There's nothing absolute in the universe.
***
Pada dasarnya, manusia hanya bisa mereka-reka dan rekaan kemungkinannya adalah fifty-fifty. Manusia tidak bisa memperkirakan mutlak, kalaupun terjadi sesuai perkiraan, itu hanyalah kebetulan belaka. Begitu juga Rimba. Ia tidak bisa mereka-reka apa yang sebenarnya dirasakan Ruby terhadapnya. Apakah sama dengan rasa yang bercokol di dirinya belakangan ini? Ataukah hanya perasaan nyaman, perasaan memiliki teman dekat karena nyatanya cewek itu tidak pernah memiliki teman. Rimba tentu tidak mau gegabah. Sebesar apa pun gelombang rasa aneh itu menyerang dan porak-porandakan pertahanannya, Rimba tetap berusaha berpikir dan menganalisis dengan logika.
Memang Ruby mau digandengnya, memang wajah Ruby sesekali bersemu jika digodanya, tetapi tetap ada kemungkinan bahwa Ruby hanyalah menganggapnya teman dekat, hanya tertawa karena leluconnya dan tidak menganggap lebih, bukan?
Rimba harus akui kalau ia menyukai Ruby. Ini untuk pertama kalinya dia tertarik dengan lawan jenis. Ruby memang bukan bayangan cewek dengan kesempurnaan penuh seperti keinginan Rimba. Namun, hatinya tidak bisa bohong, bagaimana derap jantung tiba-tiba tidak mampu diredakan, bagaimana sikapnya tiba-tiba berjalan di luar kontrol. Rimba sadar, ia telah jatuh hati dan untuk pertama kali juga, Rimba takut sekali gagal.
Langkahnya dengan cepat menghampiri Ruby, duduk di samping cewek itu. "Sarapan, yuk," ajaknya setelah menyelinap mandi di ruangan kerja Lintang.
Tadi malam, mereka baru turun dari helipad pukul satu pagi, itu pun tidak langsung tidur. Mereka masih bercakap-cakap di bangku taman depan ICU sampai dini hari. Rimba baru menyudahi percakapan yang sebenarnya tidak ingin disudahinya karena melihat Ruby mengantuk berat.
"Minggu depan udah UAS. Harus jaga kesehatan, nggak boleh sakit, By." Belum sempat dijawab, Rimba sudah menggandeng lengan Ruby berjalan menuju kantin rumah sakit.
Ia menyodorkan dua cangkir teh dengan potongan lemon dan dua mangkuk bubur ayam pesanannya. "Masih ngantuk, Neng? Diem-diem aja."
Ruby hanya menyerongkan bibir. Aksi itu malah membuat Rimba merasa kalau gadis kurus di depannya ini sangatlah lucu. "Cita-citanya masih kecil pasti mau jadi Sule, ya, Neng?"
"Hah? Sule? Apa hubungannya?" tanya Ruby tidak mengerti.
"Soalnya lo lucu banget." Lagi, Rimba menarik ikal bertekstur lembut miliknya Ruby.
Cewek itu hanya mengerotkan bibir lagi, mengaduk bubur ayam, meniup sesaat dan menyendok ke dalam mulut. Semua itu tidak lepas dari pengamatan Rimba. Ia jadi mengingat ulang bagaimana perlakuannya dahulu kepada sang Manekin hidup dan apa saja yang mereka lewati sehingga bisa sedekat ini. Is karma real?
Rimba bahkan tidak pernah membayangkan akan seperti ini hidupnya. Untuk bisa kenal, bisa berdiskusi, bisa bicara banyak bersama Ruby itu di luar apa yang pernah dia bayangkan di hidup. Ruby tidak pernah ada dalam rencana, bayangan atau impiannya. Meski saat kelas sepuluh mereka sekelas, tidak pernah ada tegur sapa, hanya sekadar saling tahu nama. Jadi wajar kalau Rimba tidak tahu bagaimana Ruby sesungguhnya. Mana dia tahu kalau Ruby seunik ini; ada lucunya, ada cantiknya, ada cerdasnya, ada anehnya, dan semua dalam satu paket khusus yang tidak semua orang bisa melihat itu.
Oke. Rimba sudah jatuh. SUDAH. JATUH.
"Kenapa?" Ruby menengadah, sadar kalau Rimba memperhatikannya.
"Nggak papa. Nanti belajar di taman, yuk? Bawa buku biologi nggak?"
Ruby menggeleng. Ia hanya membawa buku fisika dan novel Rapijali dari Rimba yang belum selesai dibacanya.
"Gue bawa buku biologi," sahut Rimba kembali mengamati Ruby yang sedang menyelesaikan makan. "Mau tambah buburnya?"
"Enggak. Cukup, kok. Belajarnya habis jam besuk boleh? Mau ngomong sama Papa." Ruby memandangnya datar, lalu meneguk teh yang ada hingga tandas.
Hari libur nasional yang jatuh kepada hari kerja membuat koridor rumah sakit lebih ramai dari biasanya. Poliklinik anak sudah penuh dengan bocah-bocah yang main di taman bermain dan orang tua yang mendaftar di bagian administrasi. Rimba dan Ruby berjalan melewati poliklinik yang ada menuju ke koridor perawatan khusus. Lantai putih dan bau khas rumah sakit menjadi hal yang biasa di hidung Ruby. Kira-kira sepuluh meter menuju ruang ICU, langkah di sebelahnya berhenti, membuat Ruby ikut berhenti dan menoleh.
Matanya lalu mengikuti delikan jeli milik Rimba yang diarahkan cowok itu ke depan. Dua orang yang hampir berpapasan dengan mereka juga ikut berhenti. Ada Cleopatra dan seorang wanita cantik yang menurut penilaian Ruby adalah seorang dokter.
"Rimba..." ujar wanita itu dan Cleopatra bersamaan. Wanita itu lalu menoleh kaget. "Cleo, kenal Rimba?"
Cleopatra mengangguk dengan mata berbinar. "Teman sekelas Cleo, Tante."
"Oh, kebetulan sekali. Tante baru tahu kalian sekelas." Nabila menatap dua orang remaja di hadapan. Pandangannya terpaku pada seorang gadis berkulit pucat yang terdiam sedari tadi. "Kalau ini, siapa?"
"Ini Ruby, Ma." Rimba memberi tahu. "Teman Rimba."
Mau tak mau, Ruby mengulurkan tangan kepada wanita berjas dokter dengan tampilan sangat anggun. "Ruby, Tante."
Sosok itu tersenyum menyenangkan kepada Ruby. "Kebetulan sekali Tante bisa kenal teman-teman Rimba. Gimana kalau kita ke kantin bareng?"
Belum saja Ruby menjawab, suara Rimba sudah memotongnya. "Nggak bisa, Ma. Ruby mau besuk."
Masih dengan senyum yang sama, wanita itu mengangguk paham. "Oh, gitu."
Ruby mendadak canggung. Ia merasa tidak enak hati kalau dirinya jadi alasan Rimba tidak ikut bergabung. "Nggak papa, gue bisa sendiri kok. Duluan aja, ntar kalo sempet, gue nyusul," ucapnya kepada Rimba lalu tersenyum hormat kepada wanita dengan lencana ukir bertuliskan dr. Nabila di dada.
Senyum wanita itu hangat dan bersahabat, berbeda sekali dengan Cleopatra yang tampak muram atas kehadirannya. Mata Ruby menangkap kedekatan personal antara Cleopatra dengan orang tua perempuan Rimba itu. Ada sesuatu yang mencelus di lubuk hatinya.
"Gimana, Rimba?" tanya Nabila sambil mengantongi tangan di jas.
"Rimba antar Ruby dulu, nanti nyusul ke kantin. Kami juga tadi baru dari kantin." Cowok itu lalu berkedip ke Ruby seolah mengajaknya untuk berjalan kembali. Ruby hanya bisa menunduk santun sebelum akhirnya mengikuti langkah Rimba.
"Rim, lo ke kantin aja. Gue nggak usah ditunggu," ujar Ruby saat mereka sampai. Bagaimanapun Ruby tidak mau jadi pilihan yang tidak baik untuk seseorang. Ia tidak pernah menginginkan terjebak dalam hal rumit, juga sebaliknya, ia tidak menginginkan dirinya menjadi pilihan yang rumit bagi orang lain.
"Can I ask a small favor of you?" Rimba menggenggam lengan Ruby, sebelum cewek itu melangkah masuk ke ruang ICU. Tanpa suara, Ruby menunggu kelanjutan kalimat Rimba. "Don't forget to smile and lemme know when you finish."
Setelah Ruby mengangguk, sosok tegap itu lalu membukakan pintu ruang ICU dan menutupkan kembali, kemudian berbalik meninggalkannya dalam keheningan yang biasanya sangat disukainya tetapi sekarang malah terlihat mencekam.
Ruby mendekat ke ranjang Gamal dengan seragam khusus pengunjung dan masker. Ruangan yang hanya diisi pasien sakit berat dan kritis ini sangatlah sunyi. Papanya dilengkapi perlengkapan khusus, dan dipantau secara ketat. Berbagai selang menempel di tubuh itu, monitor berkedip-kedip di kanan kiri tubuhnya dan bunyi-bunyi aneh yang Ruby tidak suka.
"Pa..." Ruby menyentuh tangan Gamal. "Ruby kangen. Makan ayam penyet di perempatan jalan lagi, yuk."
Tidak jawaban konyol Gamal seperti biasa. Namun, Ruby terus saja berbicara. Tak peduli matanya kembali perih dan berselaput kabut. "Di luar tadi itu Rimba. Cowok yang kemarin kasih bunga ke Ruby. Ternyata rumah sakit ini punya keluarganya dan papanya yang tangani Papa."
Ruby mengusap pipinya yang dibasahi setetes air. Dia tidak ingin menangis. "Seandainya Ruby bisa minta dan Rimba bisa kabulkan, Ruby minta ke Dokter Lintang supaya bikin Papa sehat lagi."
Jangan salahkan Ruby jika tadi malam ia kembali menguping pembicaraan para perawat. Memang mata sudah lengket karena mengantuk berat, tetapi telinga Ruby terlalu awas dengan suara sehingga terdengar olehnya bagaimana para perawat membahas mereka. Bagaimana perawat itu bercerita kalau dia melihat Rimba bersama Ruby di taman rumah sakit. Ruby juga dengar bagaimana mereka menyebutnya sebagai gadis yang beruntung, bisa memenangkan perhatian cucu pemilik rumah sakit. Saat itu juga Ruby mencocokkan dengan desas desus lama yang bilang keluarga Rimba memiliki rumah sakit, ternyata Rumah Sakit Pelita Bangsa ini jawabannya. Pantas saja Rimba bisa menitipkannya di kamar jaga dan perawat tidak protes sama sekali.
Kepala Ruby menunduk ke genggaman yang erat sedari tadi, mencium punggung tangan Gamal. "Maafin kesalahan Ruby, Pa. Ruby mohon ... Papa bangun."
Sekilas, Ruby merasa Gamal balik menggenggam tangannya sebelum bunyi pip dalam sebuah monitor di samping mereka menjadi susul menyusul dan memekakkan telinga. Garis itu naik turun tanpa kendali.
"Papa!" pekiknya.
Perawat berlari masuk, diikuti dokter jaga yang selalu ada. Kesibukan lalu terjadi di sana. Bunyi mesin mengetuk makin cepat, langkah terburu-buru, suara derit roda dari perlengkapan penolong yang didorong, arahan dokter kepada perawat, semuanya terasa bising dan semrawut di telinga Ruby.
Langkah mundurnya menabrak pintu, membuat Ruby sandarkan badannya yang lemas menyaksikan itu semua. Kekuatan yang berusaha dibangunnya beberapa hari ini lenyap. Tubuhnya kaku oleh kegemparan yang ada. Suara paraunya hanya bisa memanggil lemah, "Papa..."
Dokter mulai menempelkan alat yang membuat badan Papa terlonjak dari posisi tidurnya. Badan Ruby bergetar hebat, napasnya terputus-putus. Ia memejam, tidak sanggup melihat semuanya.
***
Tiga orang itu duduk di kursi rumah sakit dengan teh hangat juga camilan. Rimba memandang datar penganan yang diolah oleh tangan terampil para kru dapur rumah sakit ini. Ia bosan dengan sajian yang dahulu selalu menemaninya dalam penantian tak berujung, menanti orang tua.
"Papa Ruby dirawat di mana?" Nabila membuka percakapan. Wanita itu memperhatikan air muka lawan bicaranya.
"ICU."
"ICU?" Nabila terlihat menyipit. Meski rumah sakit dapat menampung banyak pasien, tetap saja pasien ICU dapat dihitung dengan tangan. Dan ia jelas tahu profil pasien yang baru-baru saja masuk ICU, juru bicara rumah sakit sempat diserbu wartawan karena pria itu. "Yang ditembak?" tanyanya memastikan.
Rimba hanya mengerjap, tanda mengiakan.
"Sudah lama kita nggak ngeteh bareng, ya, Rimba?" Nabila mempersilakan Rimba dan Cleopatra untuk menikmati sajian yang ada. "Ayo, diminum, Cleo."
Rimba berdesis pelan. "Sering. Waktu Mama dan Papa belum sesibuk ini," tandasnya membuat Nabila terdiam.
Berbeda dengan Rimba yang dingin, Cleopatra mendadak riang. Cewek itu bahkan menyobek kemasan gula dan menuangkannya dalam cangkir teh Rimba. "Nggak nyangka bisa ketemu Rimba di sini. Apalagi waktu tahu ternyata Rimba anak Tante," ujar si gadis cantik berambut panjang itu lalu meneguk sedikit teh, dan larut dalam cerita dengan sang dokter sementara Rimba hanya diam saja.
"Tante, jemputan Cleo sudah datang. Cleo duluan, ya." Cewek itu menyentuh lengan Rimba. "Duluan ya, Rim," pamitnya yang dibalas dengan anggukan basa-basi.
Sejurus dengan Cleopatra yang keluar dari kantin, Rimba kemudian juga berdiri. "Rimba mau ke tempat Ruby," ujarnya.
Jika dahulu, ia sering kali dinomorduakan, tidak salah jika saat ini dia memilih orang lain menjadi prioritas, bukan? Tidak, Rimba tidak balas dendam. Hanya saja orang tuanya sendiri yang mengajarkan bagaimana mendahulukan sesuatu yang lebih penting. Perasaannya mendadak gelisah dan ia merasa ada hal mendesak yang terkait dengan Ruby.
"Kapan punya waktu dengan kami, untuk membicarakan pilihanmu?"
"Rimba perlu waktu, Ma." Ia merapatkan kursi kantin dan beranjak menjauh.
"Rimba..." Panggilan Nabila menghentikan langkahnya. "Mama titip Cleo."
Rimba mendengkus malas sambil bergegas. Ia ingin menemani Ruby secepatnya. Benar saja dugaannya, ketika sampai di depan ICU, ia mendapati Ruby bersandar lemas di balik pintu kaca.
Suara angin dari pintu yang dibuka masuk ke telinga Ruby, bersamaan dengan tubuhnya yang ditarik keluar. Ada dua tangan yang menyelubungi pendengarannya, seolah menjadi pelindung atas suara-suara yang sangat mengganggu jiwa. Bersamaan dengan itu, kehangatan datang dengan suara yang menenangkan belakangan ini. "Everything is gonna be alright, By."
Pintu ruang ICU mendadak terbuka, Dokter yang tadi di dalam, menghampiri mereka. "Aktivitas jantung kembali normal tetapi kondisi pasien menurun. Saya akan menghubungi tim dokter terkait agar operasi pengangkatan peluru dimajukan secepatnya."
Setelah berkata demikian, sang dokter lantas berjalan cepat meninggalkan mereka sementara Ruby masih bersandar di dinding. Rimba memanggil dan menangkupkan tangan di wajahnya. "By, it's ok. It's ok." Mata berujung lancip itu menatapnya hangat. "Gue temenin, By. Kita tunggu operasi itu sama-sama sambil belajar, ya."
Sejam pertama, Ruby masih saja berdiri, duduk dan berjalan gelisah di depan pintu hermetic, pintu kedap udara yang membatasinya dengan ruang operasi. Sesekali ia berusaha berjinjit, mencoba mengintip dari kotak kaca yang ada. Sayangnya yang terlihat hanyalah topi-topi para dokter yang sedang mengoperasi Gamal.
"Ke situ, yuk." Rimba menunjuk taman yang tidak jauh dari mereka. "Nanti kalo dokter udah selesai kelihatan, kok. Pintu ini kan kebuka."
Mereka duduk di kursi taman yang kosong. Cowok itu menaruh buku biologi di pangkuan Ruby. "Coba baca yang keras, By."
"Gue nggak mood," tolak Ruby. Dia menendang-nendang kerikil yang ada di bawah kakinya.
"UAS nggak ada remed ya, Ruby." Rimba seolah mengingatkannya kalau nilai kali ini gagal, maka kemungkinan besar nilai rapornya pun akan terpengaruh. "Gue yang baca duluan, ya. Ntar gantian."
Cowok itu kemudian membacakan materi yang sudah diajarkan Bu Hartini di kelas. Suaranya pelan, tegas, dan sesekali menekan pada kata-kata penting. "Tulang memiliki struktur dan bentuk yang bermacam-macam. Di dalam tulang keras terdapat suatu sistem yang disebut sistem Havers. Di dalam sistem Havers terdapat pembuluh darah yang berfungsi mengalirkan nutrisi untuk tulang. Tulang juga merupakan tempat pembentukan sel-sel darah."
"Di dalam sistem Havers ada apa?" tanya Rimba ke Ruby dengan tujuan mengetes.
Ruby menggeleng.
"Di dalam sistem Havers terdapat pembuluh darah yang berfungsi mengalirkan nutrisi untuk tulang. Tulang juga merupakan tempat pembentukan sel-sel darah," ulang Rimba dengan sabar. "Darah adalah salah satu komponen sirkulasi peredaran darah. Fungsi darah ada enam."
Rimba menekankan kata enam. Tanpa Rimba ketahui, yang terbayang oleh Ruby adalah darah Gamal yang terpercik akibat letusan tembakan.
"Ulangi kata-kata gue, ya. Satu, mengedarkan nutrisi dari sistem pencernaan makanan ke seluruh tubuh."
"M-menge-darkan n-nutri-si dari ..." Ruby mencengkram pinggiran kursi. "S-sistem penc-ernaan maka-nan k-ke se-lu-ruh t-tubuh."
Rimba seperti berusaha menulikan telinganya demi kebaikan Ruby sendiri. Cowok itu terus membaca materi dan Ruby mengulangi dengan terbata-bata.
"Organ peredaran darah ada dua; jantung dan pembuluh darah," papar Rimba. "Jantung tersusun atas tiga lapisan jaringan, yaitu epikardium atau lapisan terluar jantung, miokardium atau otot jantung, dan endokardium atau lapisan pembatas ruang jantung." Rimba mencuri lihat sekilas, lalu menunggu Ruby mengulangi bacaannya.
Sekelebat bayangan penembakan datang dengan lengkap di depan mata Ruby. Bagaimana bunyi letusan bersarang, suara badan Gamal luruh ke bumi, dan berkubang darah.
"By..." tegur Rimba berusaha mengembalikan konsentrasi Ruby. "Fokus."
"Jan-tung ter-su-sun da-ri ..." Ah, jantung! Organ milik Gamal itu saat ini sedang dioperasi. Ruby menunduk dalam, tangannya mengepal sampai kuku-kuku melukai telapaknya sendiri. Berulang kali ia mengeyahkan keresahannya, rasa khawatir tetap selalu menang.
Ia membuang napas kasar ke udara. Siang yang teduh tidak juga membuat hatinya menjadi damai. Ruby mengembalikan buku ke Rimba. "Maaf, Rim."
Kakinya berbalik menuju pintu geser berwarna putih yang masih tertutup, duduk di kursi terdekat yang ada dan menanti datangnya berita baik yang disebut keajaiban.