Kadang-kadang, aku nggak pengin jadi luar biasa. Nggak pengin dipuji-puji. Nggak pengin dibilang hebat atau keren banget.
Aku cuma pengin...
dimengerti.
Bukan apa-apa.
Capek juga loh, kalau hidup terus-terusan harus “menginspirasi orang lain”.
Kayak, “Ayo dong, kamu tuh harus jadi motivasi buat teman-temanmu!”
Lah…
Aku aja motivasi bangun pagi masih harus disuap sama kopi saset.
Ada satu titik dalam hidupku, di mana aku mulai sadar:
Yang paling melelahkan itu bukan ketika aku gagal mencapai standar orang lain.
Tapi ketika aku disalahpahami.
Pernah nggak sih kamu bilang sesuatu, terus maksudnya A, tapi ditangkapnya Z?
Dan tiba-tiba kamu jadi antagonis di cerita orang lain, padahal kamu bahkan belum baca skripnya.
Contoh ya:
Aku: “Kayaknya dia butuh waktu sendiri dulu.”
Teman: “Kok kamu jadi ngejauhin dia? Kamu emang bosen, ya, sama temen sendiri?”
Lah...
Tolong, ya. Aku cuma ngasih ruang, bukan nyuruh pergi selama-lamanya.
Atau ini:
Aku diem.
Karena lagi capek, pengin tenang aja.
Eh ada yang bilang,
"Kamu kenapa diem terus? Sombong sekarang, ya? Udah nggak mau nyapa temen lama?"
...Masya Allah, padahal aku cuma habis makan soto panas dan butuh waktu menenangkan lidah.
Sering banget, niat baikku malah kelihatan buruk karena ekspresi, timing, atau gaya ngomong yang mungkin memang nggak selalu manis. Aku bukan tipe orang yang bisa menjelaskan semuanya dengan mulus. Kadang kalau gugup, suaraku malah datar. Kalau terlalu mikir, ekspresi wajahku malah kayak orang nyari utang.
Tapi, ya itu tadi...
Aku nggak butuh orang bilang aku hebat.
Aku cuma pengin mereka tahu kalau aku nggak berniat jahat.
Waktu SMP, aku pernah dibilang “dingin” sama temanku.
Padahal aku tuh diem karena…
ya, aku lagi menstruasi dan perutku melilit kayak dililit kecemasan finansial.
Tapi bukannya tanya kenapa, dia langsung mutusin pertemanan. Hanya karena aku nggak bisa senyum di hari itu.
Dari situ aku belajar:
Orang sering buru-buru menarik kesimpulan, padahal mereka belum ngerti ceritanya.
Dan kamu tahu apa yang lebih sakit dari disalahpahami?
Nggak dikasih kesempatan buat menjelaskan.
Kamu pengin ngomong, tapi orangnya udah tutup telinga. Kamu pengin bilang, “Aku sebenarnya nggak begitu,” tapi kalimatmu kalah cepat sama gosip yang udah nyebar duluan.
Jadilah kamu...
Pemain figuran di cerita orang lain.
Yang diingat hanya kesalahannya, bukan alasannya.
Aku mulai berpikir, mungkin jadi orang yang selalu dimengerti itu mustahil.
Tapi masa iya aku harus terus-terusan salah dimengerti?
Kenapa sih manusia gampang banget nge-judge dari potongan kecil?
Padahal hidup orang bukan highlight story Instagram.
Mungkin karena kebanyakan dari kita nggak benar-benar mau mengerti,
kita cuma pengin merasa benar.
Aku pernah ngelakuin kesalahan yang sebenarnya kecil.
Cuma salah ucap di chat grup.
Nggak pake emoji.
Kesannya jadi jutek.
Langsung deh keluar kalimat:
^“Lagi sensi ya?”
^“Wah, sekarang galak banget ngomongnya.”
“Kamu lagi marah ya sama aku?”
Enggak!
Aku cuma belum mandi dan males ngetik panjang.
Tapi kenapa malah jadi persoalan negara?
Dan begini ya...
Kalau kamu lagi jadi versi dirimu yang sedang diam, sedang nggak ramah, sedang cuek, atau sedang tidak seperti biasanya…
itu sah.
Nggak semua perubahan ekspresi harus diartikan sebagai tanda ada masalah. Kadang, itu cuma ekspresi dari... ya, hidup aja.
Hidup itu penuh nuansa.
Nggak bisa dilihat dari dua frame foto.
Yang aku butuhkan bukan orang yang bilang:
“Wah, kamu keren banget sih, bisa kuat terus.”
Tapi yang bilang:
“Kalau kamu lagi lelah dan nggak bisa senyum, itu nggak masalah kok.”
Aku nggak butuh jadi idola.
Aku cukup jadi manusia biasa yang nggak dituduh macam-macam waktu aku lagi diem.
Tapi tentu, aku juga belajar. Bahwa kalau aku ingin dimengerti, aku harus berani terbuka. Walaupun nggak semua orang akan mau mendengarkan, tapi selalu ada satu dua yang benar-benar mau mengerti.
Dan itu cukup.
Satu orang yang ngerti kamu,
kadang lebih berharga dari seratus orang yang cuma suka kamu waktu kamu lucu.
Aku mulai pelan-pelan kasih tahu ke teman-temanku:
“Kalau aku lagi diem, belum tentu aku marah.”
“Kalau aku balas singkat, mungkin aku cuma capek.”
“Kalau aku nggak nongol, mungkin aku lagi butuh waktu sendiri.”
Dan ternyata mereka mulai paham.
Mereka mulai nanya dulu, bukan menuduh dulu.
Dan rasanya…
lega banget.
Kamu tahu nggak?
Rasa lega paling manis itu bukan pas utang lunas,
tapi pas kamu nggak disalahpahami.
Karena disalahpahami itu rasanya kayak salah bawa helm pulang dari masjid—semua mata tertuju, tapi kamu nggak tahu harus jelasin dari mana.
Dari semua ini, aku belajar satu hal penting:
Hidup bukan soal jadi hebat,
tapi soal belajar mengerti dan dimengerti.
Dan itu dimulai dari komunikasi kecil.
Dari berani bilang,
“Aku nggak lagi marah, aku cuma butuh diam.”
“Atau, maaf kalau tadi nadaku datar, aku emang lagi sedih.”
Sesederhana itu.
Tapi efeknya bisa menyelamatkan hubungan.
Jadi buat kamu yang sering disalahpahami...
Yang dianggap cuek padahal lagi mikir keras.
Yang dianggap jutek padahal cuma belum tidur.
Yang dianggap berubah padahal cuma belajar tenang...
Tenang aja.
Kamu bukan sendirian.
Kita banyak.
Kita yang pengin didengar dulu sebelum dijudge.
Kita yang cuma pengin dimengerti, bukan dipuja-puji.
Dan kamu tahu?
Itu nggak egois.
Itu manusiawi.
Aku tutup bab ini dengan satu kalimat:
Aku nggak butuh jadi hebat.
Aku cukup jadi aku yang jujur,
dan kalau bisa... nggak disalahpahami terus.