Pernah nggak sih kamu ngerasa kayak lagi jadi banyak orang dalam satu badan?
Pagi kamu jadi anak rajin yang nyapu halaman rumah.
Siang kamu jadi pekerja kantoran yang sok serius padahal buka Shopee.
Sore kamu jadi teman curhat orang lain.
Malam kamu jadi penonton drama Korea yang nangis sendiri padahal tokohnya baru ketemu dua kali.
Aku pernah.
Sering, malah.
Kadang aku bingung, siapa sebenarnya aku ini?
Di dunia yang serba cepat ini, kita kayak dituntut punya banyak wajah.
Versi profesional buat bos.
Versi kocak buat teman nongkrong.
Versi kalem buat kenalan baru.
Versi galak biar nggak diremehin.
Versi lucu buat media sosial.
Kayak lagi main peran di sinetron panjang, tapi naskahnya suka gonta-ganti tanpa pemberitahuan.
Sampai suatu hari aku nanya ke diri sendiri di depan kaca:
“Yang mana versi kamu yang paling asli?”
Dan jawabannya adalah:
...yang masih bingung juga.
Jujur, aku bukan orang yang selalu tahu apa yang aku mau.
Kadang pengen jadi produktif, tapi rebahan juga menarik.
Kadang pengen jadi misterius, tapi ujung-ujungnya cerita semua di caption.
Kadang pengen jadi dewasa, tapi kenyataannya masih panik nyari charger yang ilang.
Aku ini campuran.
Dikit-dikit aku.
Dikit-dikit bukan.
Dan semua itu kayak parade karakter yang numpang lewat di hidupku.
Waktu sekolah dulu, aku pengen jadi anak yang “diterima semua orang.”
Aku nyoba ikut semua kegiatan—pramuka, ekskul jurnalistik, bahkan sempat daftar paskibra padahal tinggi pas-pasan.
Aku pura-pura suka hal-hal yang aku nggak paham, cuma biar bisa nyambung.
Aku tertawa saat orang lain tertawa, walau aku nggak ngerti lucunya di mana.
Aku senyum terus, walau capek banget.
Dan malamnya, di kamar, aku ngerasa kosong.
Kayak habis tampil, tapi lupa jadi diri sendiri.
Pas kuliah, aku coba jadi versi “anak indie” yang artsy.
Baca puisi, nongkrong di kafe kecil, pakai tote bag gambar abstrak.
Tapi pas ditanya soal makna puisinya Rendra, aku malah jawab, “Kayak... sendu tapi garang gitu ya?” (Apa coba.)
Aku sadar, aku maksa banget masuk ke versi yang bukan aku.
Kayak lagi make baju yang terlalu sempit, nggak nyaman, tapi dipaksa kelihatan cocok.
Lucunya, aku bukan satu-satunya.
Banyak orang di sekitar juga kayak gitu.
Kita semua lagi pura-pura, bareng-bareng.
Dan itu… capek banget.
Sampai akhirnya aku sadar:
Punya banyak versi itu bukan salah.
Tapi kehilangan versi aslimu itu masalah.
Karena jadi fleksibel beda dengan jadi hilang.
Di balik semua versi itu, aku mulai nyari yang paling bisa bikin aku merasa "pulang".
Versi yang mungkin nggak sempurna,
tapi bisa duduk diam dan bilang: “Hari ini berat ya, tapi kamu hebat udah bisa lewatin.”
Versi yang bisa becanda sendiri di kamar tanpa takut dibilang aneh.
Versi yang makan sendirian di warteg sambil dengerin podcast tentang mental health dan nyeruput es teh manis.
Versi yang bisa bilang,
“Aku ini belum selesai. Tapi nggak apa-apa.”
Aku pernah ngerasa bersalah karena nggak konsisten.
Kadang aku rajin, kadang mager.
Kadang aku semangat, kadang pengen hilang dari grup.
Kadang aku nyenengin orang, kadang pengen kabur dari semua interaksi.
Tapi ternyata...
Itu juga bagian dari aku.
Kadang kita terlalu keras ke diri sendiri karena dunia ngajarin harus stabil, rapi, dan jelas.
Padahal manusia itu ya... abstrak.
Kadang blurry, kadang bold.
Aku mulai berdamai dengan fakta bahwa aku mungkin punya banyak versi,
tapi bukan berarti aku palsu.
Karena semua versiku itu pernah ada buat bantu aku bertahan.
Versi yang kocak biar nggak terlalu sedih.
Versi yang pendiam biar nggak tambah capek.
Versi yang sok tahu biar nggak kelihatan bingung.
Dan itu oke.
Kita berhak punya topeng,
selama kita ingat wajah asli di baliknya.
Kadang aku mikir,
mungkin aku ini kayak playlist Spotify:
ada lagu mellow, ada yang nge-beat, ada yang absurd, dan ada yang cuma bunyi hujan.
Tapi semuanya tetap satu playlist.
Satu aku.
Dan justru karena itu, aku jadi unik.
Jadi manusia yang penuh lapisan,
yang bisa nyambung di banyak tempat,
tapi tetap berusaha pulang ke dirinya sendiri.
Tapi, ya, aku akui: versi asliku juga masih sering bingung.
Bingung harus milih mana dulu: bahagia atau berguna?
Bingung apakah aku cukup baik?
Bingung kenapa aku bisa ketawa di luar tapi nangis pas nyendiri.
Dan itu... nggak papa.
Bingung bukan berarti gagal.
Bingung artinya kamu masih mikir.
Masih hidup.
Masih nyoba ngerti siapa kamu.
Satu hal yang aku pegang sekarang adalah:
aku nggak harus ngerti semua tentang diriku sekarang juga.
Karena kenal diri itu proses.
Kadang kita baru ngerti siapa kita setelah gagal.
Setelah ditinggal.
Setelah nonton film yang tiba-tiba bikin nangis karena tokohnya mirip kita banget.
Dan proses itu nggak bisa dipaksa selesai minggu depan.
Kadang butuh seumur hidup.
Jadi kalau hari ini aku masih bingung,
aku akan rangkul rasa bingung itu.
Karena bingung pun bisa jadi teman.
Yang ngingetin bahwa aku lagi tumbuh.
Lagi nyari arah.
Lagi belajar.
Dan itu jauh lebih baik daripada pura-pura tahu arah, tapi nyasar terus dan nggak pernah jujur ke diri sendiri.
Hari ini aku mungkin masih pakai beberapa topeng.
Tapi aku nggak lagi lupa bahwa ada aku di baliknya.
Yang sedang belajar berkata,
“Aku mungkin punya banyak versi.
Tapi aku tetap berusaha jujur sama yang asli.”
Dan mungkin, itu cukup untuk sekarang.
Karena dalam dunia yang penuh tuntutan,
jujur sama diri sendiri adalah keberanian paling keren.