dari gestur tubuh.
"Aldi bukan orang yang licik, aku tahu itu setelah berinteraksi dengannya selama dua kali. Tapi mungkin dia orang yang sadis," pikir Mina dalam benaknya.
Ada yang bilang gestur tubuh lebih jujur dari ucapan yang keluar dari mulut. Nyatanya itu benar meski ada orang yang lebih pandai menyembunyikan hal tersebut guna mengelabui pandangan setiap orang padanya.
“Bahkan saya tidak tahu apakah orang yang ada di depan ini benar-benar orang baik?” sindir Mina.
Pria itu lantas tertawa lalu memperkenalkan dirinya dengan ramah tidak seperti sebelumnya. Pria berusia 22 tahun dengan potongan rambut rapi dan berpenampilan biasa dengan jas tipis yang panjang berwarna coklat, terlihat seperti orang yang profesional dalam pekerjaannya. Bernama Hendrik.
“Ini pertama kalinya kak Hendrik memperkenalkan diri ya?”
“Iya. Sebelumnya kita saling bicara karena kucingmu. Lalu apa ada alasan di balik pakaian formal ini?”
Hendrik adalah pria yang cukup terang-terangan sama seperti Albert ataupun Aldi. Namun jika Albert memiliki sifat ketus dan pemarah dan Aldi yang narsis, maka Hendrik memiliki sika tak tahu malu. Dia memang orang yang berterus terang tapi terlalu bablas tanpa rem di mulut. Sama sekali bukan seperti orang yang beretika.
“Aku hanya ingin berpakaian dewasa seenggaknya sekali. Ada masalah?”
“Oh sekarang kamu sudah nggak bersikap formal lagi?”
“Bukannya kakak juga sama aja?”
Mina dan Hendrik memiliki sifat berbanding terbalik yang begitu jelas tapi di satu sisi, sifat keras kepalanya sama.
Mina mengangkat sebelah alis, melipat kedua lengan ke depan dada sambil menatap kesal. Sementara Hendrik tetap tersenyum memandangnya namun ekspresi itu jelas palsu.
"Apa aku terlihat seperti orang ini di mata teman-teman sekelasku?" pikir Mina dalam benaknya. Nampaknya dia sadar, dulu dia pernah berpura-pura berwajah bahagia.
"Mungkin kemunafikan memang sifatku," pikirnya lagi dalam benak. Mina rupanya sadar diri juga.