Loading...
Logo TinLit
Read Story - No Longer the Same
MENU
About Us  

Kehidupanku perlahan mulai menemukan nadanya kembali. Ada yang berbeda sekarang. Ada kehangatan yang tumbuh pelan-pelan di antara ruang-ruang yang dulu terasa dingin dan asing.

Ibu Annisa. Begitulah aku biasa memanggilnya. Dia datang sebagai sosok yang memecahkan semua bayangan kelam tentang ibu tiri. Ia bukan wanita keras, bukan pula sosok yang melihatku dengan curiga atau penuh jarak. Justru sebaliknya. Ia lembut, penuh perhatian, dan selalu tahu bagaimana caranya membuat aku merasa disayangi. 

Setiap pagi, ia membangunkanku dengan ketukan ringan di pintu kamar dan suara yang lembut, seolah takut mengusik mimpi. Di dapur, tangan lincah menyiapkan sarapan dan bekal, memastikan bajuku sudah disetrika, bahkan menyelipkan pesan kecil di kotak makan siang. Sebuah hal kecil yang entah kenapa membuat dadaku hangat.

Ia juga sangat menyayangi Salsa. Adikku yang dulu sering murung dan pendiam, kini mulai kembali menjadi anak kecil yang ceria. Tawa Salsa kini lebih sering terdengar, seringkali memeluk Ibu Annisa sambil bercerita panjang lebar tentang teman, dan mimpi-mimpinya yang polos. Kebahagiaan di wajah mungil Salsa adalah bukti paling nyata bahwa rumah ini mulai sembuh. Dan itu, sungguh cukup untuk membuatku bersyukur.

Ayah pun berubah. Ia lebih sering di rumah, mencoba hadir untuk Salsa. Tapi entah kenapa, tidak untukku. Aku tetap menjadi sosok yang tak banyak ia tanyakan. Tak pernah ia antar ke sekolah. Tak pernah ia peluk saat aku tampak lelah.

Jika kutanya, penjelasannya tak pernah berbeda:
"Kita tidak satu arah, Ayah banyak kerjaan, Haf."
Aku tahu, itu hanya alasan.

Tapi aku tidak lagi marah. Aku sedang belajar menerima. Mungkin memang begitu cara hidup membentukku. Sejak Ibu kandungku pergi, dunia seperti punya cara sendiri untuk mengujiku—bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menguatkan.

Daripada tenggelam dalam kecewa, aku memilih untuk larut dalam duniaku sendiri. Dunia yang sunyi tapi penuh makna. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, menulis. Merangkai kata-kata menjadi puisi, menciptakan kisah yang kuharap bisa menjadi pelipur lara bagi orang lain, sebagaimana tulisan orang lain dulu pernah menghiburku.

Beberapa hari yang lalu, aku memenangkan lomba puisi nasional. Hingga saat ini, aku masih belum percaya sepenuhnya. Sebuah email datang membawa kabar itu bersertifikat dan sejumlah uang tunai. Uangnya kutabung. Bukan untuk sesuatu yang spesifik. Hanya untuk berjaga-jaga. Tapi yang paling berarti bukan itu. Melainkan perasaan bangga yang datang diam-diam, menyusup ke relung hati yang selama ini sunyi.

Sore itu, saat aku sedang duduk di ruang tamu sambil mengedit naskah novel yang tengah kususun, Ibu Annisa menghampiri. Di tangannya ada sepiring kecil kue bolu dan dua gelas teh hangat. Ia tersenyum, tulus, dan duduk di sampingku. Tubuhnya sedikit mencondong, mencoba mengintip layarku dengan rasa penasaran yang hangat.

“Kamu lagi nulis ya, Hafa?” suaranya lembut, seperti biasa.

Aku mengangguk kecil. “Iya, Bu. Lagi coba selesaikan naskah novel. Targetnya bulan depan sudah rampung.”

Matanya membesar pelan, kagum. Ada binar yang sulit kugambarkan, seperti seseorang yang baru saja melihat lukisan favoritnya.

“Boleh Ibu baca nanti kalau sudah jadi?”

Aku ragu. “Boleh... kalau Ibu nggak bosan baca tulisan anak remaja kayak aku.”

Ia tertawa kecil. Bukan mengejek, tapi penuh kekaguman.

“Ibu justru bangga banget. Kamu anak yang kuat, Hafa. Dan penuh semangat. Ibu senang bisa ada di samping kamu sekarang.”

Aku membayangkannya. Kalimat itu... entah mengapa menusuk dengan lembut. Sebuah kehangatan yang sudah lama tak kurasakan. Sejak Ibuku pergi, tak ada lagi yang mengucapkan kalimat seperti itu padaku.

“Ibu serius?” tanyaku pelan, hampir seperti bisikan. Tanganku sedikit gemetar saat memegang laptop.

Dia melihat ke dalam. Jangan terburu-buru. Lalu tiba tiba tiba.

"Sangat serius. Kamu bukan hanya anak dari suami Ibu. Kamu juga anak yang Ibu sayangi, Hafa."

Aku menunduk. Ada sesuatu yang panas di mataku. Aku tahu, aku tak akan sanggup menahan air mata lebih lama.

"Ibu baik banget... Aku awalnya takut. Takut semua ini hanya sementara. Tapi sekarang aku tahu, Ibu tulus..."

Ibu Annisa tersenyum. Wajahnya teduh. Ia mengelus punggung diterima dengan gerakan yang menenangkan.

"Terima kasih sudah mau menerima Ibu. Ibu tahu, Ibu nggak bisa menggantikan Ibu kandung posisi kamu. Tapi Ibu ingin menjadi seseorang yang bisa kamu andalkan, meskipun perlahan."

Tangisku pecah. Aku tak kuasa lagi menahan.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku memeluk seseorang dengan sepenuh hati. Erat. Hangat. Dan tidak ingin lepas. Pelukan itu... seperti rumah yang akhirnya kutemukan kembali.

---

Aku semakin bersemangat menjalani hari. Ada cahaya kecil yang menyala di dalam hatiku, seperti mentari yang menyibak kabut pagi secara perlahan. Bangun pagi kini bukan lagi beban. Justru menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. Saat aku bisa menyambut hari dengan hati ringan.

Sejak beberapa hari terakhir, aku mulai membantu Ibu Annisa di dapur. Rutinitas yang awalnya hanya basa-basi, kini berubah menjadi momen yang menenangkan. Momen di mana aku bisa merasakan kembali kehangatan keluarga yang sempat lama menghilang dari hidupku.

Pagi ini pun begitu. Aku bangkit dari tempat tidur bahkan sebelum alarm berbunyi. Mengenakan hoodie tipis dan mengikat rambutku seadanya, aku segera turun ke dapur. Aroma tumisan bawang menyambutku, mengalirkan rasa nyaman seperti pelukan dari masa kecil.

Ibu Annisa sedang berdiri membelakangi pintu sambil mengaduk sayur di atas wajan. Suara kecil dari sendok kayu berasdu dengan panci terdengar familier di telingaku.

Aku tersenyum kecil dan mendekatinya. “Bu, aku bantu ya.”

Ia menoleh pelan, sedikit terkejut namun segera tersenyum hangat. Wajahnya lembut, dan ada rasa lelah di sana, tapi sorot matanya tetap tenang.

“Wah, Hafa bangun pagi-pagi amat. Ibu seneng, sini bantu iris timun ya,” ujarnya sambil menyodorkan talenan dan pisau kecil ke arahku.

Aku mengangguk dan mengambil alih tugas itu. “Hari ini aku pengen bawa bekal yang rapi. Siapa tahu bisa aku foto buat di-posting. Hehe.”

Ibu Annisa tertawa pelan, menggulung lengan bajunya hingga siku. "Hafa sekarang makin rajin. Ibu bangga. Terus semangat ya, Nak."

Kata-katanya sederhana, tapi hati ini rasanya seperti dicecap embun pagi. sejuk dan tenteram.

Kami bekerja dalam diam yang nyaman. Suara jam dinding berdetak perlahan, diselingi derit kecil dari sendok yang mengaduk sup. Sesekali, Ibu Annisa melirikku sambil tersenyum, lalu kembali sibuk dengan urusannya. Aku pun merasa damai.

Setelah selesai menyiapkan bekal, saya menyusun dua kotak makan di atas meja. Satu untukku, satu lagi untuk Salsa.

Tepat pada saat itu, suara langkah berat menuruni tangga terdengar. Ayah.

Aku menoleh, berharap pagi ini ia mau duduk sebentar, mungkin sarapan bersaa seperti dulu.

Namun, harapanku pupus saat melihatnya mengambil jaket di gantungan dan langsung menuju pintu.

“Yah… sarapan dulu ya?” tanyaku, mencoba menahan nada kecewa dalam suaraku.

Ayah berhenti sejenak. Ia menoleh, wajahnya datar. "Maaf Haf. Ayah ada harus memeriksa barang pagi ini. Kamu jaga diri ya."

Hanya itu. Lalu ia melangkah pergi, menutup pintu tanpa sempat memenuhi masakan kami. Tanpa satupun pandangan mata yang benar-benar pemandangan.

Aku menarik nafas pelan, menunduk, berusaha mengumpulkan serpihan harapan yang tadi sempat kupeluk.

Melihatku menyukainya, Ibu Annisa meletakkan sendok, lalu mendekat. Ia mengusap punggungku dengan lembut.

“Jangan dipikirin ya, Sayang. Ayahmu memang seperti itu... bukan berarti dia nggak sayang, hanya saja... kadang orang dewasa lupa cara menunjukkan cinta,” ucapnya lirih.

Aku mengangguk pelan, bibirku membentuk senyuman tipis yang nyaris tak terlihat.

“Aku nggak apa-apa, Bu. Aku cuma… rindu aja sama Ayah yang dulu.”

Ibu Annisa mengusap pipiku, lalu memelukku perlahan dari samping. Kehangatan tubuhnya yang menular, membuat jantungnya sedikit lebih kuat.

“Kalau kamu rindu, kamu boleh cerita sama Ibu. Kapan pun. Ibu nggak akan menggantikan posisi Ibu kandungmu. Tapi Ibu selalu siap jadi pelukan tempat kamu pulang.”

Aku terisak kecil. Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya luruh. Aku menyandarkan kepala di bahunya.

“Ibu... makasih ya. Kalau bukan karena Ibu, aku nggak tahu bisa bertanya-tanya ini atau nggak.”

Ibu Annisa mengecup ubun-ubunku pelan. "Kamu anak yang hebat, Hafa. Ibu cuma bantu sedikit. Tapi kekuatanmu... itu dari kamu sendiri."

Kami bersandar dalam pelukan yang lama. Waktu terasa berhenti, memberi ruang bagi luka untuk perlahan sembuh. Di tengah kehilangan, ternyata aku masih bisa merasakan cinta. Bukan cinta yang sempurna. Tapi cinta yang hadir dengan tulus, meski terlambat.

Dan itu... lebih dari cukup.

---

Setelah membantu Ibu Annisa di dapur, aku segera bersiap ke perpustakaan kota. Hari Minggu tak ada kegiatan sekolah, dan entah kenapa, hatiku terdorong untuk menghabiskan waktu di antara deretan buku. Tempat paling sunyi, tapi terasa paling penuh.

Langit mendung menggantung rendah, seolah menahan hujan di ujung jemari awan. Jaket krem kuselimutkan erat ke tubuhku, dan tas kecil kubawa berisi catatan puisi serta naskah novel yang belum rampung. Setibanya di perpustakaan, aroma khas kertas dan kayu menyambut seperti pelukan hangat masa lalu.

Perpustakaan kota selalu punya daya tarik sendiri. Barisan rak menjulang tinggi, aroma buku-buku tua, dan ketenangan yang menjadikan setiap lorongnya tempat favoritku sejak dulu. Tempat yang tak pernah menuntut apa-apa, hanya menyediakan ruang untuk berpikir, mengenang, dan mengobati luka dengan tenang.

Hari itu aku datang lebih awal dari biasanya. Mungkin aku ingin merasa lebih sunyi, fokus, atau mungkin karena ingin menepati janji pada diriku sendiri: menyelesaikan naskah novel sebelum bulan depan.

Aku memilih sudut ruangan yang agak tersembunyi, dekat jendela tinggi tempat cahaya sakit masuk perlahan. Di meja kecil berwarna coklat tua itu, aku meletakkan laptop, buku catatan, dan satu cangkir kopi sachet dari mesin vending. Di luar, langit mulai berganti warna dari biru cerah ke jingga lembut.

Baru beberapa paragraf kutulis, suara langkah pelan terdengar mendekat. Awalnya kuabaikan, sampai sebuah suara lembut menyapa dari arah kanan. “Mau duduk di sini?”

Aku menoleh. Dan mataku langsung mengenalinya—laki-laki yang pernah kulihat di lorong rak puisi. Laki-laki yang diam-diam kurindukan. Suaranya pernah kudengar menggema dalam adzan di masjid itu. Dialah lelaki yang selama ini kusebut dalam doaku. Wajah tenang, mata bulat teduh, dan senyum yang tak dibuat-buat. Arya.

Jantungku berdetak tak karuan, tapi aku berusaha tenang. “Tentu... masih banyak ruang,” jawabku sambil sedikit menyingkirkan buku-buku ke samping.

Ia duduk perlahan, membuka ransel, lalu mengeluarkan beberapa buku tebal. Beberapa detik kami diam. Hanya suara detik jam dan lembar buku yang dibalik yang terdengar. Lalu ia bersuara lagi, tetap lembut namun lebih santai, “Kamu sering di sini, ya?”

Aku menoleh sedikit, mengangguk. “Iya... tempat ini tenang. Pas banget buat mikir atau nulis.”

Ia tersenyum, lalu menunjuk laptopku. “Apa yang masih belum kamu ketahui? Tesis?”

Aku sedikit kaget. “Aku belum kuliah. Masih SMA.”

Ekspresinya terkejut. “Serius? Kukira kamu mahasiswi.”

Aku tertawa kecil. “Kakak sendiri? Jurusan apa?”

Ia mengangguk pelan, tangannya menutup buku. “FKIP, Pendidikan Agama Islam. Semester empat.”

Aku mencatat diam-diam dalam hati. Semakin kutahu, semakin kurasa... dia bukan orang biasa. “Pantes... kakak keliatan kalem.”

Ia tertawa pelan. “Kalem belum tentu baik, lho.”

“Tapi keliatannya baik-baik saja.”

Ia terdiam sesaat, lalu menunduk. “Aku hanya berusaha untuk tidak menyakiti orang. Itu aja.”

Kalimat itu, entah kenapa, menampar lembut bagian hatiku yang paling rapuh. Aku tak tahu harus menjawab apa. Maka aku hanya menunduk, menatap keyboard laptop, seolah mencari kata yang tepat.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Tapi bukan diam yang canggung. Melainkan diam yang terasa nyaman. Aman. Seperti kita saling memberi ruang, tapi juga tak ingin pergi.

Lalu dia bersuara lagi. “Hei, namamu siapa?”

“Hafa. Hafanisa. Kakak?”

“Arya.” Ia tersenyum.

“Kalau boleh tahu... kamu suka nulis tentang apa?” lanjutnya. Matanya sungguh-sungguh dalam. Sejujurnya. Tak menyelidik.

“Tentang luka. Dan tentang cara kita bertahan. Tanpa kehilangan diri sendiri.”

Ia mengangguk pelan, seperti mengerti. “Kamu pasti pernah terluka, ya.”

Aku tersenyum tipis. “Semua orang pernah, kan?”

“Iya. Tapi nggak semua orang bisa menyembuhkan diri dengan menulis.”

Aku terdiam. Ia melanjutkan, pelan sekali, “Menulis itu doa yang diam-diam dijawab Allah. Kadang kita tidak sadar, tulisan kita menyelamatkan orang lain.”

Aku menggigit bibir. Hampir saja air mata menggenang. Tapi kutahan. “Terima kasih, Kak Arya.”

Dia tersenyum lagi. “Sama-sama, Hafa.” Ia menatapku lagi. “Waktu itu kamu nulis di rak puisi. Aku sempat membaca. Puisimu... menyentuh.”

Aku hampir lupa kalau pernah meninggalkan secarik puisi di antara buku-buku itu. Tapi Arya... dia ingat.

Hari mulai gelap. Lampu-lampu perpustakaan menyala. Kami masih di sana, masing-masing larut dalam dunia sendiri, tapi diam-diam... dunia kami mulai bertaut.

Aku merasakan dinginnya malam. Namun jiwaku hangat. Aku pernah berdoa agar dipertemukan kembali dengannya, dan doa itu diijabah. Aku tidak meminta dia menjadi orang spesial, aku hanya ingin mengenalnya lebih jauh. Bukan karena waktu, tapi karena seseorang yang hadir dengan tenang. Tanpa banyak tanya. Tanpa paksaan. Hanya duduk di sampingku... dan hadir sepenuh hati.

Kadang, Tuhan menyembuhkan luka bukan dengan menghapus masa lalu, tapi dengan menghadirkan seseorang yang membuat kita percaya bahwa masa depan masih bisa indah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ruang Suara
173      123     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Chapter Dua – Puluh
3662      1508     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Winter Elegy
558      392     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
Perjalanan Tanpa Peta
50      45     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Semesta Berbicara
946      572     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...
Rumah?
49      47     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Rose The Valiant
4240      1429     4     
Mystery
Semua tidak baik-baik saja saat aku menemukan sejarah yang tidak ditulis.
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
174      153     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
One Milligram's Love
977      757     46     
Inspirational
Satu keluarga ribut mendapati Mili Gram ketahuan berpacaran dengan cowok chindo nonmuslim, Layden Giovani. Keluarga Mili menentang keras dan memaksa gadis itu untuk putus segera. Hanya saja, baik Mili maupun Layden bersikukuh mempertahankan hubungan mereka. Keduanya tak peduli dengan pandangan teman, keluarga, bahkan Tuhan masing-masing. Hingga kemudian, satu tragedi menimpa hidup mereka. Layden...
Fusion Taste
131      120     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...