Loading...
Logo TinLit
Read Story - Penerang Dalam Duka
MENU
About Us  

Kesombongan lahir dari dari kebaikan sesaat. Tak semua orang dapat berbuat baik dengan ikhlas karena pada dasarnya manusia itu haus akan pujian. Suatu kejahatan tak pernah luput dari perhatian, kadangkala mereka bertebal muka demi gengsi yang tinggi atau juga bersikap munafik hanya untuk menjilat para petinggi.

 

Pendidikan moral, kesetiaan, serta kepatuhan, adakah yang masih menerapkannya?

 

Ekspresi mungkin bisa diatur sesuka hati namun hati sulit dibohongi. Mungkin orang lain bahkan diri sendiri pernah ikut tertipu tapi setidaknya hati atau perasaan seseorang lah yang paling murni kejujurannya meski tidak pernah diungkapkan langsung. 

 

Kini Mina telah mengambil langkah penting. Sedikit demi sedikit satu langkah dari sebuah petunjuk telah membuatnya bergerak maju dan secercah harapan semakin nampak di depan mata. Kekuatannya memang kecil apalagi koneksi yang bahkan dia tidak punya. 

 

Hanya seorang gadis kecil tanpa nama yang terkenal, Mina. Putri sulung dari kedua orang tua yang biasa. Ibu hanya IRT sementara sang Ayah hanya pekerja kantoran. Tidak ada yang istimewa selain alter-ego milik Mina yang nampak dewasa dari umurnya. 

 

Sepulangnya dari urusan, itu bahkan hampir menjadi bencana karena kucing hitam. Orang sering bilang kalau kucing berwarna hitam adalah pembawa sial, entah itu benar atau tidak tapi mungkin sudah terbukti setelah semua hal terjadi. 

 

Di satu sisi mungkin membawa keburukan namun juga keberuntungan. Setidaknya berkat kucing yang sengaja tidak diberi nama ini, Mina mendapatkan informasi berguna. 

 

Sudah cukup lama Mina berbaring di kursi sofa sembari sibuk menggulir layar ponselnya. Di tengah kesibukan saat sedang mencari kembali tentang mereka (para target), sebuah notifikasi pesan muncul. 

 

Pesan dari ketua kelas, [Mau sampai kapan libur?], yang kemudian dibalas Mina dengan beralasan sedang sakit. Dia bahkan menjadikan alasan karena telah diculik selama seminggu agar tidak masuk sekolah. 

 

[Sakit apa?], tanya ketua kelas yang bagi Mina itu terlihat seperti mengejek. 

 

Banyak orang pada umumnya akan berpikir jika korban penculikan sedang sakit maka itu berarti mentalnya lah yang tidak sehat namun ketua kelas itu malah sengaja bertanya seakan-akan tidak tahu.

 

Sebelum Mina menjawab pesan itu, ketua kelas kembali mengirimkan pesan.

 

[Sakit jiwa?] 

 

“Ketua kelas ini pasti sangat membenciku.” 

 

Sudah sejak lama Mina sadar kalau sikap teman-temannya berubah drastis ke arah yang dia tidak tahu. Bahkan Mina sendiri juga telah berubah hingga tidak merasakan apa pun setelah dihina terang-terangan. 

 

Entah karena perasaannya telah lenyap atau seolah karena terbiasa dengan perilaku jahat itu. 

 

Pertemanan tidak seindah kenyataan. Alih-alih berkata tali pertemanan dibentuk hanya dengan saling percaya tapi nyatanya setiap orang membutuhkan orang lain karena apa yang dia bisa dan apa yang dia punya. 

 

Namun kehidupan seperti itu memang sangat wajar, Mina tidak merasa aneh bila suatu hari nanti dia hanya akan sendirian. 

 

Ketika dia menatap pesan singkat berupa hinaan dari ketua kelas, Mina mengingat sosok Lia dalam benaknya. Gadis yang selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi setiap saat dan selalu hadir suka maupun duka. Tanpa sadar wajah lama telah kembali karena hal itu.

 

Raut wajah yang tenang, senyum tersungging pelan. Hati terasa hangat hanya karena senyuman Lia yang terus diingatnya. 

 

“Apa dulu aku seperti itu?” 

 

Entah sejak kapan Mina melupakan sosoknya di masa lalu. Bahkan mungkin tidak sadar dirinya yang sekarang merupakan sebuah kepribadian lain atau alter-ego belaka.

 

Luka lama kembali terbuka begitu menatap foto keluarganya dalam frame. Di sana hanya ada wajah tersenyum ceria, tidak ada tipuan atau apa pun karena dalam foto itu mereka semua benar-benar sedang bahagia. 

 

“Ibu, putrimu ini sudah menemukan petunjuk dan barusan menemukan orangnya karena kebetulan.” Dia berbicara sendiri seolah sedang berbincang dengan almarhum ibunya.

 

Sosok lemah yang kadang muncul di saat-saat seperti itu tak pernah dia tunjukkan lagi di depan umum bahkan di hadapan Lia juga sama. 

 

Sebelum pergi menuju arah dapur dia tidak lupa meninggalkan balasan pesan untuk ketua kelas. 

 

[Iya, aku sakit jiwa jadi nggak tahu kapan sembuhnya. Mohon dimaklumi ya, ketua kelas.] Ditambah dengan emoji tertawa di akhir kalimat, menambahkan kesan tak waras. 

 

Turun hujan di sore menjelang malam hari, tepat pada pukul 5 sore Mina mencari makanan tersisa dalam kulkas pendingin. Ada dua puding tersisa dari Lia tapi sayangnya sudah berjamur. 

 

“Benar juga, aku 'kan diculik selama 7 hari. Pudingnya sudah basi.” Mina mendecakkan lidah dengan kesal karena tidak sempat memakan puding yang tersisa dan akhirnya membuangnya dengan sia-sia. 

 

Karena makanan dalam kulkas sudah habis, bahkan telur juga sudah habis tak tersisa sedangkan perutnya masih keroncongan. 

 

“Aku berharap seseorang mengirimkan makanan sekarang,” ucapnya melantur. 

 

Baru saja dia berharap sesuatu, Lia datang dengan membawa makanan di dua tempat yang terlihat besar. Lagi-lagi terjadi kebetulan tak terduga, kini kecurigaan Mina semakin besar pula.

 

“Siapa kamu?” tanya Mina.

“Aku Lia. Masa' kamu tiba-tiba lupa? Aku jadi sedih nih.” 

“Makanannya pasti beracun.”

“Mina, pikiranmu berlebihan.” 

 

Mina tetap berdiri diam tanpa membuka pagar sembari memandang Lia dengan sinis. 

 

“Kalau emang takut ada sesuatu di dalamnya, nanti aku makan duluan biar aman buat kamu. Tapi sebelumnya bisa tolong buka pintu pagarnya?” 

 

Mina masih mencurigainya dan dia masih bersikap sama. Rasa canggung justru hadir di antara mereka yang seharusnya sudah berteman lama.

 

“Aku datang sambil bawa makanan dan payung agar tidak kehujanan tapi aku nggak bisa terus berdiri di sini.”

 

Cuacanya semakin dingin karena sebentar lagi langit akan gelap. Mina mendongakkan kepala dan menatap langit di bawah payung, lantas menghela napas sejenak sebelum akhirnya membuka pintu pagar.

 

Beberapa kebetulan terus terjadi pada hari ini, membuat Mina mencurigai bahkan untuk hal sepele. Hingga Lia saja jadi dicurigai tanpa alasan. Pikiran Mina memang terlalu berlebihan. 

 

Makanan tersaji di dua tempat dengan jenis yang berbeda. Satunya berkuah panas dan satunya gorengan hangat. Ini makanan yang cocok di musim hujan. 

 

“Ibumu membuat ini semua?”

“Iya. Ibu dan aku tahu kamu pasti belum mengisi perut. Sarapan paginya gimana?”

“Aku memakan telur rebus.”

“Itu aja nggak cukup tahu. Harusnya bilang ke aku atau ajak aku ke tempat makan!” seru Lia dengan bersemangat. 

 

Mina menoleh ke arah jendela lantas bertanya, “Di saat hujan begini kamu mau pergi keluar?”

 

“Maksudku tadi sewaktu cuacanya bagus tapi kamu pergi ke suatu tempat 'kan?” Tiba-tiba Lia mengalihkan pembicaraan. 

 

“Oh ya kamu pasti dapat sesuatu yang ada hubungannya dengan kejadian itu. Boleh kasih tahu aku? Aku penasaran, aku juga mau dengar, boleh ya?”

 

Saat Mina hendak mengatakan sesuatu dia tidak sempat lantaran Lia kembali mengoceh. 

 

“Boleh ya, Mina?”

“Kalau tahu mau apa kamu?”

“Aku juga mau bantu,” kata Lia berwajah serius.

“Jangan sampai terlibat, kamu harus fokus sekolah.”

“Kamu 'kan juga,” balasnya dengan jawaban masuk akal.

 

Seketika Mina diam seribu bahasa. Tangan sibuk menyendok makanan dan mulut sibuk makan lalu mengunyahnya. Dia bahkan sudah tidak peduli apakah makanan itu aman atau tidak.

 

Semudah membalikkan telapak tangan, Lia membalas perkataan Mina bahwa mereka sama-sama masih harus bersekolah. Memang tak seharusnya Mina terlalu terobsesi dengan pembalasan dendam namun jika tidak begini maka hatinya pernah tidak tenang. 

 

“Makanan yang dibuat ibumu enak. Terima kasih sudah berbaik hati.”

“Kenapa mendadak jadi formal? Kita 'kan tetangga meski beda komplek sih.” 

 

Tak terhitung jumlah kebaikan Lia padanya yang seringkali mengabaikan. Mina tidak tahu cara berbalas budi yang tepat sebab kebaikannya terlampau jauh tak terbayangkan. Namun Lia justru menganggap ini hanya sekadar keinginannya, dia berbuat baik karena ingin, apalagi jika menyangkut sahabat sejak kecilnya. 

 

“Mina, tolong jangan sungkan. Kita berdua sudah lama berteman jadi jangan nggak enakan atau gimana, ya?”

 

“Aku cuman merasa harus membalas semua kebaikan kalian untuk selama ini. Cuman itu, karena seenggaknya aku puas.” 

 

“Ternyata benar ya kalau sifatmu ...kepribadian kamu berubah,” ucap Lia dengan kepala tertunduk. Dia merasa enggan menunjukkan ekspresi muram itu. 

 

Sehari setelah pemakaman, Mina dijadikan bahan gunjingan hanya karena perubahan sifat serta sikapnya pada setiap orang termasuk pada Lia sendiri. Mereka merasa melihat Mina menjadi orang yang berbeda dari hari sebelumnya.

 

Fakta itu tidak terbantahkan, Mina bahkan tidak menyangkal dan hanya diam tanpa menanggapi secara langsung. Dia terkadang menyindir hanya agar mereka berhenti menggosip tapi nyatanya itu membuat mereka semakin membenci Mina. 

 

“Terserah kamu benci aku atau nggak, aku nggak mempermasalahkan hal itu. Hanya saja mungkin aku agak kecewa,” sahut Mina. 

 

“Bukan itu maksud aku, Mina.” Lia mengangkat wajahnya dan menatap Mina dengan bersedih hati.

 

Raut wajah Mina terlihat datar, tanpa adanya ekspresi semakin dia sulit dibaca pikirannya. Kening Lia berkerut dan kebingungan cara menghadapi sosok sahabatnya yang sekarang sehingga dia pun kembali menundukkan kepalanya.

 

“Teman-teman bilang kamu kurang waras. Punya kepribadian aneh dan nggak sepantasnya ditemani.”

 

“Aku sadar diri, aku nggak cocok berteman dengan bunga sekolah ataupun idola para kaum adam,”kata Mina secara frontal.

 

“Aku nggak berpikir begitu!” teriak Lia. “Aku juga bukan bunga sekolah yang kamu bicarakan.” Perlahan suaranya mengecil, karena kepercayaan dirinya menghilang. 

 

Mina tersenyum sembari berucap, “Kamu memang bunga sekolah idaman para kaum adam.”

 

***

 

Selama 5 hari, Mina terus membolos sekolah dengan beralasan sakit namun sebenarnya dia sedang mencari keberadaan kedua target yang sudah dia tandai. 

 

“Albert Ginnia dan Aldi. Dua orang ini tidak pernah terlihat bersama kecuali pada saat aku bertemu dengan mereka.”

 

Kedua orang itu lebih sering bergerak terpisah entah karena urusan kuliah, pekerjaan atau hanya sekadar bermain saja. Justru yang lebih dekat dengan mereka adalah temannya. 

 

“Dia nggak masuk dalam daftar target padahal dia sedekat ini dengan dua orang itu. Apa karena pertemanannya begitu erat? Tapi seharusnya mereka bertiga jalan barengan saja, bukannya itu lebih mudah?” Mina melipat kedua lengannya ke depan dada sembari menatap Albert yang duduk di bangku paling sudut. 

 

Hari ini Mina mengganti tampilannya dengan setelan kemeja agar terlihat seperti orang dewasa, ini mencegah hal-hal yang tidak diinginkannya. 

 

Pada pagi ini Albert terlihat sendirian, dilihat dari gelagat seperti orang kebingungan, mungkin dia sedang menunggu seseorang yang entah itu siapa. Namun Mina berpikir mungkin saja itu temannya lagi tapi ternyata tidak. 

 

“Albert!” Suara serak basah terdengar setelah lonceng berbunyi dan pintu kafe terbuka. 

 

Pelayan menyambut kedatangan pelanggan itu dengan sangat ramah karena satu alasan yakni karena Aldi adalah pelanggan tetap di kafe ini. Sehingga perlakuannya berbeda dengan pelanggan biasa. 

 

“Oh, di luar dugaan dia bertemu Albert di jam siang begini?” Jam di ponselnya menunjukkan angka 11. 

 

Beruntungnya dia selalu datang ke kafe ini dan akhirnya dapat melihat interaksi antara Albert dan Aldi pada hari ini. Jarak tempat duduk di antara mereka dengan Mina hanya berselang satu tempat duduk di baris belakang sehingga Mina masih bisa mendengar percakapan mereka.

 

"Seharusnya aku nggak akan ketahuan 'kan?" batin Mina yang mendadak jadi cemas. 

 

Demi menghindari kecurigaan lain, Mina sengaja berpura-pura bermain ponsel sembari menguping pembicaraan yang tampaknya suara mereka sengaja dikecilkan.

 

“Kabarmu gimana? Sepertinya sehat ya.”

“Aku sedang sakit hari ini.”

“Kebohonganmu semakin parah saja. Kamu tidak tahu ya kalau terus berbohong maka hidungmu akan jadi panjang.” 

“Hidungmu yang bakal jadi panjang karena terus beromong kosong sepanjang waktu.”

 

Lebih dari satu jam mereka terus membahas hal konyol yang tidak berguna membuat Mina semakin lelah mendengarnya bahkan sampai menguap karena rasa kantuk yang tak tertahankan.

 

“Jika aku jadi dirimu, aku pasti akan melarikan diri dari kota ini.”

“Untuk apa lari dari perbuatan yang aku lakukan? Menyedihkan.”

“Kudengar ada satu anak yang lolos. Apa ini alasanmu yang ingin menetap di kota?”

 

Percakapan mereka yang akhirnya terdengar serius kini terhenti sejenak. Percakapan itu berhenti saat temannya barusan bertanya sesuatu pada Albert. 

 

"Apa aku nggak salah dengar barusan? Situasi yang dibicarakan mirip dengan situasiku," pikir Mina dalam batin.

 

“Pekerjaan kita masih belum selesai karena dia.”

“Cepat cari sana.”

“Orang tuanya selalu mengubah alamat rumah mereka setiap minggu dan waktunya selalu tidak tepat karena begitu aku menemukannya, ternyata sudah pergi atau bahkan alamatnya palsu.” 

 

Pendengaran Mina semakin tajam dan semakin yakin bahwa pembahasan mereka mengarah pada keluarganya. 

 

“Begitu aku menemukan anak itu, aku pasti akan membereskannya sesuai rencana,” ucap Albert. 

“Jangan terang-terangan mengatakannya.”

“Justru jika mengatakannya di tempat umum dan terang-terangan maka tidak akan menimbulkan kecurigaan. Orang pikir sedang salah paham.” 

 

Mina sekilas melirik ke samping dan mendapati Aldi yang tersenyum sembari memandang ke arah layar ponsel. 

 

“Kalau begitu aku ingatkan saja ya, anak itu pasti masih ada di kota ini. Waktu kita tidak banyak dan masih ada tugas lainnya yang akan datang,” kata Aldi. 

 

“Aku tahu itu, tapi tidak bisakah kita beristirahat sejenak?”

 

“Kau yakin mau beristirahat? Sedangkan anak itu masih berkeliaran, khawatir para petugas sudah menemukan kita.”

 

“Tumben sekali jadi penakut begitu kamu, Aldi. Padahal kamu yang sengaja meninggalkan jejak agar mereka bergerak,” tutur Albert lantas tertawa. 

 

Aldi ikut tertawa karenanya, kemudian dia berkata, “Ya agar anak itu juga keluar dari tempat persembunyian.” 

 

“Oh ya, aku lupa nama anak dari pria itu. Siapa namanya?” tanya Albert. 

 

“Aku tidak tahu mana yang hidup. Di antara,” ucap Aldi yang kemudian berbisik pelan di dekat telinga temannya. 

 

Mina yang masih diam-diam melirik mereka mencoba untuk membaca gerak bibir Aldi yang secara kebetulan menghadap ke arahnya. 

 

“Ema dan Mina,” jawab Aldi yang kemudian menatap Mina sambil tersenyum lebar.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Batas Sunyi
1966      896     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
TANPA KATA
23      20     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Only One
1098      751     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
No Life, No Love
1277      951     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
A Sky Between Us
47      42     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
415      294     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Metafora Dunia Djemima
101      83     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Liontin Semanggi
1611      974     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
No Longer the Same
420      315     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
71      62     1     
True Story