Pagi itu sunyi. Bukan karena tidak ada suara, tapi karena tidak ada ruang untuk berpikir.
Jenni menatap email di laptopnya. Subjeknya mencolok, seolah ditulis dengan tinta emas:
“Kontrak Eksklusif – Polaris Talent Division”
Tawaran: Posisi Creative Director. Gaji 3x lipat. Akses penuh. Kebebasan artistik. Tanpa beban masa lalu.
Tangannya gemetar sedikit. Ia sudah membaca kontrak itu lima kali. Tidak ada jebakan. Tidak ada klausul aneh.
Justru itu yang membuatnya takut.
Terlalu sempurna. Terlalu rapi. Terlalu... tidak seperti hidupnya sekarang.
---
FLASHBACK: Malam Sebelumnya
Noa dan Jenni duduk di taman kecil belakang studio. Lampu neon berkedip. Jauh dari spotlight. Dekat dengan keheningan.
Noa:
“Aku tahu mereka nyuruh aku deketin kamu. Tapi aku juga tahu… perasaan ini bukan akting.”
Jenni:
“Dan kamu pikir, itu cukup?”
Noa:
“Aku cuma pengen kamu tahu… ada masa depan yang gak harus ditentukan sama rasa bersalah.”
Jenni:
“…dan kalau aku gak bisa lepas dari masa lalu?”
Noa (tersenyum sedih):
“Setidaknya kamu pernah tahu, ada orang yang bisa mencintai kamu tanpa menuntut apa pun.”
---
Kantor VampArtis — Konfrontasi dengan Rai
Rai menunggu di ruang meeting. Jenni datang dengan ekspresi sulit ditebak.
Rai:
“Kamu pergi?”
Jenni:
“Belum tahu.”
Rai:
“Kamu mau aku bilang: ‘jangan pergi’? Supaya kamu bisa menyalahkan aku kalau menyesal nanti?”
Jenni (suara naik):
“Kamu tahu kenapa aku gak bisa lepas? Karena kamu gak pernah jujur. Tentang apa yang kamu rasain. Tentang siapa kita.”
Rai (diam lama):
“Aku takut. Kalau aku bilang aku butuh kamu… kamu akan makin tertekan. Aku pikir, cinta itu ngalah. Tapi mungkin aku salah.”
Jenni:
“Dan sekarang?”
Rai:
“Sekarang aku cuma mau kamu bahagia. Walaupun bukan sama aku.”
Jenni menggertakkan gigi, matanya berkaca-kaca.
“Jangan gitu. Jangan terlalu baik, Rai. Kamu bikin aku bingung.”
---
Keesokan Harinya — Studio Kosong
Jenni berdiri di tengah panggung latihan. Tempat yang pernah jadi zona nyaman—juga medan perang emosionalnya.
Ia memejamkan mata. Mengingat semua:
Vidi yang selalu jadi jangkar warasnya.
Shin yang berubah dari saingan menjadi seseorang yang hampir seperti adik.
Rai yang... terlalu dekat untuk disangkal.
Noa yang... datang saat ia mulai hancur.
Lalu ia membuka mata.
---
Email dibalas.
📩 “Dengan ini saya menolak tawaran kontrak eksklusif dari Polaris. Terima kasih atas ketertarikannya.”
– Lee Jenni -
---
Vidi membuka pintu ruang latihan. Jenni sedang duduk di lantai, terengah-engah habis menari sendiri.
Vidi (nada datar):
“Jadi... kamu gak pergi?”
Jenni (tersenyum, air mata jatuh):
“Aku udah pernah jadi vampir, Vid. Tapi hidup di Polaris itu... kayak gak berdarah.”
Vidi:
“Kita vampir. Kita hidup dari luka. Tapi setidaknya... luka kita beneran.”
---
suara musik pelan: suara rekaman latihan pertama Jenni dan Rai — lagu duet yang belum pernah diopublikasikan
Luka yang Tidak Disiarkan
NOA MENONTON DARI JAUH
Noa membuka notifikasi di ponselnya.
Satu headline besar muncul:
> "Jenni Menolak Kontrak Emas Polaris. Tetap Bertahan di VampArtis."
Ia tidak bereaksi langsung. Ia hanya duduk diam di ruang make-up Polaris yang terlalu steril.
Di depannya ada naskah iklan minuman energi yang ia tahu tidak akan ia minum.
Tangannya mengepal.
Staf lewat dan bercanda:
“Noa, jangan sedih. Kamu masih bisa cari yang mirip. Banyak juga mantan manajer yang cantik.”
Noa (tersenyum tipis):
“Iya. Tapi gak semua bisa bikin kamu ingin berhenti akting demi dia.”
---
POLARIS — SERANGAN BARU
CEO Polaris melempar map ke meja.
CEO:
“Dia menolak kita. Dia pilih kandang tua itu. Baik. Kita sikat semuanya.”
Staff Polaris:
“Kita unggah footage editan ulang reality show. Potong-potong omongan mereka. Buat seolah-olah Shin dan Vidi saling benci.”
CEO:
“Dan Noa? Suruh dia makin dekat sama Shin sekarang. Bikin cinta segitiga baru. Tumbangkan jenni pakai simpati publik.”
Asisten:
“Kalau dia nolak?”
CEO (dingin):
“Maka dia tidak beda dengan Jenni. Dan kita tahu caranya menghapus orang.”
---
VIDI & JENNI — KESADARAN TERLAMBAT
Vidi mengantarkan secangkir teh ke Jenni. Mereka duduk di pantry kecil VampArtis.
Vidi:
“Aku pikir kamu bakal pilih jalan gampang.”
Jenni:
“Aku juga. Tapi ternyata, memilih luka yang dikenal lebih nyaman daripada rumah mewah tanpa jendela.”
Vidi:
“Dan Noa?”
Jenni:
“Aku belum sanggup lihat dia. Tapi aku tahu... aku patahkan harapannya.”
Vidi:
“Sakit?”
Jenni (tertawa kecil):
“Lebih dari ditolak casting. Lebih dari dituduh toxic. Tapi setidaknya... aku jujur.”
---
RAI — MENGHINDAR ATAU MENUNGGU?
Rai duduk sendiri di ruang latihan malam-malam. Ia menyalakan speaker. Lagu duetnya dengan Jenni dimainkan pelan.
Ia tidak pernah kirim lagu itu ke siapa-siapa. Hanya ada di flashdisk kecil. Tapi sekarang, suaranya mengisi ruang kosong.
Rai (pelan, seolah bicara ke udara):
“Kamu milih tinggal... tapi gak berarti kamu milih aku.”
Shin muncul tiba-tiba di pintu.
“Kalau kamu gak gerak, jangan salahkan siapa-siapa kalau dia pindah hati.”
Rai (menoleh):
“Aku takut jadi alasan dia berhenti percaya cinta.”
Shin:
“Rai, kamu bukan monster. Tapi diem terus... kamu kayak vampir lama yang cuma bisa ngintip dari balik bayangan.”
---
Noa masuk ke ruang latihan Polaris.
Di sana, tim sedang menyiapkan panggung besar untuk “Konser Polaris United”, acara tandingan VampArtis Festival.
Manajer Polaris:
“Kamu pembuka malam itu, Noa. Tapi kalau kamu masih ragu... bilang sekarang.”
Noa melihat ke panggung. Terdiam. Lalu mengangguk.
“Kalau dia bisa bertahan... aku juga.”
Dua Sendok Es Krim, Satu Panggung
Studio VampArtis, Dini Hari
Studio sudah kosong. Lampu hanya menyala setengah.
Shin masih berada di ruang latihan, mencoba gerakan dance baru.
Jenni masuk membawa dua cup es krim.
Jenni (mengangkat cup):
“Cuma dua rasa tersisa di minimarket: matcha dan jagung. Mau yang mana?”
Shin (tertawa kecil):
“Jagung. Aku butuh sesuatu yang absurd hari ini.”
Jenni menyerahkan es krim, lalu duduk di lantai, bersandar di kaca besar.
Jenni:
“Kamu tahu... dulu aku benci kamu.”
Shin (makan, nyengir):
“Tau. Ekspresi kamu waktu kita pertama ketemu kayak liat mantan yang bawa pacar barunya.”
Jenni (tertawa):
“Dan kamu juga... terlalu sempurna. Kayak... boneka toko perhiasan. Glamour tapi gak bisa disentuh.”
Shin (nada lembut):
“Dan sekarang?”
Jenni:
“Sekarang kamu masih menyebalkan. Tapi kayak es krim jagung. Gak semua orang ngerti, tapi cukup manis buat disayang.”
Shin menatapnya, lama.
Shin:
“Kamu pernah ngerasa... kita berdua ini cuma aktris dalam drama hidup orang lain?”
Jenni:
“Sering. Tapi sekarang, aku pengen nulis script sendiri. Bahkan kalau itu cuma genre slice of life dengan musik pelan dan rating kecil.”
Shin (senyum mengembang):
“Kita duet lagi, yuk. Tapi bukan yang berat-berat. Aku pengen bikin reality episode absurd: ‘GlamShin dan Mbak Madu Cari Kostan.’”
Jenni (langsung nyambung):
“Terus kita debat soal AC rusak dan siapa yang curi sabun hotel.”
Shin:
“Episode bonus: siapa yang diem-diem nangis waktu rating kita turun.”
Mereka tertawa. Suasana lembut.
Untuk pertama kalinya setelah lama... tidak ada spotlight. Tidak ada peran.
Hanya dua perempuan yang pernah saling curiga... sekarang saling tahu luka masing-masing.
---
Dapur VampArtis
Vidi berdiri sambil ngintip dari dapur, bawa secangkir coklat panas.
Ia bergumam ke diri sendiri:
Vidi:
“Hm. Jadi mereka bonding. Baguslah. Tinggal satu yang belum...”
Tiba-tiba Rai muncul di belakang, rambut masih berantakan, hoodie kebesaran, tampak seperti habis begadang nonton trailer drama Korea.nyaris bikin Vidi menumpahkan coklatnya
Rai:
“Belum apa?”
Vidi (panik):
“Belum... cuci piring. Kamu bantuin, gak?”
Rai:
“Kayaknya kamu lagi bikin skenario di kepalamu, ya.”
Vidi (tersenyum canggung):
“Aku? Gak mungkin. Aku kan manajer. Bukan penulis naskah.
Vidi (tanpa menoleh):
“Kamu kelihatan kayak vampir yang lupa tidur.”
Rai:
“aku memang belum gak tidur.”
Vidi (angkat alis):
“Tapi kamu biasanya tetap kelihatan kayak poster skin care. Sekarang kayak... poster seminar kuliah subuh.”
Rai duduk. Lama diam. Lalu berkata:
“Gue butuh konsultasi.”
Vidi (menyeruput minumannya) :
“Cinta? Karir? Atau dua-duanya dibungkus selimut trauma?”
Rai:
“Jenni.”
Vidi duduk di seberang Rai.
Rai:
“Gue gak tahu dia bener-bener nolak Noa karena milih gue... atau cuma milih bertahan di zona nyaman.”
Vidi:
“Dan kamu takut jadi cowok transisi—yang nemenin di tengah, tapi bukan tujuan akhir.”
Rai (pelan):
“Ya. Gue takut jadi... jembatan ke orang lain. Lagi.”
Vidi membuka buku catatan kecil yang biasanya untuk mencatat jadwal artis. Tapi sekarang isinya:
‘RAI’S TRUST ISSUE, vol 3’.
Vidi:
“Denger, Jenni bukan tipe yang main aman. Dia bisa pindah kapal, pindah planet kalau dia ngerasa gak cocok. Tapi dia milih tetap di sini.”
Rai:
“Bertahan belum tentu sayang.”
Vidi:
“Tapi bertahan itu usaha. Dan kamu lupa, kamu satu-satunya vampir yang dia belain pas kita semua nyaris bubar.”
Rai menatap Vidi. Suaranya rendah, nyaris seperti anak kecil:
“Gimana kalau gue ungkapin sekarang, tapi dia belum siap?”
Vidi tersenyum, lalu mengambil botol kecil madu dan menyodorkannya ke Rai.
Vidi:
“Kalau kamu terus nunggu momen yang ‘siap’, kamu bakal jadi furniture. Ganteng tapi gak pernah dipakai.”
Rai:
“Jadi gue ngaku sekarang?”
Vidi:
“Setidaknya bilang, ‘Aku siap kalau kamu siap.’ Gak harus kayak proposal nikah.”
Rai (menghela napas):
“Kenapa manajer gue lebih bijak dari guru hidup?”
Vidi:
“Aku dibayar buat ngatur jadwal dan ngingetin kamu kalau cinta juga butuh deadline.”
---
Rai berdiri, menggenggam botol air mineral.
Sebelum keluar dapur, ia menoleh ke Vidi.
Rai:
“Kalau gue gagal, kamu tetap temenin gue, kan?”
Vidi:
“Selama kamu gak berubah jadi kelelawar depan publik... selalu.”
Rai tersenyum