Ada satu pelajaran hidup yang baru-baru ini benar-benar aku pahami: “Nggak semua orang harus ngerti kamu.” Dan itu... nggak apa-apa.
Dulu aku pikir hidup ini semacam ujian presentasi.
Setiap langkah harus bisa dijelaskan.
Setiap keputusan harus bisa dipahami oleh semua orang.
Setiap perasaan harus bisa dinalar.
Tapi ternyata, hidup bukan PowerPoint.
Dan aku bukan presenter yang harus bikin semua orang manggut-manggut sambil nyatet poin-poin penting di kertas folio.
Aku pernah habis-habisan jelasin ke orang tuaku kenapa aku resign dari kerjaan yang katanya "sudah enak banget itu".
Padahal aku cuma nggak kuat lihat spreadsheet Excel yang makin hari makin panjang seperti hutang negara.
Aku capek, stres, dan ngerasa... ini bukan hidup yang aku mau.
Tapi jawaban mereka simpel: “Loh, kamu kan tinggal kerja aja, terima gaji. Kenapa dipersulit?”
Aku sempet kesel.
Aku pikir, "Kenapa sih mereka nggak ngerti?"
Tapi sekarang aku paham.
Mereka nggak ngerti karena mereka hidup di zaman yang berbeda.
Di era di mana kerja itu soal bertahan hidup, bukan soal "passion" atau "well-being".
Dan dari situ, aku belajar kalau aku terus-terusan nuntut semua orang untuk ngerti aku,
aku yang capek duluan.
Aku juga pernah curhat panjang ke teman soal perasaan.
Tentang kenapa aku milih menjauh dari seseorang yang bikin aku terus-terusan ngerasa nggak cukup.
Tapi tanggapannya cuma:
“Ah kamu baperan.”
Saat itu aku diem.
Karena ternyata, sekalipun kamu cerita dari hati yang paling dalam,
orang tetap bisa menyederhanakan semuanya cuma jadi "baper".
Aku kecewa, tapi juga sadar: nggak semua orang punya kapasitas untuk ngerti yang kamu rasain.
Dan itu bukan salah siapa-siapa.
Ada hari-hari di mana aku merasa dunia ini terlalu cepat.
Orang-orang lari kencang, aku masih nyari sepatu.
Mereka punya plan A sampai Z,
aku masih stuck di huruf B yang bolak-balik aku hapus dan tulis ulang.
Di tengah semua itu, aku pernah ngerasa bodoh.
Tertinggal.
Aneh sendiri.
Sampai akhirnya aku nemu satu kutipan:
"Hidup itu bukan lomba lari estafet.
Nggak apa-apa kalau kamu jalan kaki,
asal kamu tahu arahnya ke mana."
Lucu ya, kata-kata sesederhana itu bisa jadi pengingat kalau jalan hidup nggak harus dimengerti semua orang. Kadang, kamu cuma butuh ngerti dirimu sendiri.
Pernah juga aku diprotes gara-gara nggak aktif di grup keluarga.
Katanya aku jarang bales, jarang muncul.
Padahal kenyataannya, setiap kali buka grup, isinya debat soal hal-hal receh.
Aku yang baca aja capek, apalagi kalau harus ikut nimbrung.
Aku nggak suka konflik.
Aku bukan tipe yang nyaman berada di tengah-tengah ketegangan yang... sebenarnya bisa dihindari.
Jadi aku memilih diam.
Dan ketika aku memilih diam, banyak yang nggak ngerti.
Dikira cuek, padahal cuma lagi milih damai.
Aku juga sadar,
keputusanku untuk banyak menyendiri akhir-akhir ini juga bikin beberapa orang bertanya-tanya.
"Kenapa sih kamu sekarang kayak susah diajak ngobrol?"
"Kok kamu kayak beda?"
Aku jawabnya singkat aja,
"Aku cuma lagi pengen istirahat dari jadi 'menyenangkan'."
Karena ternyata jadi orang yang terus-menerus berusaha bikin semua orang nyaman itu...
lelah.
Apalagi kalau kamu melupakan dirimu sendiri di tengah usaha menyenangkan orang lain.
Dan pelan-pelan, aku belajar menerima.
Bahwa memang nggak semua orang akan ngerti kenapa aku milih diam,
kenapa aku butuh waktu sendiri,
kenapa aku nggak nyaman di tempat ramai,
atau kenapa aku tiba-tiba nangis tanpa alasan.
Tapi itu bukan tugas mereka untuk ngerti.
Dan bukan tugasku juga untuk menjelaskan segalanya.
Aku mulai berdamai dengan fakta bahwa,
ada hal-hal yang hanya aku yang tahu.
Ada rasa yang hanya aku yang pahami.
Dan ada luka yang... hanya aku yang tahu betapa perihnya.
Kita semua punya dunia dalam kepala masing-masing,
dan kadang dunia itu terlalu rumit untuk dijelaskan.
Jadi aku mulai memilih: aku hanya akan berbagi dengan orang-orang yang memang ingin mendengar,
bukan yang cuma menunggu giliran bicara.
Lucunya, saat aku berhenti menjelaskan,
hidupku terasa lebih ringan.
Nggak lagi sibuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja,
atau bahwa keputusan hidupku valid.
Aku cukup tahu:
aku sedang berproses.
Dan proses itu nggak harus dapat persetujuan dari semua orang.
Aku juga mulai belajar menerima orang lain.
Yang pemikirannya beda,
yang keputusannya kelihatan aneh di mataku,
yang jalannya nggak aku pahami.
Karena kalau aku pengen dipahami,
aku juga harus belajar memahami.
Dan kadang, memahami itu bukan tentang setuju,
tapi tentang menghargai pilihan orang lain meskipun kita nggak ngerti sepenuhnya.
Di dunia yang bising ini, diam bisa jadi bentuk kekuatan.
Dan nggak menjelaskan semuanya bisa jadi cara kita menjaga kewarasan.
Nggak semua orang harus ngerti.
Dan itu nggak apa-apa.
Yang penting,
kamu ngerti dirimu sendiri.
Kamu tahu kenapa kamu memilih jalan ini.
Dan kamu tahu bahwa meskipun pelan, kamu tetap melangkah.
Kalau kamu juga lagi di fase ini, fase di mana kamu ngerasa nggak dimengerti,
fase di mana kamu capek menjelaskan,
fase di mana kamu mulai mempertanyakan kenormalanmu sendiri—
aku cuma mau bilang:
Kamu nggak sendirian.
Dan kamu nggak salah.
Kita ini manusia.
Bukan Google Form yang semua jawabannya harus terstruktur dan masuk akal.
Jadi, mulai hari ini, aku nggak akan maksa orang untuk ngerti aku.
Kalau ada yang ngerti, syukur.
Kalau nggak, juga nggak apa-apa.
Karena aku tahu, aku sedang mencoba sebaik mungkin menjalani hidup dengan caraku sendiri.
Dan buatku, itu sudah cukup.