Di dunia ini, standar orang tuh banyak.
Ada yang pengen kamu jadi rajin.
Ada yang pengen kamu lebih sopan.
Ada yang pengen kamu lebih kurus.
Ada yang pengen kamu lebih diam.
Dan ada yang pengen kamu lebih “seperti mereka.”
Tapi sayangnya, aku bukan lembar soal pilihan ganda yang bisa kamu sesuaikan jawabannya.
Aku ini… manusia.
Yang bentuknya berantakan, rasanya acak, dan gayanya sering terlalu bebas buat sebagian orang.
Dan ketika dunia minta aku berubah jadi lebih A, kurang B, tambah C, kurangi D, aku pengen jawab:
“Maaf ya, stok jadi versi lain lagi kosong. Yang ada cuma aku. Versi asli. Kadang aneh, kadang nyebelin, tapi tulus.”
Waktu kecil, aku sering dibilang “terlalu cerewet”.
Katanya anak perempuan yang baik itu harus kalem, nggak banyak ngomong.
Tapi aku emang seneng cerita.
Saking senengnya, aku pernah cerita ke tetangga soal ayam tetangga yang hilang padahal belum tentu dia nanya.
Aku tumbuh dengan perasaan bersalah karena “terlalu banyak ngomong”.
Padahal sekarang, banyak orang nyari kerja jadi podcaster.
Dunia memang aneh. Yang dulu disebut cerewet, sekarang disebut komunikatif dan ekspresif.
Dan dari situ aku mulai sadar—standar orang terhadap kita tuh berubah-ubah.
Hari ini kamu dikritik karena terlalu ini, besok kamu dibutuhkan karena itu.
Kalau kamu terus-terusan menyesuaikan, kamu nggak akan selesai ngedit dirimu sendiri.
Waktu remaja, aku pernah ikut kegiatan OSIS.
Cuma bertahan dua bulan.
Kenapa? Karena aku nggak tahan disuruh jadi “anak teladan”.
Aku harus berpakaian rapi (bajuku biasanya lecek kayak abis diajak tidur siang),
harus ngomong sopan (aku terbiasa ngomong pakai logat daerah yang katanya ‘kurang profesional’),
dan harus senyum ke semua orang (bahkan saat aku lagi pengen diem karena jerawatan parah).
Dunia minta aku jadi versi yang bisa ditampilkan di mading sekolah. Tapi waktu aku pulang ke rumah, aku lelah. Karena aku berasa bukan jadi aku. Waktu itu aku nanya ke diri sendiri,
“Apa enaknya jadi versi yang orang suka, tapi aku sendiri nggak betah?”
Dan jawabannya:
nggak enak.
Kayak minum kopi yang kamu tahu pahit, tapi kamu paksa bilang, “Ini nikmat banget!”
Padahal kamu pengen teh tarik dingin pakai es batu.
Lanjut ke masa dewasa.
Kamu kira udah bebas?
Plot twist: tuntutan makin naik level.
Kamu harus sukses (menurut standar orang).
Kamu harus dewasa (padahal kamu baru ngerti cara bayar pajak).
Kamu harus tenang (padahal dompetmu udah teriak-teriak).
Kamu harus punya pasangan (padahal kamu baru selesai nonton drakor dan nangis karena second lead-nya gagal).
Dunia suka banget nuntut.
Dan kamu, kalau nggak hati-hati, bisa ikut-ikutan percaya kalau kamu memang harus berubah sesuai semua permintaan itu.
Aku sempat, lho, mencoba jadi versi "dewasa" versi media sosial:
foto-foto di cafe sambil baca buku filsafat, caption-nya pakai bahasa Inggris setengah, minum kopi pahit tanpa gula (padahal setelah itu ngopi sachet juga di rumah).
Tapi aku ngerasa capek.
Bukan karena aktingnya berat, tapi karena aku harus menyembunyikan siapa aku sebenarnya.
Sampai akhirnya aku duduk sendirian di kamar, dan ngomong ke diri sendiri:
“Kenapa sih kamu repot-repot banget jadi versi yang dunia minta,
padahal jadi diri sendiri aja kamu udah ngos-ngosan?”
Karena jujur, jadi diri sendiri itu juga udah ribet.
Kita lagi belajar mencintai diri sendiri.
Lagi mencoba mengerti kenapa kita bisa sedih tiba-tiba.
Lagi belajar berdamai sama masa lalu.
Itu semua sudah cukup menguras energi.
Lalu kenapa kita masih harus menambah beban: jadi versi yang orang lain lebih suka?
Aku pernah gagal wawancara kerja karena dibilang “kurang percaya diri.”
Padahal di dalam hati aku tuh cuma... gugup.
Setelah itu aku nyalahin diri sendiri berhari-hari.
Sampai akhirnya aku mikir:
“Memangnya semua orang harus tampil meyakinkan setiap saat?
Emang nggak boleh jadi orang yang jujur kalau lagi gugup?”
Sekarang aku ngerti: dunia kadang lebih suka kemasan daripada isi.
Tapi bukan berarti kamu harus terus-menerus mengganti bungkusmu,
kalau itu bikin kamu kehilangan jati diri.
Kadang dunia ingin kamu “pintar bersosialisasi”.
Padahal kamu introver.
Yang udah capek banget habis ngobrol 10 menit.
Yang butuh recharge sendirian, bukan dengan nongkrong lima jam di coffee shop rame-rame.
Kadang dunia pengen kamu “cepat ambil keputusan”.
Padahal kamu masih mikir,
masih timbang-timbang,
karena kamu takut nyakitin orang lain.
Dan kadang dunia minta kamu tegas.
Padahal kamu dibesarkan untuk nggak banyak membantah.
Aku sadar sekarang.
Kalau kamu selalu ikut arah angin, kamu bisa hilang.
Jadi bayangan dari semua keinginan orang lain.
Padahal kamu punya bentuk sendiri.
Aku pernah nyoba jadi versi yang dunia pengen,
dan satu-satunya yang aku dapet adalah… rasa kosong.
Aku berdiri di tengah keramaian, tapi ngerasa nggak punya tempat.
Aku ngomong, tapi kayak bukan aku yang bicara.
Aku senyum, tapi di dalamnya ada luka yang nggak bisa dijelasin.
Dan akhirnya aku mutusin buat bilang:
“Cukup. Aku mungkin nggak bisa jadi versi yang semua orang suka.
Tapi aku bisa jadi aku—yang tulus, yang jujur, yang berantakan tapi berusaha.”
Dunia boleh punya ribuan template manusia.
Tapi aku bukan file Word yang bisa diatur margin dan font-nya.
Aku ini manusia.
Yang kadang nggak konsisten.
Yang kadang menangis karena iklan susu.
Yang kadang takut ngomong tapi sayang sama orang.
Dan versi itu,
yang nggak sempurna itu,
adalah versi terbaik dari aku—karena itu nyata.
Jadi kalau besok dunia datang lagi,
nawarin template baru:
“Jadi versi ini dong, biar lebih diterima,”
aku akan senyum dan jawab:
“Maaf, stok jadi versi lain lagi habis.
Lagi fokus nyari stok keberanian buat nerima diri sendiri dulu.”
Karena tahu nggak?
Satu-satunya versi yang harus kamu pertahankan,
adalah versi yang bikin kamu tidur lebih nyenyak malam ini.
Versi yang bisa bilang:
“Aku tahu siapa aku, dan aku belajar sayang sama dia.”