Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Weak people spread rumors. Stupid people believe them.

***

"Eh, itu... Yang itu anaknya."

"Yang mana, sih?"

"Sini buruan!"

Ruby mendengar suara berisik disusul gerakan orang-orang menoleh ke arahnya. Ia seperti tontonan dalam layar kaca, bedanya saat ini para murid menonton dia berjalan dari balik jendela. Ada keheranan yang menyusup atas kelakuan mereka. Ini ada apa? Kenapa dirinya tiba-tiba mendadak menjadi sorotan publik?

Dengan mencoba menghalau ketidaknyamanan yang ada, Ruby berjalan menuju kelas. Ketika ia masuk, lagi-lagi, banyak mata memandangnya dengan intens. Mereka yang biasa cuek dan tidak menganggap dirinya ada, sekarang tiba-tiba memperhatikan. Bahkan sampai ia duduk di kursi, leher mereka juga ikut berputar seolah tidak ingin melewatkan satu detik pergerakannya.

Rimba belum sampai. Tadi pagi, cowok itu pulang dulu ke rumah karena tidak membawa seragam. Sedangkan Ruby seperti biasa, pergi ke sekolah memakai ojek. Ia menaruh tas dan berusaha meraup oksigen banyak-banyak. Pikirannya kembali ke rumah sakit, mengabaikan mata-mata ingin tahu yang mengganggu. Kemarin, operasi pengangkatan peluru di jantung Gamal yang memakan waktu tiga jam akhirnya selesai. Sepanjang operasi juga ia mendiamkan Rimba, cowok itu tetap duduk di sampingnya sambil membaca buku. 

"Liv...," panggil Mira, satu-satunya cewek yang berteman dekat dengan komplotan penghuni meja belakang dan biasa membalasi guyonan receh mereka di grup WA kelas. Cewek berambut setelinga itu duduk di sampingnya. "Lo nggak papa?" tanya Mira berbisik. Namun, anehnya mata Mira seperti mengamati keadaannya.

"Gue? Kenapa?" Ruby balas bertanya. Ya, memangnya kenapa? Ada apa Mira tiba-tiba bertanya kabar dia?

Mira mengernyit. Cewek itu lalu mengeluarkan ponsel dan membuka sesuatu. Tangannya menyodorkan sebuah halaman yang ada di Buletin Online Sekolah. Ruby memperhatikan layar ponsel Mira dalam diam. Ada sebuah foto yang diambil secara tersembunyi, menampilkan dirinya dari belakang yang sedang memandang Gamal dari jendela kaca. Tenggorokan Ruby rasanya mendadak tertusuk jarum. Berita itu sangat menyudutkannya.

ANAK PENDIAM DI SEKOLAH KITA TERNYATA PUTRI SEORANG TERORIS

Bukan hanya foto itu saja, BOS juga mengunggah halaman-halaman berita yang memuat kabar penembakan Gamal. Dada Ruby rasanya tertabuh seperti beduk. Ia berdiri dan permisi meninggalkan Mira. Ia memerlukan udara segar sekarang. Kakinya setengah berlari menuju toilet sekolah.

Setelah mencuci muka, Ruby bersandar pada wastafel. Siapa? Siapa dalang dari berita itu? Tidak banyak yang mengetahui papanya sedang di ICU, hanya Rimba. Apakah Rimba yang menceritakan pada orang lain? Rasanya mustahil. Atau ... Ah, Naraya dan Renard. Bisa saja mereka berdua menceritakan bertemu Ruby di rumah sakit. Akan tetapi melihat siapa mereka dan posisi Ruby yang bukan siapa-siapa, sepertinya mereka tidak punya kepentingan untuk menyebarkan berita bohong ini. Lagi pula mereka tidak tahu kalau Gamal ditembak. 

Bel masuk berbunyi, Ruby menghela napas sekali lagi. Ia harus sabar dan kuat. Amarah tidak menyelesaikan segalanya. Ia sudah pernah membuktikan jika amarah dibiarkan menguasainya yang diterima hanyalah kekalahan. Ya, kala pertarungan dengan algojo. Semua ilmunya hilang, keselarasan dengan alam semesta lenyap dan ia bergerak hanya berdasarkan hati yang panas.

Ruby keluar dari toilet setelah mengikat rambut. Ia berusaha kembali tidak peduli dengan tatapan yang terlihat menghakimi. Sampai di pintu kelas, Cleopatra yang baru datang tersenyum kepadanya. Cewek itu berbisik lirih, "Hai, anak teroris."

Jika saja Ruby tidak ingat untuk selalu sabar, jika saja ia tidak berprinsip kalau mengalah bukan berarti kalah, tentu enak sekali memilin leher cewek yang menampilkan senyum palsu barusan. Sekaligus membebat rambut panjang yang dikibas sembarangan tadi sebagai tali pengikat di leher cewek itu agar nyawanya hilang tanpa sisa.

Ya, itu hanya pikiran kotor Ruby saja.

Ketika Ruby duduk, Rimba masih tidak nampak juga. Rupanya cowok itu bolos seperti biasa saat mendapati hari kejepit nasional, dan yang lebih mengherankan, cowok itu seperti lebih dulu memprediksi yang terjadi, hari ini tidak belajar.

"Woy! Guru-guru mendadak rapat. Kita nggak boleh pulang dan disuruh ngisi jam kosong dengan belajar sendiri." Ketua kelas memberikan informasi setelah setengah jam kosong tanpa didatangi guru. Kalau saja ia tahu akan begini, lebih baik di rumah sakit saja tadi. Ruby meringis kesal, beranjak dari bangku dan menuju perpustakaan. Bisik-bisik menemaninya sepanjang perjalanan di koridor.

Buat apa sih BOS membahasnya? Dia bukan Ketua OSIS atau pentolan terkenal di sekolah ini. Lagi pula tidak pernah terpikirkan oleh Ruby untuk meledakkan sekolah, membakar perpustakaan atau meneror orang-orang yang pernah mengganggu. 

Langkahnya terhenti ketika melewati ruang guru dengan pintu tidak tertutup rapat. Ada suara yang membias keluar dari celah yang ada. "Bagaimana jika orang tua murid keberatan dengan berita itu? Ada ketakutan khusus untuk menyekolahkan anaknya di sini?" Suara seorang guru dengan lafal tidak jelas sedang melontarkan pendapat, dan tak lama Ruby mendengar jawaban dari suara yang cukup dikenalnya, suara Pak Iksun.

"Menuntut ilmu itu hak setiap anak di negara kita ini. Meski anak seorang koruptor atau pembunuh sekalipun tetap dapat hak yang sama, apalagi baru dugaan teroris?" ujar Pak Iksun.

Seperti diserang dengan godam, Ruby mundur selangkah. Kakinya berlari secepat mungkin mencari pojok sepi tak terjamah. Ia ingin sendiri dan menenangkan diri.

Kenapa manusia sering menuduh tanpa bukti? Ruby mengusap air mata dan duduk di taman belakang sekolah yang dipenuhi ilalang tidak terawat. Dia masih saja tidak terima dituduh tak berdasar. Orang-orang menghubungkan dirinya yang peranakan Rusia dengan Komunis. Ya ampun, mamanya sudah meninggal lho, kenapa masih diungkit-ungkit, sih? Lalu apa karena papanya jarang terlihat sehingga orang mudah melabelinya teroris? 

Ruby tersedu dan meratapi diri. Sampai kapan penderitaannya akan terhenti? Ia mendesah lantas memandangi ilalang yang bergoyang ditiup angin. Ilalang itu hanya pasrah dipermainkan keadaan, seperti dirinya. 

Akan tetapi, dirinya bukan ilalang. Dia masih bisa berusaha, "kan? Bukankah nasib manusia tidak akan berubah jika manusia itu tidak berusaha? Contohnya ketika berhadapan dengan Rimba, jika saja saat itu dia tidak melawan, mungkin sampai saat ini dia masih menjadi bagian dari bahan olok-olokan penghuni belakang. 

Ruby mengangguk dan mengusap tangis. Dia harus menghadapi ini. Dia harus mendatangi BOS.

***

Setelah mengetuk, Rimba langsung mendorong pintu kayu ruang praktik Lintang. Berbeda dengan ruang kerja Kepala Rumah Sakit yang terletak di lantai atas, ruang praktik berada di kawasan poliklinik. Ruangan ini sudah tidak pernah disinggahinya lagi selama lima tahun belakangan. Pintu kayu itu terlihat angkuh dan berpapan nama besar, menuliskan nama sang pemilik tempat praktik, dr. Lintang Kemukus, MARS, Sp.BTKV.

"Sudah Papa duga akan kedatangan tamu istimewa hari ini. Rimba nggak sekolah?" Lintang meletakkan pena. Sosok necis itu bersandar di kursi kebesarannya. 

Rimba diam dan menatap Lintang.

"Hebat juga anak itu, bisa membuat Rimba mau memijakkan kaki lagi di rumah sakit ini. Siapa tahu besok-besok bisa membuat Rimba berubah pikiran untuk menjadi seorang dokter," ulas Lintang sambil tersenyum sarat makna.

"Bagaimana? Mau diurus SNBP-nya? Papa berharap Rimba bisa masuk FK UI." 

Lintang masih berbicara dengan anak tunggalnya, tetapi Rimba malah membuang muka. "Kalau orang tua bicara, didengar, diperhatikan."

Rimba menaikkan pandangan. "Rimba dengar, Pa. Selalu dengar. Apa Papa pernah memikirkan hal yang sama? Mau mendengar dan memperhatikan Rimba bicara?" ujarnya telak.

"Rimba datang ke sini bukan untuk membahas hal itu, Pa." Ia menarik napas panjang dan berbicara layaknya orang asing. "Bisa jelaskan kepada saya, bagaimana keadaan pasien paskaoperasi, Dokter Lintang?"

Lintang tertawa pelan. "Mau penjelasan yang bagaimana? Apa kalau Papa jelaskan pakai bahasa medis, kamu ngerti?"

"Keadaan pasien?" Rimba tidak pedulikan jawaban papanya.

"Masih menunggu sadar. Peluru sudah diangkat dan dilakukan beberapa tindakan untuk menutup lubang pada jantungnya," jawab Lintang diplomatis. "Dokter selalu berusaha melakukan yang terbaik, Rimba."

"Kenapa baru dioperasi sekarang?" Hari ini genap hari keenam sang pasien berada di rumah sakit. Ia merasa tindakan dokter atas kasus itu cukup lambat.

Lintang melepas kacamata. Pria itu mulai terganggu oleh keingintahuan anaknya. "Operasi ini penuh risiko, membutuhkan serangkaian pengamatan, melibatkan banyak dokter bedah dan dokter spesialis. Kami khawatir bila peluru itu diangkat, pasien akan meregang nyawa karenanya. Untuk mengangkat peluru dan menjahit jantung yang koyak itu bukan coba-coba, Rimba."

"Tapi berhasil, 'kan?"

Lintang meraih penanya, mencontohkan pena tersebut sebagai sebutir peluru. "Letak peluru itu horizontal di antara dua katup jantung. Satu milimeter lagi, peluru itu bisa membuat ventrikel kiri bocor dan dapat membunuh pasien sewaktu-waktu. Tiap kali jantungnya berdetak, peluru tersebut bisa saja bergerak dan menyenggol ventrikel kiri."

"Harapan hidup?" desak Rimba tidak peduli oleh penjelasan medis yang penuh narasi.

"Sepertinya kamu cukup peduli dengan anak itu," tebak Lintang, menaikkan sebelah alis.

"Ya, Rimba peduli, Pa."

"Rimba... Ingat, Papa tidak suka dengan hal-hal yang membuat kamu terdistraksi dan akhirnya membuat nilaimu turun. Naik-naik gununglah, manjat-manjat dindinglah."

"Apa nilai Rimba turun, Pa?" tantangnya. "Pengekangan tidak membuat anak semakin pintar, 'kan?"

"Iya, tapi Papa tidak suka jika ada hal lain yang membuat konsentrasi belajarmu hilang. Bukan Papa tidak tahu kalau kamu selama ini sering minta surat izin sakit ke administrasi, Papa juga tahu kalian sampai begadang di helipad tadi malam. Stop doing dumb things! Know your place, Belantara Rimba." Raut Lintang mengeras, menunjukan ketidaksukaan yang dirasa.

"Pa, can you just mention it from one to ten? How many he has own his life expectancy?" Rimba menatap mata Lintang, mencari kebenaran. Setelah mendengar sebuah kata dari bibir itu, ia lantas pergi meninggalkan ruangan yang selalu memuakkan baginya.

Rapat guru membuat Rimba dapat menyelinap masuk ke sekolah tanpa ketahuan. Ia melompati dinding belakang sekolah dan langsung menuju kantin. Terlihat Untung sedang bersenandung sambil membawa piring. "Makan jangan asal makan. Perut buncit langsung kenyang. Eh... Ada Kakaq Rimba. Kirain cabut."

Tangan cowok itu seperti menyapu tempat duduk di sebelahnya, seolah mempersiapkan tamu agung untuk duduk. Rimba hanya mencibir dan memesan seporsi nasi. "Rapat apaan guru-guru?"

"Mana gue tahu? Kenapa nggak dipulangin aja dah? Hari Jumat ini, bentar lagi juga bubar sekolah," gerutu Untung sambil mengunyah sarapannya.

"Mbek." Naraya mendekat. Kursi roda cewek itu bahkan menabrak bangkunya. "Lo nggak sama Ruby?"

"Cie, Mbek. Udah sah memangnya sama Ruby?" Olok-olok seperti biasa datang lagi.

"Lo kata nikah pake 'sah'?" Yang lain ikut menimpali kalimat barusan. 

"Cocot lo pada!" balas Rimba kepada pengolok. "Ruby? Gue aja baru dateng, Kak. Kenapa?"

Rimba mendapati muka Naraya yang terlihat hendak mengatakan sesuatu. Naraya menoleh ke Mira. Seperti mengerti, Mira mendekat ke Rimba lalu menyodorkan berita yang buatnya lupa akan pesanan nasi dan rasa lapar, juga membuatnya melesat ke sekre BOS sekarang juga. Rimba lari sekencang mungkin, langkahnya terhenti melihat pintu sekre itu terbuka dan menampilkan siluet Ruby yang membelakanginya. 

"Gue cuma tanya. Siapa yang bikin artikel ini dan kenapa kalian diam aja?" 

Suara Ruby tenang dan terkontrol. Tiga anggota BOS yang sedang berkutat dengan komputer terlihat menghentikan kegiatan dan memilih bungkam. Ruby berjalan masuk. "Kalian jurnalis atau akun gosip? Nggak pernah ada tanya apa pun sama gue, terus bikin berita menyudutkan gitu."

"Kalian tau nggak kalau berita itu harus komprehensif dan proporsional?" tanya Ruby lagi. Namun, cewek itu hanya seperti berbicara dengan lembu, yang lain hanya diam saja.

Geram melihat Ruby didiamkan, Rimba menyeruak masuk. Tangannya refleks menarik lengan Ruby. "Siapa yang nulis berita itu?" serangnya ke anggota BOS.

Ia mendatangi sang ketua yang menatapnya dari tadi. "Dari siapa sumbernya?"

"Ada yang kirim email, Rim. Nggak tau siapa."

Rimba mengecimus. "Pinter! Terus nggak cross check?" Ditanya seperti itu, sang ketua lantas menunduk. "Kalian sadar nggak kalo kalian sedang mencoreng reputasi BOS sendiri?" timpal Rimba pedas.

"Atau kalian memang sengaja posting artikel nggak mutu cuma buat naikin engagement kalian yang mulai merosot?" tebak Rimba tajam. "Sebelum persoalan ini jadi panjang, tolong turunin artikel itu."

"Tapi ... udah keburu publish, Rim."

"Apa gue yang mesti ajarin lo caranya tekan tombol unpublish? Gue tunggu dua jam dari sekarang!" Mata Rimba seperti hendak menguliti mangsanya dengan garang. Kebengisan itu lantas hilang dengan sebuah teguran halus yang membuatnya luluh.

"Rim..." Ruby berusaha mengingatkan Rimba. 

Rimba mengangguk sambil membalikkan badan dan menghampiri Ruby. "Nggak, gue nggak emosi, kok," ujarnya tersenyum lalu mengajak Ruby meninggalkan sekre yang terasa sangat pengap. Sebelum tubuhnya benar-benar hilang, disempatkannya memberi salam terakhir kepada para penghuni. "Apa? Mau bikin gosip baru tentang kami berdua? Bikin! Jangan sampe enggak."

Ruby akhirnya mengikuti langkah Rimba. Cowok itu masih terlihat kesal. Dia pikir Rimba akan bolos hari ini, ternyata tidak. "Apaan sih lo ngomong begitu tadi? Nanti sampe dibikin berita beneran, gawat."

"Yang mana?" Rimba terkekeh sambil mengantongi tangannya di kedua saku. "Yang gosip kita berdua?" 

"Biarin aja sih biar tenar," timpalnya lagi. Dalam hati Rimba mulai terjadi perdebatan aneh. Apa Ruby nggak suka digosipin sama dia? Bukannya kalau cewek suka cowok malah suka diberitakan kedekatan antar keduanya?

"Lo udah tenar kali. Apalagi yang mau ditenarin?" desis Ruby. "Tapi gue nggak suka aja kalo gue ..."

"I know." Rimba masih berjalan santai membelah koridor yang dipenuhi tatapan aneh kepada mereka berdua. "Tapi, ya siap-siap aja siapa tau beneran ada beritanya," bisiknya iseng. 

Tentu saja, setelah berita bermasalah itu turun, pasti BOS mencari hal-hal fenomenal lain yang membuat orang penasaran dan ingin mengunjungi laman mereka. Lagipula tadi Rimba yang menantang BOS langsung untuk membuat berita tentang mereka berdua. Ruby memberengut kesal.

"Ya udah, kalo nanti beritanya turun dan lo keganggu, ntar kita bikin video klarifikasi aja biar kayak vlogger gitu. Kan lumayan nanti banyak yang nonton, bisa di-endorse atau dibayar sama YouTube."

"Terus? Nanti gue bikinnya sambil nangis-nangis gitu biar ditonton banyak orang?" cibir Ruby lalu berjalan cepat meninggalkan Rimba.

"Nah. Boljug tuh, boljug!" sahut Rimba, mengejarnya. Cowok itu jalan bersisian dengannya, membuat atensi dari sekitar semakin membulat ke mereka.

"Kenapa liat-liat? Cocok, 'kan?" tanya Rimba dengan percaya diri kepada yang menontoni mereka.

Ruby menahan napas. Ada keinginan untuk menyikut dan memelintir badan cowok itu dengan cepat sekarang juga.

"Ye... Ditanya malah diem. Gosipin kami, dong. Biar asyik! Foto dong foto, kirim ke BOS." Rimba tersenyum tengil nggak keruan, pakai mengangkat tangan ke udara. 

Pluto! Ruby dosa nggak jika terasa ingin melafalkan mantra Avadra Kedavra kepada Rimba?

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pillars of Heaven
2954      951     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
Dunia Gemerlap
20808      3094     3     
Action
Hanif, baru saja keluar dari kehidupan lamanya sebagai mahasiswa biasa dan terpaksa menjalani kehidupannya yang baru sebagai seorang pengedar narkoba. Hal-hal seperti perjudian, narkoba, minuman keras, dan pergaulan bebas merupakan makanan sehari-harinya. Ia melakukan semua ini demi mengendus jejak keberadaan kakaknya. Akankah Hanif berhasil bertahan dengan kehidupan barunya?
My Noona
6026      1471     2     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
The Difference
9175      2016     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Menjadi Aku
418      329     1     
Inspirational
Masa SMA tak pernah benar-benar ramah bagi mereka yang berbeda. Ejekan adalah makanan harian. Pandangan merendahkan jadi teman akrab. Tapi dunia tak pernah tahu, di balik tawa yang dipaksakan dan diam yang panjang, ada luka yang belum sembuh. Tiga sahabat ini tak sedang mencari pujian. Mereka hanya ingin satu halmenjadi aku, tanpa takut, tanpa malu. Namun untuk berdiri sebagai diri sendi...
Ich Liebe Dich
11669      1783     4     
Romance
Kevin adalah pengembara yang tersesat di gurun. Sedangkan Sofi adalah bidadari yang menghamburkan percikan air padanya. Tak ada yang membuat Kevin merasa lebih hidup daripada pertemuannya dengan Sofi. Getaran yang dia rasakan ketika menatap iris mata Sofi berbeda dengan getaran yang dulu dia rasakan dengan cinta pertamanya. Namun, segalanya berubah dalam sekejap. Kegersangan melanda Kevin lag...
Time and Tears
245      192     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
One Milligram's Love
1047      804     46     
Inspirational
Satu keluarga ribut mendapati Mili Gram ketahuan berpacaran dengan cowok chindo nonmuslim, Layden Giovani. Keluarga Mili menentang keras dan memaksa gadis itu untuk putus segera. Hanya saja, baik Mili maupun Layden bersikukuh mempertahankan hubungan mereka. Keduanya tak peduli dengan pandangan teman, keluarga, bahkan Tuhan masing-masing. Hingga kemudian, satu tragedi menimpa hidup mereka. Layden...
House with No Mirror
462      349     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?