Kadang aku suka bertanya-tanya, apa rasanya jadi orang yang… ya, biasa aja,
tapi tetap diterima dan disayang, tanpa harus memenuhi semua ekspektasi dunia?
Spoiler:
Susah. Banget.
Soalnya, semua orang kayaknya punya standar masing-masing buat hidupku. Dan parahnya… standar itu sering bertabrakan satu sama lain, dan aku yang di tengah, ya bingung harus jadi versi siapa hari ini.
Pagi-pagi, aku buka Instagram.
Lihat orang workout jam 5 pagi, caption-nya,
“Nggak ada alasan malas. Kalau mau, pasti bisa.”
Sementara aku: Masih ngantuk, masih ngelus perut, nimbang: mau bangun sekarang atau tidur 7 menit lagi biar ganjil.
Jam 10 siang, buka Twitter,
trending: "Gagal itu cuma alasan orang lemah."
Waduh, aku merasa diserang… padahal tadi baru gagal bikin telur ceplok bulat.
Jam 12 siang, scroll TikTok,
ada yang bilang: “Kalau kamu umur 25 dan belum punya tabungan 100 juta, kamu kemana aja?”
Aku langsung mikir, aku kayaknya kemana-mana… tapi selalu belok ke Alfamart. Gila ya, standar hidup zaman sekarang bisa bikin keringetan padahal AC nyala.
Kamu harus produktif. Tapi juga harus cukup tidur. Harus kurus, tapi jangan insecure. Harus jujur, tapi jangan terlalu jujur nanti dibilang nggak sopan. Harus jadi diri sendiri, tapi jangan ‘gitu’ banget dong…
Terus, akunya gimana?
Aku merasa jadi aku itu kayak duduk di kursi goyang, capek, maju mundur, tapi nggak kemana-mana.
Yang paling lucu (dan menyebalkan),
adalah ketika orang bilang: “Jadi diri sendiri aja, yang penting nyaman!”
Tapi pas aku jadi versi paling jujur dari diriku…
eh, dibilang aneh.
Pas aku bilang, “Aku nggak suka keramaian,” mereka bilang: “Kok kamu antisosial sih?”
Pas aku bilang,
“Aku nggak suka dibanding-bandingin,”
jawabannya: “Tapi lihat si A, dia bisa loh…”
Aku mulai bingung, jadi sebenarnya orang-orang ini mau aku nyaman atau mau aku sempurna?
Pernah di sebuah reuni, temen lama nyeletuk,
“Kamu kok masih gini-gini aja sih? Dulu kan kamu punya banyak potensi.”
Seketika aku pengin jawab, “Iya, potensi buat stres.”
Tapi nggak aku ucapkan.
Karena aku lebih pilih diam sambil senyum, lalu makan pastel tiga biji buat pelampiasan.
Dan begitulah,
standar orang-orang kadang kayak aplikasi—terus update.
Tiap tahun beda-beda.
Dulu waktu kecil, ditanya:
“Ranking berapa?”
Udah gede, ditanya:
“Udah nikah belum?”
Belum kelar jawab, langsung disambung:
“Kerja di mana sekarang?”
Huff.
Boleh nggak sih, aku cuma jawab:
“Aku masih belajar hidup pelan-pelan, biar nggak terengah-engah.”
Yang bikin hati sedih itu bukan cuma karena orang lain menuntut, tapi karena aku mulai ikut-ikutan menuntut diriku sendiri. Mulai membandingkan.
Mulai mempertanyakan:
“Kenapa aku nggak sehebat dia ya?”
“Kenapa aku nggak sekeren mereka?”
Dan aku lupa, aku tuh bukan mereka.
Aku punya jalan yang beda.
Sepatuku beda ukuran.
Langkahku beda ritme.
Aku bisa sampai, tapi mungkin waktunya lebih lama.
Dan itu nggak apa-apa. Tapi coba bilang itu ke kepala yang setiap hari diisi konten “sukses usia muda”. Ada masa-masa di mana aku mencoba menyesuaikan diri.
Ngikutin tren.
Ngikutin omongan orang.
Tapi lama-lama capek juga, karena jadi orang lain terus-terusan itu kayak pake baju orang kelihatan bagus, tapi sempit dan bikin sesak napas.
Dan akhirnya…
aku belajar satu hal penting: Kalau semua orang punya standar, ya aku juga berhak punya standarku sendiri.
Bukan buat nyenengin mereka, tapi buat menjaga diriku tetap waras. Sekarang, kalau ada yang bilang:
“Loh kamu udah umur segini, belum begini-begitu?”
Aku jawab: “Ya, aku masih proses. Tapi aku tetap bangga udah bisa bangun dari kasur hari ini.”
Kalau ada yang bilang: “Kamu harusnya bisa lebih, loh.”
Aku jawab: “Mungkin. Tapi aku udah cukup bahagia hari ini tanpa harus jadi lebih dari orang lain.”
Karena aku tahu,
jadi diri sendiri itu bukan lomba lari,
tapi perjalanan panjang yang nggak butuh validasi terus-menerus.
Dan buat kamu yang juga merasa berat jadi diri sendiri karena orang-orang punya standar tinggi,
aku cuma mau bilang: Kamu nggak sendirian. Kita semua pernah merasa tertinggal, merasa kurang keren, merasa nggak cukup. Tapi itu bukan berarti kita gagal.
Itu cuma berarti… kita manusia biasa.
Dan manusia biasa juga layak dihargai, bukan karena pencapaiannya, tapi karena mereka terus berusaha, meski pelan,meski nggak kelihatan.
Sekarang aku mulai belajar membatasi. Bukan membatasi mimpi,
tapi membatasi seberapa banyak tekanan dari luar yang aku izinkan masuk ke hati.
Karena ternyata,
banyak tekanan itu bukan datang dari beban,
tapi dari harapan-harapan yang nggak aku pilih sendiri.
Akhirnya, aku memilih jadi versi terbaik dari diriku. Yang mungkin nggak selalu keren,
nggak selalu sesuai standar orang lain, tapi jujur, damai, dan nggak pura-pura.
Dan dari situ aku tahu, menjadi diriku, meskipun susah, adalah hadiah paling jujur yang bisa aku berikan ke hidupku sendiri. Jadi, kalau kamu merasa
jadi diri sendiri itu susah banget di tengah dunia yang penuh “seharusnya”...
coba ingat ini:
Kamu bukan salah,
hanya karena kamu nggak sama.
Kamu nggak gagal,
hanya karena kamu belum sampai.
Kamu tetap berharga,
bahkan jika kamu tidak memenuhi ekspektasi siapa pun.
Kamu cukup.
Dan kalau ada yang bilang sebaliknya?
Tutup telinga.
Tarik napas.
Dan peluk dirimu sendiri—karena kamu layak diterima, tanpa syarat.