Hari-hariku tak jauh berbeda dari sebelumnya. Semua terasa sama. Tapi entah kenapa, sepulang dari hiking minggu lalu, aku merasa sedikit lebih baik. Bertemu teman baru dan menjalani berbagai kegiatan membuatku sejenak lupa pada luka di rumah.
Hari ini ayah pulang dari kampung setelah menikah dengan istri barunya, Annisa.
Aku menyambut mereka dengan senyum dan sikap ramah. Entah senyum itu tulus atau sekadar topeng untuk menutupi luka, aku sendiri tidak yakin.
Adikku, Salsa, yang pertama kudatangi. Kucium pipinya, kupeluk erat. Seminggu tak bertemu membuatku rindu setengah mati.
“Akhirnya pulang juga,” bisikku sambil mengusap rambutnya yang mulai kusut. Salsa memelukku erat, pipinya menempel di bahuku, seolah tak ingin dilepaskan.
“Kak Hafa… aku kangen banget,” ucapnya dengan suara serak. Matanya mulai basah, tapi raut wajahnya tampak lega.
Aku tersenyum sambil menahan air mata. “Kakak juga kangen banget.”
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di ambang pintu. Ayah datang. Aku kira aku sudah siap, ternyata tidak. Dadaku sesak saat mataku menatap sosok yang berdiri di sampingnya.
Annisa.
Perempuan itu tampil anggun dalam balutan gamis krem dan kerudung biru laut. Wajahnya bersih, tatapannya lembut. Ia tersenyum—bukan senyum yang dipaksakan, tapi entah mengapa aku ingin menjauh.
“Nak, kenalkan, ini Annisa. Ibu barumu,” kata ayah sambil menepuk pundakku pelan.
Aku mengangguk dan tersenyum sopan. “Selamat datang, Bu.”
“Terima kasih, Hafa,” jawabnya sambil sedikit menunduk, matanya menatapku dalam. “Semoga kita bisa akrab, ya.”
“Aamiin,” jawabku datar. Aku menoleh ke ruang tamu. “Silakan masuk.”
Aku tak menyiapkan apa pun, hanya dua gelas teh. Masakan? Jangan tanya. Masak telur saja kadang gosong.
Annisa duduk di ujung sofa, tampak sedikit canggung meski berusaha terlihat nyaman. Ayah duduk di tempat biasanya, memangku Salsa dan menepuk-nepuk punggungnya.
Aku berdiri, menyandar di dinding, mengamati mereka dari kejauhan.
“Hafa,” panggil Annisa pelan. “Boleh Ibu ngobrol sebentar?”
Aku menatapnya sejenak. Nafasku tertahan. Tapi akhirnya aku mengangguk. “Boleh.”
Kami duduk di meja makan. Ia menatap sekeliling rumah, lalu kembali memandangku.
“Aku tahu ini tidak mudah untukmu,” ucapnya pelan. “Tiba-tiba ada orang asing datang dan menyebut dirinya sebagai ibumu.”
Aku diam, menggigit bibir bawah. Dada mulai hangat.
“Tapi aku sungguh ingin mengenalmu. Bukan untuk menggantikan posisi ibumu yang dulu, tapi untuk menjadi seseorang yang bisa kamu andalkan. Terutama untuk Salsa. Aku ingin dia tetap punya sosok perempuan yang bisa memeluk dan membimbingnya.”
Wajahnya menegang, matanya berkaca-kaca.
“Kamu kuat, Hafa. Tapi kamu juga butuh tempat bersandar, bukan?”
Aku menunduk. Pandanganku kabur. Tanganku gemetar. Suaranya terlalu tulus. Tak seperti Tante Rani yang penuh topeng.
“Aku nggak tahu harus bilang apa…” bisikku. “Aku belum bisa percaya siapa pun, Bu…”
Annisa memandangku, lembut dan hangat.
“Enggak apa-apa, Hafa. Aku nggak akan memaksa. Tapi aku di sini… kalau kamu butuh.”
Aku mengangguk kecil. Tak sepenuhnya paham apa yang kurasakan. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak ingin lari. Tidak ingin marah. Aku hanya ingin... mencoba percaya.
Setidaknya untuk Salsa.
---
Setelah obrolan itu, aku meninggalkan meja makan perlahan. Bukan karena tak menghargai niat baik Annisa, tapi pikiranku terlalu penuh. Aku butuh ruang.
Di balik dinding, kutatap wajahku di cermin ruang tengah. Mataku sembap. Senyum tadi? Palsu. Tapi rasanya, kepura-puraan itu bukan sekadar topeng—melainkan bentuk usaha. Usaha untuk bertahan.
Salsa menghampiri sambil membawa bonekanya. Ia menatapku dengan mata bulat yang selalu bisa meruntuhkan pertahananku.
“Kak, Ibu Annisa baik, lho. Tadi di mobil, dia ngajarin adek doa sebelum tidur,” katanya sambil bersandar di lenganku.
Aku menatapnya. Senyumnya begitu tulus, bertolak belakang dengan luka di hatiku.
“Iya, Adek. Kakak juga lihat, dia sayang sama kamu.”
“Kalau Kakak nggak suka Ibu Annisa, bilang aja ke Salsa. Tapi… jangan marahin Ibu ya, Kak. Soalnya Salsa senang, ada yang peluk Salsa lagi.”
Hatiku remuk. Kenapa anak sekecil ini harus mengalami kehilangan? Kenapa rumah ini harus diisi luka sebelum cinta?
Aku memeluk Salsa erat. Aroma tubuh kecilnya membawa kenangan tentang Ibu. Pelukannya seperti tambalan kecil untuk hatiku yang rapuh.
“Makasih udah kuat, Adek. Makasih udah tetap jadi adik Kakak yang paling hebat,” ucapku sambil mengecup keningnya.
---
Malamnya, semua sudah tertidur. Tapi aku belum bisa memejamkan mata. Entah karena percakapan tadi, atau karena kenangan yang datang tanpa diundang. Aku berjalan perlahan ke dapur, sekadar ingin mengambil udara.
Lampu ruang tengah menyala remang. Saat ingin kembali, kulihat Ayah duduk sendirian. Di pangkuannya, sebuah album foto terbuka.
Aku ragu. Tapi kakiku terus melangkah.
“Ayah belum tidur?” tanyaku pelan.
Ayah menoleh. Wajahnya lelah, tapi senyumnya hangat.
“Belum. Ayah kangen sama Ibumu,” jawabnya jujur.
Aku duduk di sebelahnya, ikut menatap album foto. Foto-foto Ibu. Kenangan lama yang membuat dadaku hangat dan nyeri bersamaan.
“Kamu mirip sekali sama dia, Fa. Dari tatapan mata sampai cara kamu diam. Kamu tahu itu?”
Aku menggeleng. “Aku takut, Yah.”
Ayah mengerutkan kening. “Takut apa?”
“Takut Ibu hilang sepenuhnya dari rumah ini. Takut Annisa menggantikannya. Takut... aku lupa rasanya dipeluk Ibu.”
Ayah menutup album. Menatapku.
“Hafa... kehadiran Annisa bukan untuk menggantikan. Ibumu tetap satu. Selamanya. Di hati Ayah, dan di hatimu.”
Air mataku jatuh. Ayah memelukku. Hangat. Pelukan yang sudah lama hilang sejak Ibu pergi.
“Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Ayah nggak akan maksa. Tapi jangan tutup hatimu. Di rumah ini, kita perlu saling merangkul, bukan saling menjauh.”
Aku mengangguk dalam pelukannya. Bukan karena ingin terlihat kuat, tapi karena aku mulai percaya—bahwa rumah ini masih bisa jadi rumah.
---
Pagi harinya, aku terbangun karena suara panci dari dapur. Aku bangkit, berjalan pelan.
Annisa sedang memasak.
Dia membalik telur dadar dengan cekatan. Wajahnya tenang. Saat melihatku, ia tersenyum.
“Hafa, kamu bangun. Mau bantu Ibu?”
Aku mengangguk. Mungkin ini awal yang baru. Pelan, tapi aku siap membuka pintu. Sedikit saja.
“Boleh… tapi aku nggak jamin telurnya nggak gosong.”
Annisa tertawa kecil. “Kalau gosong, kita makan bareng. Namanya juga belajar.”
Aku tersenyum. Untuk pertama kalinya, tanpa dipaksa.
---
Ujian semester sudah mulai dekat, semua siswa dan siswi tampak sibuk belajar, menyalin catatan, dan berpikir di setiap sudut sekolah. Apalagi yang biasanya malas pun terlihat membuka buku. Begitu pula aku. Semangatku meluap-luap sejak awal bulan ini. Mendapatkan nilai terbaik bukan hanya mimpi biasa—itu semacam pembuktian bahwa saya mampu, meski hidup tidak selalu berpihak.
Apalagi sainganku saat ini adalah Vicky. Ya, Vicky. Anak yang terkenal dengan IQ di atas rata-rata. Konon katanya, sebelum masuk ke sekolah ini, dia lulusan SMP favorit yang isinya para juara olimpiade. Anak-anak sepertinya sering dianggap 'manusia setengah dewa' di bidang akademik. Dan aku? Hanya gadis biasa dari geng kecil, dengan semangat yang terus kugenggam erat, bahkan ketika dunia seolah ingin menjatuhkanku.
Pagi ini, seperti biasa, udara penuh polusi menyambut langkah kakiku. Aku berjalan kaki sekitar satu kilometer dari tempat angkutan terakhir menurunkanku. Setengah jam naik angkot, setengah jam lagi berjalan kaki—ritual pagi yang tak berubah.
Ayahku sibuk. Kami tak lagi satu arah sejak ayah tidak lagi mengatarkan salsa ke rumah tante Rani. Dan aku? Aku sudah terbiasa mandiri.
Dering ponselku menyentak lamunan. Devan. Aku sempat ragu. Tapi entah kenapa, aku justru langsung mengangkatnya.
"Halo?" suaraku pelan, sedikit serak karena udara pagi yang dingin.
“Hai… Hafa, apa kabar?” Suara yang di dengar terdengar lembut.
“Iya, baik. Lo gimana, Van?
"Baik. Alhamdulillah."
Aku tersenyum kecil, lalu langkahku melambat tanpa sadar. “Lo nelpon pagi-pagi gini, ada apa?”
“Cuma mau bilang semangat belajar aja sih. Minggu depan ujian kan?”
Percakapannya mengalir begitu saja. Entah bagaimana, Devan mampu membuatku nyaman. Tak banyak tanya, tapi selalu mendengarkan. Perjalanan menuju sekolah pun tak terasa melelahkan. Rasanya seperti ditemani, meski hanya lewat suara.
Dua hari lalu, kami bertemu dalam kegiatan tanam seribu pohon bersama walikota. Sebuah acara lingkungan yang mempertemukan siswa-siswa dari berbagai sekolah. Aku dan Devan tergabung dalam tim yang sama. Saat menanam bibit di tanah yang becek dan lengket, kami tak banyak bicara. Tapi saat istirahat tiba, kami duduk di bawah pohon rindang, berbagi obrolan ringan—tentang sekolah, hobi, makanan, bahkan cuaca. Aku tersenyum beberapa kali, bukan karena kagum, tapi karena suasana itu terasa... ramah.
Di akhir kegiatan, kami bertukar nomor. Sederhana saja, seperti teman baru yang merasa nyaman berbagi kontak untuk keperluan lain suatu hari nanti. Tidak ada janji, tidak ada isyarat. Hanya sapaan biasa yang kadang muncul di layar ponselku—menanyakan kabar, mengirim meme, atau berbagi foto pohon yang kami tanam.
Aku membalas seperlunya, tak pernah lebih. Karena sejak awal, aku tahu: perasaanku tidak tumbuh ke arah itu. Devan adalah teman yang menyenangkan, tapi hatiku tidak pernah bergerak melampaui batas itu. Tidak ada degup jantung yang tak biasa, tidak ada rasa ingin tahu yang membuncah. Hanya rasa hormat dan terima kasih karena ia telah menjadi bagian dari hariku yang sederhana.
Begitu sampai di gerbang sekolah, Sarah sudah berdiri sambil melambai-lambaikan tangan.
"Hafa! Sini cepet!" teriaknya dengan suara yang ceria. Wajahnya bersinar karena semangat pagi.
Aku mengangguk sambil mengakhiri telepon. "Dev, Gue udah sampai. Makasih ya udah nemenin jalan. Nggak kerasa banget juga ternyata udah sampai aja."
"Sama-sama. Hati-hati ya. Nanti kita ngobrol lagi."
Klik.
“Ayo masuk!” Sarah telah tiba, lalu tiba-tiba memelukku erat.
Gue membalas pelukannya. “Makasih, Sar. Lo udah baik sama gue.”
"Mulai besok kita bareng ya. Biar lo nggak kecapean jalan kaki terus. Gue udah ngomong ke Papa, katanya boleh jemput lo tiap pagi."
Aku menatap haru. “Lo baik banget… Gue jadi terharu.”
Belum sempat Sarah menjawab, dari arah taman, dua sosok mendekat. Leo dan Vicky. Mereka berdua membawa kantong plastik masing-masing. Leo tampak santai dengan raut riang, tapi Vicky seperti biasa—tenang, penuh perhitungan.
“Pagi, cewek-cewek semangat belajar,” sapa Leo sambil mengangkat kantongnya. “Kita bawain es coklat favorit kalian.Buat semangat ujian.”
Vicky menyerahkan satu gelas padaku. Ia melihatnya sebentar, lalu tersenyum—senyum yang selalu membuat aku merasa bersalah, dan akhir-akhir ini sungguh membuat sesak.
"Lo pasti butuh ini. Tadi gue iseng tebak rasa yang lo suka. Almond, kan?" katanya lirih.
Aku menatap gelas di tangannya. Es coklat dengan taburan chocochip. Aku mengangguk pelan.
“Iya.” ucapku ragu, lalu menerima gelas itu dengan tangan gemetar.
“Makasih… tapi lain kali nggak usah repot, Vik.”
Vicky sedikit terkejut. Senyumnya menurun, raut wajahnya berubah menjadi agak kaku. Tapi ia cepat menutupinya dengan tawa kecil.
“Ah, nggak repot, kok. Gue… cuman mau nyenangin kamu.”
Aku menunduk. Rasa bersalah tiba-tiba menyergapku. Entah kenapa, setiap kebaikan dari Vicky kini terasa menekan. Aku tahu dia menyukaiku. Tapi suasananya sedang kacau. Aku tidak bisa membuka hati untuknya. Bukan karena dia tidak pantas atau aku yang tidak pantas tapi soal perasaan yang tidak bisa dipaksakan.
“Ayo masuk yuk, nanti keburu bel,” ajak Sarah, memecah keheningan.
Kami berjalan bersama menuju kelas. Vicky dan Leo berjalan agak di belakang. Suasana jadi canggung.
Aku berusah tetap tenang dan berharap saja. Itu mungkin yang terbaik.
---
Sepanjang pelajaran, pikiranku tak sepenuhnya fokus. Mataku memandangi papan tulis, tapi isi kepala berkelana ke tempat yang jauh. Tempat di mana seseorang pernah membuat dadaku bergetar tanpa tahu namanya. Hanya sekali, tapi cukup untuk tertanam kuat.
“Fokus, Haf,” gumamku, sambil mencoret-coret ujung buku catatan.
Di sebelahku, Sarah menepuk pelan bahuku. "Haf, lo kenapa sih hari ini? Dari tadi ngelamun terus."
Aku tersenyum kecut. “Nggak apa-apa, cuma lagi mikir soal soal-soal ujian.”
Sarah menaikkan satu alisnya, curiga. "Yakin? Apa jangan-jangan mikirin Devan? Atau Vicky?"
Aku menggeleng cepat. "Mereka baik, Sar. Tapi... mereka cuma teman. Aku menghargai kebaikan mereka. Tapi itu bukan cinta."
Sarah membulatkan bibirnya. “Oalah...pantesan Vicky keliatan murung pas banget lo tolak minuman tadi.”
"Bukan aku nggak mau nerima, Sar. Aku cuma takut ngasih harapan. Aku nggak mau nyakitin siapa-siapa."
“Lo beneran beda, Haf. Tapi serius, lo tuh nggak naksir siapa pun?”
Aku membayangkannya. Wajah seseorang yang kutemui beberapa bulan lalu di sekitar perumahan tempatku tinggal, muncul di benakku. Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya menyapaku, saling tukar pandangan, lalu dia pergi—tanpa nama, tanpa nomor, hanya senyum yang sampai sekarang masih terpatri jelas dalam ingatanku.
“Ada…” bisikku pelan. "Tapi bukan di sini. Aku bahkan tidak yakin dia nyata... atau hanya sekilas mampir dalam hidup."
Sarah mengerutkan dahi. “Lo suka sama siapa?”
Aku menghela napas. "Entahlah. Sekarang belum saatnya. Aku hanya dua kali bertemu dia dan kami tidak kenal sama sekali"
---
Waktu istirahat, Vicky duduk di bawah pohon rindang belakang sekolah. Tangannya menggenggam botol mineral yang belum dibuka, matanya menatap kosong ke depan.
Aku mendekatinya perlahan. “Vik, lo nggak makan?”
Dia menoleh. Senyumnya samar, tapi ada luka yang tak bisa diutarakan di matanya. “Nggak lapar, Fa”
Aku duduk di tempatnya, menjaga jarak.
“Vik…” kataku pelan. "Lo baik banget. Gue bersyukur bisa kenal lo. Tapi... gue cuman bisa nganggep lo temen."
Ia menunduk. Jemarinya meremas botol plastik itu. "Gue tau, Haf. Tapi kadang hati suka bandel ya. Tau-tau berharap."
Aku tersenyum kecil. "Gue nggak mau ngecewain lo. Gue cuma mau lo tetap jadi Vicky yang gue kenal. Yang cerdas, yang suka bantuin gue belajar, dan teman yang selalu baik sama gue."
Dia menoleh. Kali ini matanya berkaca-kaca. Tapi dia tersenyum.
"Gue bisa jadi itu semua. Asal lo jangan pergi."
Aku mengangguk. "Gue gak akan ke mana-mana, Vik. Dan gue berharap lo bisa buka hati buat wanita lain. Jangan menutup mata buat melihat perhatian yang lain ke lo."
Ia samar tersenyum “Gue usahain.”
"Kita beda keyakinan, Vik. Jadi gue berharap jangan berlebihan bawa perasaan yaa."
Dia hanya tersenyum samar. Tidak terlalu menanggapi ucapanku.
---
Cinta berlabuh begitu saja. Mungkin inilah yang disebut cinta pada pandangan pertama. Aku merasakannya pada seorang lelaki sederhana, marbot masjid dekat rumahku. Suaranya saat melantunkan ayat suci terdengar merdu dan menenangkan hati.
Sejak hari itu, rasa penasaran tumbuh diam-diam. Tapi aku tak pernah melihatnya lagi. Masjid itu masih berdiri, azan masih berkumandang, hanya suaranya yang tak lagi terdengar.
Mungkin aku rindu. Dan mungkin karena itulah aku belum bisa membuka hati untuk siapa pun. Sebab cintaku jatuh pada seseorang yang bahkan tak kukenal namanya.
Terkadang kita tak pernah tahu akan jatuh cinta pada siapa, atau di mana cinta itu berlabuh. Bukan karena terbiasa, tapi karena ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika.
Aku masih menyimpan harap. Semoga suatu hari bisa bertemu dengannya sekali lagi. Cukup untuk berbincang, dan saling mengenal, meski hanya sebentar.