Berselang beberapa menit mereka saling bertatapan satu sama lain di persimpangan jalan. Kendaraan berlalu lalang membuat jalan besar di seberang semakin ramai namun tak satu pun dari kedua orang itu berhenti saling melotot hingga keduanya menjadi lelah baru lah mereka berhenti.
Hendrik dan Mina menghela napas secara bersamaan, sejenak mengalihkan pandangan dari satu sama lain lalu kembali saling menatap kemudian tertawa.
Mereka saling menertawakan diri sendiri yang tidak mau mengalah karena terus beda pendapat, tapi berkat hal itu suasana jadi mencair secara alami dan membuat kerut di dahi mereka bebas lalu berpuas diri akan kesenangan sesaat yang dirasakan ini.
“Apa yang bikin kamu ketawa, hah?” tanya Hendrik yang masih tertawa bahak-bahak.
“Kak Hendrik sendiri bukannya juga ketawa? Kenapa malah tanya aku?” Mina juga sama saja, dia masih tertawa seperti orang yang kurang waras.
Segelintir pejalan kaki yang terhitung dengan jari memperhatikan mereka berdua dengan perasaan kasihan sebab mereka tertawa seperti orang kurang waras. Melampiaskan amarah dengan cara tertawa mungkin terlihat aneh di mata orang-orang, setidaknya itu yang dipikirkan oleh orang lain.
Tidak seperti yang dipikirkan Hendrik maupun Mina karena alasan mereka tertawa hanya karena merasa diri sendiri itu lucu.
Berandai-andai hidup jadi bergenre komedi yang dipenuhi canda dan tawa, hidup yang penuh dengan rasa sakit pun akan tetap membuat mereka tertawa. Bahkan kewarasan akan mempertanyakan jiwa mereka.
Sehat atau sakit pun tidak ada bedanya.
“Puas ketawa?”
“Puas banget.”
Hanya selama dua kali pertemuan kini mereka jadi lebih dekat seperti teman lama. Mengingatkan Mina akan pertemanannya dengan Lia sewaktu kecil. Meski tidak segila ini, namun mereka selalu berbagi suka maupun duka sejak lama.
“Kak Hendrik ada urusan apa di sini?” tanya Mina.
“Tadinya aku ingin menemui teman-temanku. Mumpung tugasku sudah selesai.”
“Tugas?”
“Tugas kuliahku, apa lagi?”
“Kalau begitu, bisa aku minta tolong pada kakak? Aku nggak mau ada orang lain yang tahu kalau aku berpakaian sok dewasa seperti sekarang ini.”
Kemeja putih dan rok span berwarna hitam lalu tas kecil yang berwarna hitam juga, penampilan Mina yang tampak dewasa menarik perhatian Hendrik. Dia cukup tertarik dan berandai-andai bila Mina memang orang dewasa sungguhan.
“Tampilan kamu udah kayak orang dewasa betulan. Apa ini semacam hobi sewaktu bolos sekolah?”
“Kenapa kakak tahu kalau aku bolos?”
“Di jam segini belum ada anak-anak yang pulang sekolah.”
Seketika Mina terdiam, lantas mengecek ponsel dan melihat jam dari sana.
“Sebentar lagi temanku akan pulang.”
“Ya udah, aku bakal menyembunyikan tentang kamu yang berpura-pura jadi orang dewasa hari ini tapi aku akui itu cocok.”
Kali ini senyum yang tersungging di wajah Hendrik terlihat jauh lebih tulus. Sesaat Mina terpukau dibuatnya.
“Apa kamu ingin jadi orang dewasa secepatnya?”
“Iya. Karena dengan menjadi orang dewasa, aku bisa melakukan apa saja.”
“Jangan salah. Jadi orang dewasa itu nggak mudah karena setelah menjadi dewasa kamu pasti ingin balik ke masa kecilmu.”
Tidak ada yang menyenangkan begitu menjadi orang dewasa. Jika saat masih kecil tidak punya uang maka saat dewasa sudah tidak punya banyak waktu luang. Apa pun yang berharga jadi didambakan namun setelah mendapatkannya justru merasakan penyesalan yang luar biasa.
“Kakak nggak bakal kasih tahu ke siapa pun tentang ini 'kan?”
“Iya. Aku bakal rahasiakan selama kamu traktir aku besok sore di kafe dekat sini.”
“Maksudnya aku harus nyogok kakak?”
“Haha, gadis yang cerdas.”
Mimpi tak seindah realita. Orang dewasa yang memiliki sisi menyenangkan seperti Hendrik mungkin bisa dihitung dengan jari di luar sana. Sedikit kenangan membuat Mina sedikit terikat dengan sosok pria itu.
“Kak Hendrik termasuk orang dewasa yang seperti apa?”
“Bukan apa-apa. Hanya sibuk kuliah sambil bekerja. Dan itu membuat waktuku semakin habis, liburan juga kadang-kadang.”
Setelah percakapan di antara mereka, keduanya lantas berpisah di jalan persimpangan itu. Ini akan jadi momen yang paling diingat oleh Mina namun dia pun harus tetap ekstra berhati-hati agar tidak terjadi suatu hal tak terduga lainnya.
“Kenapa orang baik seperti dia malah berteman dengan orang-orang jahat?” gumam Mina bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
***
Pukul 1 siang. Jam sekolah telah berakhir ditandai dengan sebuah bel. Wajah Lia yang muram berubah menjadi cerah karena dia sudah tidak sabar tuk berjumpa dengan sahabatnya Mina. Lia bergegas keluar kelas mendahului banyak murid dengan girang.
Semua teman sekelasnya menatap heran tapi juga tidak peduli. Nampaknya Lia sudah benar-benar tidak lagi menjadi pusat perhatian di sekolah. Dia diperlakukan sebagai orang buangan dan tak seorang guru pun sadar akan hal itu.
Saat Lia telah sampai di gerbang sekolah, seorang guru mencegatnya.
“Tunggu sebentar, Lia!” Itu senpai.
“Iya?” Lia segera berhenti berlari.
Senpai berwajah gelisah hari ini. Dia sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya sangat lelah, Lia menduga itu berhubungan dengan Mina.
“Kabar Mina, bagaimana?” tanya senpai. Dan ternyata benar memang Mina yang dia khawatirkan.
“Dia sudah ...masih perlu istirahat sebentar, senpai.” Lia sengaja berbohong karena yakin Mina juga masih membutuhkan waktu beristirahat.
“Keadaannya membaik, bukan?”
Lia menganggukkan kepala sebagai tanda jawaban benar padanya. Setelah itu wajah senpai tampak semakin gelisah, dia melirik ke sekitar seolah takut jika ada orang lain yang mendengarnya.
“Ikut senpai sebentar.”
Senpai membawa Lia ke pos satpam demi menghindari gerombolan anak-anak yang hendak keluar gerbang sekolah. Setelah itu, senpai mengeluarkan sebuah amplop dan menitipkannya pada Lia untuk Mina.
“Tolong berikan ini pada Mina. Sore atau besok pagi senpai akan mengunjungi rumahnya, tolong sampaikan jika merasa tidak terganggu.”
“Baik, senpai. Saya akan menyampaikan dan memberikan ini padanya.”
Akibat beberapa insiden yang dialami oleh Mina, seluruh isi sekolah dipenuhi dengan rumor tak berdasar seperti kewarasan Mina yang hilang akibat penculikan ataupun perubahan sikap seperti orang kerasukan setan di hari setelah Mina kehilangan orang tuanya.
Hal-hal tersebut membuat senpai dipenuhi tekanan hingga wajahnya pun berubah, dia juga tidak terlihat sehat dengan lingkaran hitam yang muncul di bawah matanya.
“Senpai, saya—”
“Jangan khawatirkan senpai.” Senpai dengan sengaja memotong kalimat Lia.
Kenyataannya sekolah menjadi kacau karena satu hal. Perubahan Mina membuat perubahan besar dalam sekolahannya. Padahal hanya satu murid tapi dampaknya luar biasa hebat.
“Meskipun semua murid jadi membencimu, tapi senpai tetap memperdulikanmu, Mina. Jadi aku harap kamu mau bersekolah lagi.”
Satu-satunya hal yang dikhawatirkan oleh Lia adalah rencana Mina yang ingin membalaskan dendam atas kematian keluarganya. Mina kukuh terhadap pendiriannya karena memang inilah yang membuat hatinya sedikit tenang.
Setelah sampai ke rumah Mina, terlihat pintu pagar terkunci dan pintu rumah utama pun tertutup rapat.
“Sudah aku duga, Mina pergi lagi. Sebenarnya dia pergi ke mana dan ngelakuin apa?”
Satu jam setelah sekolah hari ini berakhir. Mina akhirnya muncul dari salah satu jalan yang mengarah keluar dari area perumahan. Lia mengangkat tinggi dan melambaikan tangannya dengan semangat sambil tersenyum senang.
Kegirangan yang tidak bisa disembunyikan, bahkan Lia tidak berniat menyembunyikan rasa senangnya karena bertemu sahabat yang paling dia rindukan itu.
Dari kejauhan Mina berhenti sejenak, sadar siapa yang berdiri menunggu di depan pagar pintu adalah Lia, lekas dia bergegas menghampirinya.
“Ya ampun, apa dia nggak cape kalau terus berada di situ?”
Lia sudah berganti pakaian biasa dan menunggu hampir satu jam di sana tapi tidak ada tanda-tanda dia lelah sedikit pun, justru dia dipenuhi energi dan semangatnya tidak pernah turun. Apalagi ocehan panjang lebar yang memuakkan itu tidak pernah ada habisnya.
Setelah masuk ke dalam rumah, Lia juga langsung memberikan amplop itu dan menyampaikan pesan dari senpai.
“Pengajar kita akan datang ke rumahmu sekadar menjenguk. Bukan masalah 'kan?”
“Iya selama bukan besok pagi sih.”
Senyum pun hilang dari wajah Lia, dia kembali murung seakan dunia telah hancur.
“Ke mana lagi?” Lia bertanya dengan suara rendah.
“Seperti biasa, ada hal yang harus aku selesaikan. Ini penting.”
“Lebih penting dari sekolah?”
“Ya. Ini bahkan lebih penting dari hidupku.”
Betapa terkejutnya Lia mendengar pernyataan barusan yang terkesan Mina sudah tidak menghargai hidupnya sendiri.
Dengan tatapan tajam, Lia pun berkata, “Hargai nyawa sendiri karena itu jauh lebih penting. Kalau kamu merasa itu nggak penting, maka pikirkan kedua orang tuamu yang bersusah-payah membesarkan kamu.”
Kalimat barusan terdengar seperti sendirian tapi itu adalah bentuk perhatian dari seorang sahabat yang benar-benar tak ingin terjadi sesuatu padanya. Ini adalah kali pertama Lia terlihat sedang marah.
Mina sejenak terdiam dengan mengalihkan pandangan, mencoba menenangkan diri yang hampir meledak marah karena tersinggung. Lantas menghela napas dan kembali menatap Lia sambil tersenyum.
“Makasih perhatiannya. Aku beruntung punya teman seperti kamu, Lia.” Mina menepuk pundak temannya itu dengan pelan. “Oh ya, bagaimana sekolahnya? Apa kamu jadi merasa sepi karena hampir dua minggu aku nggak masuk?” tanya Mina yang sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
Lia mengangguk sekali, mengalihkan pandangan lagi sejenak lalu sedikit tertawa sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang seharusnya tidak gatal.
“Aku kesepian. Sepi banget karena nggak ada kamu di kelas. Teman-teman juga mulai mengabaikan aku.”
“Apa karena aku?”
Lia diam dan merasa enggan menjawab pertanyaan barusan. Lalu kembali tertawa, tertawa hambar guna mengisi kekosongan dalam percakapan ini.
“Lia, kamu nggak perlu maksain diri. Bertemanlah dengan yang lain.”
“Aku nggak mau jadi pengkhianat.”
“Maksudku, kamu berpura-pura mengabaikanku itu bukan masalah jadi kamu bisa berteman lagi dengan mereka.”
“Sama aja. Pengkhianat tetap pengkhianat.”
Mina mengedikkan bahu, menghela napas panjang sambil menatap lekat wajah kusut sahabatnya itu. Di satu sisi dia tidak ingin menjadi pengkhianat tapi di sisi lain dia juga masih ingin berteman dengan yang lainnya.
“Kamu tahu? Kalau permintaanmu ini sebenarnya egois. Kamu dengan tamaknya ingin berteman dengan banyak orang. Jangan kira semua orang itu sama kayak kamu,” ungkap Mina terang-terangan.
Lia mengerutkan dahi, mengembungkan kedua pipi dan menatap jengkel padanya.
Kemudian menyahut, “Aku tahu kok.” Berkata seolah-olah benar paham tapi nyatanya tidak.
***
Akhir bulan. Bulan Desember, hari minggu, pukul 6 pagi.
Matahari terbit hanya untuk sebentar saja, setelahnya dia bersembunyi dan cuaca tidak benar-benar terang. Satu menit berlalu, hujan pun turun dengan deras. Dinginnya udara cocok untuk menyajikan teh hangat saat ini.
Uap panas yang keluar dari mulut cangkir mengenai wajahnya, hampir terasa seperti berada di tempat sauna. Panas namun menyegarkan. Cuaca dingin seperti sekarang ini membuat Mina jadi semakin semangat bermalas-malasan.
Sudah hampir tiga minggu Mina tidak bersekolah, senpai yang menjanjikan dirinya ingin menjenguk tak kunjung datang. Sementara urusan luarnya sedikit mengalami hambatan lantaran dia tidak melihat Albert maupun Aldi, hanya bertemu dengan Hendrik saja yang paling rutin dia lakukan setiap sore hari.
“PR kamu numpuk nih!” seru Lia sambil meletakkan setumpuk buku yang menggunung di atas meja ruang keluarga.
Lia sengaja berdiri sambil berkacak pinggang dengan menghalangi arah pandang Mina yang tidak pernah lepas dari televisi.
Jangankan bermimpi untuk menjadi orang dewasa sungguhan, mengerjakan tugas saja Mina bermalas-malasan. Terlebih saat cuaca dingin dan turun hujan seperti sekarang ini.
Lia telah menginap selama beberapa hari ini setelah mendapatkan ijin dari ibunya, dan merasa sangat bertanggung jawab dalam mengurus Mina seolah dia adalah ibu kandungnya sendiri.
“Minggir dari hadapanku,” usir Mina.
Sesekali menyeruput teh hangat di tangannya, dia mencoba untuk mencari celah agar bisa melihat acara di televisi tetapi Lia selalu menghalangi dan selalu menunjuk ke arah tumpukan buku pelajaran.
“Apa?” Dengan santainya Mina bertanya.
“Aku bilang PR kamu sudah lama menumpuk. Aku nggak larang kamu melakukan apa pun tapi kamu juga harus fokus pada sekolahmu,” ujar Lia.
Mina melirik ke arah tumpukan buku yang menggunung itu, bahkan setumpuk buku itu sudah setengah menghalangi televisinya. Terkumpul banyak tugas yang harus diselesaikan dan Lia menuntut agar segera dikerjakan sebelum buku nilai guru tidak lagi menerima nilai masuk.
“Batasnya seminggu lagi. Tapi wali kelas kita yang galak itu menambahkan waktu seminggu lagi buat kamu. Khusus kamu!” Lia menegaskan kalimatnya agar Mina benar-benar mendengar semua ucapannya barusan.
“Ya ampun, ini banyak banget. Apa nggak bisa besok saja? Toh, aku diberi waktu selama dua minggu 'kan?”
“Ya, tapi selama dua minggu ke depan pasti akan ada tugas lain yang menumpuk. Lalu tugas prakarya yang paling penting.”
Kemudian Lia menunjukkan sebuah boneka beruang yang terbuat dari kain flanel. Belum ada bagian mata, hidup maupun mulut, dan juga bagian dalam yang diisi kapas mencuat di sela-sela jahitan kain yang belum rampung.
“Kita disuruh bikin boneka?”
“Iya. Aku bikin sendiri dan ini hasilnya. Gimana?”
Boneka seukuran genggaman tangan ini cukup nyaman digenggam tapi tidak untuk dilihat. Bonekanya memang tidak sempurna tapi Lia sudah berusaha keras membuat ini. Mina akui boneka itu cukup bagus hanya saja butuh sedikit perbaikan.
“Aku belum bikin ini karena nggak masuk. Masih punya bahannya?”
“Aku masih ada banyak, kapas buat bagian dalamnya juga. Aku pergi ambil dulu di dalam tasku.” Kemudian Lia pergi ke ruang tamu.
Mina memperhatikan setiap sudut boneka itu dengan seksama lalu berpikir tentang sesuatu hal lain. Mina teringat dengan kejadian di kafe yang membuatnya ketakutan.
"Sudah hampir seminggu lebih aku nggak lihat mereka. Apa mereka pindah ke kota lain supaya bisa ngehindari kecurigaan?" pikir Mina dalam batin.
Mina memang berharap bahwa mereka berdua tidak akan mengawasinya setelah kejadian itu, akan tetapi jika mendadak orangnya pergi dari kota maka ini akan membuat keinginannya jadi terhalang.