Loading...
Logo TinLit
Read Story - No Longer the Same
MENU
About Us  

Setiap pagi, kabut tipis menggantung rendah di antara pepohonan, memuat jalanan yang biasa kami lewati dalam diam. Aku berdiri mematung di depan pagar rumah Tante Rani, menatap punggung kecil Salsa yang perlahan menghilang, menembus lapisan embun seolah-olah hendak menghilang dunia yang asing dan dingin.

Adikku yang baru tiga tahun itu selalu menoleh sekali—hanya sekali—sebelum masuk ke rumah itu. Dan seperti kebiasaan yang tak pernah bisa kulawan, aku membalas dengan senyum tipis. Senyum palsu yang kusematkan hanya untuk menyembunyikan luka yang terus menganga di dada.

Sudah dua bulan sejak Ayah menitipkan Salsa di rumah itu, dan selama itu pula aku membohongi diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Padahal, tidak ada yang benar-benar baik—terutama jika menyangkut wanita itu: Tante Rani.

Aku tak pernah bisa menerima kehadirannya. Menatap wajahnya saja rasanya seperti menelan serpihan es yang menghunjam kerongkongan. Kata-katanya dingin, tajam seperti belati. Rumah itu tak lagi terasa seperti rumah—hanya dinding sunyi yang memantulkan ketegangan setiap kali aku masuk.

Dan Dikna—anak kecil. Usianya sebaya denganku, tapi kami seperti hidup di dua semesta yang bertolak belakang. Tak ada sapa, tak ada senyum. Menatapnya dingin, menghakimi. Seolah-olah keberadaanku mengganggu tatanan dunianya.

Mungkin dia benar.

Tapi... bagaimana bisa Ayah tak melihat semua itu? Apa yang membuatnya jatuh hati pada seseorang yang bahkan tak bisa menyembunyikan ketidaktulusannya? Kadang aku berpikir, ini bukan cinta. Ini pengungsi. Ketakutan akan sepi. Atau sekedar keinginan untuk merasa dicintai kembali, meski semu.

---

Sore itu, Ayah memanggilku ke ruang tamu. Hanya kami berdua.

"Ayah mau nikah lagi, Fa...sama Tante Rani."

Kalimat itu jatuh seperti batu ke dalam danau yang tenang. Riaknya tak akan pernah benar-benar hilang.

Aku diam. Sudah kuduga, tapi tetap saja sakit saat kenyataan itu menyapa langsung. Aku menunduk. Tak mampu berkata apa pun. Ini bukan diskusi—ini keputusan. Kalaupun aku menolak, Ayah akan tetap berjalan dengan pilihannya.

Jadi aku mengangguk. Pelan. Tapi di dalam, aku menjerit.

---

Sekolah menjadi pengungsi. Ruang napas yang tersisa. Maka aku memutuskan untuk bergabung dengan SISPALA—siswa pecinta alam. Di sana, alam menjadi rumah yang tak menuntut. Hutan dan gunung tak pernah menilai siapa pun. Di sanalah aku bisa bernapas lebih lega.

Oleh karena itu, saya dan Sarah berjalan ke lapangan belakang untuk latihan.

"Lo yakin mau lanjut SISPALA?" tanya Sarah sambil menatap lembut.

"Yakin banget. Gue butuh ruang. Gunung itu... bikin gue inget kalau gue masih hidup. Lagian, lo tahu sendiri, rumah bikin nggak bisa gue tinggali."

Sarah mengangguk. Dia tahu segalanya. Satu-satunya teman yang nggak pernah menghakimi.

Latihan dimulai. Pak Een, pembina kami, menjelaskan teknik survival. Aku menyimak penuh semangat. Rasanya seperti belajar cara bertahan hidup—tak hanya di alam, tapi juga di dunia nyata.

Setelah latihan, aku sedang mengikat tali sepatu ketika Vicky datang membawa kantong plastik kecil.

"Fa," panggilnya. "Ini buat lo."

Aku menoleh. "Apa itu?"

"Cokelat sama novel. Yang waktu itu lo pengen baca."

Aku memandang plastik itu, lalu Vicky. Ada ketulusan di matanya. Tapi juga... sesuatu yang membuat takut.

“Kok lo baik banget ke gue?”

Vicky tersenyum. Senyum yang menyimpan luka.

"Karena gue suka lo, Fa. Dari dulu."

Aku menarik napas panjang.

"Vik, gue nggak bisa bales. Gue takut nyakitin lo."

Ia duduk di sebelahku, letakkan plastik itu perlahan.

"Gue tahu. Tapi... boleh gak gue tetap di sini? Tetap peduli? Nggak semua perasaan harus dibales, kan?"

Aku diam. Menahan air mata. Ketulusan seperti ini justru menyayat lebih dalam.

"Oke, Vik. Tapi janji ya... jangan terlalu berharap."

Aku mengangguk. "Aku janji."

---

Hari-hari berjalan lambat. Rumah semakin sunyi. Ayah mulai jarang datang ke rumah Tante Rani. Salsa lebih sering menginap di rumah Abang. Sementara aku, sering duduk di teras rumah dengan buku terbuka tapi mata kosong. Seperti tubuh yang hadir tapi jiwa mengembara entah ke mana.

Sampai suatu malam, Ayah masuk ke kamarku. Rautnya lelah. Matanya menyiratkan kegamangan.

“Ayah nggak jadi nikah sama Tante Rani,” katanya pelan.

Aku bertanya. "Kenapa?"

"Dikna nggak setuju. Semuanya jadi rumit. Tante Rani juga mulai berubah sikap."

Aku hanya mengangguk. Dalam hati: sudah kuduga.

"Tapi Ayah mau nikah sama orang lain. Namanya Anisa."

Aku membelalak. "Anisa siapa?"

"Dia...dua puluh tahun lebih muda. Mungkin seumuran Abangmu."

"APA?!"

Ayah menunduk. "Yang penting dia sayang Salsa."

Aku tak tahu harus tertawa, marah, atau menangis. Ayah begitu cepat berubah. Dari satu wanita ke wanita lain, seolah Ibu tak pernah ada.

Malam itu aku mengurung diri. Duduk di sudut kamar, memeluk lutut. Kepalaku penuh tanya yang tak pernah terjawab. Sejak Ibu meninggal, hidup kami seperti kapal tanpa nahkoda. Dan aku… kelelahan menjadi pelaut di lautan yang terus bergelombang.

---

Maret datang. Ayah menikah. Aku tidak datang.

Aku memilih ikut hiking bersama SISPALA. Mendaki bukit kecil di pinggiran kota. Di sanalah aku mencari ketenangan.

Di kaki gunung, aku duduk di batu besar. Langit jingga, senja menyapu lembut lanskap kota. Sarah duduk di sampingku.

“Lo gak datang ke nikahan Ayah lo?”

"Gue ikut hiking."

"Sengaja?"

Aku menatap langit. "Iya. Aku nggak sanggup melihat Ayah nikah sama orang yang bahkan belum aku kenal. Aku takut... semua kenangan Ibu akan hilang."

Sarah adalah ayahku.

"Lo kuat, Fa. Lebih kuat dari yang lo pikir."

Aku tersenyum kecil. Tapi air mata tetap jatuh.

"Gue cuma pengen Salsa bahagia, Sar. Punya sosok ibu. Meski bukan Ibu kandung. Gue bakal jagain dia. Sampai kapan pun."

Sarah memelukku. Di tengah heningnya alam, hanya desau angin dan rintik air mata yang menjadi saksi janji itu.

---

Hari kedua pendakian. Langit cerah, matahari malu-malu menampakkan sinarnya dari balik awan. Kami melewati jalur menanjak yang dipagari semak dan pohon pinus. Embun digantung di ujung daun, aroma tanah basah menenangkanku.

Aku berjalan beriringan dengan Sarah, sementara Vicky berada di belakang.

Tiba-tiba, seorang pria berjaket merah dari kelompok lain menyusul. Tinggi, kulit sawo matang, senyumnya ramah.

“Hai, kamu Hafa, kan?” sapanya.

Aku menoleh. “Iya. Kamu?”

"Devan. Dari SMA 7. Aku sempat lihat kamu waktu latihan gabungan minggu lalu. Kamu jago ya soal survival."

Aku tertawa kecil, gelisah. “Nggak juga. Cuma belajar dari pengalaman.”

Devan mulai bertanya tentang buku, cita-cita, alasan ikut SISPALA. Aku merasa nyaman, seolah sedang berbicara dengan teman lama.

Dari belakang, Vicky mempercepat langkah. Wajahnya tegang.

“Fa, ranselnya kelihatannya berat. Mau gue bawain?”

Aku menggeleng. “Nggak kok, Vik.Masih kuat.”

Devan menimpali, “Gue juga bisa membantu kalau mau.Gantian.”

Vicky menoleh tajam. “Lo baru kenal sehari dua hari, udah sok akrab aja.”

Devan sedikit terkejut, tapi tetap tenang. “Gue cuma nyapa. Nggak ada maksud lain.”

Aku menengahi. “Udah, Vik. Dia cuma ramah kok.”

Vicky diam, lalu mendahului kami.

Aku menunduk, merasa bersalah.

“Gue ganggu ya?” tanya Devan pelan.

Aku menggeleng. Nggak.Dia cuma… terlalu peduli.

Kami berjalan dalam diam. Lalu Devan berkata, “Orang yang terlalu lama menyimpan rasa… biasanya takut kehilangan, bahkan sebelum benar-benar punya.”

Aku membayangkannya. Kalimat itu… menohok. Tapi entah kenapa, aku tahu, Devan mengerti lebih dari yang dia ucapkan.

---

Malam hari. Kami berkemah di dataran tinggi. Langit bertabur bintang. Api menghangatkan udara.

Dari seberang api, aku melihat Vicky duduk sendiri. Aku bangkit, mendekatinya.

“Vik.”

Dia menoleh. Senyumnya hambar. “Kok gak ngobrol sama cowok baru lo aja?”

Nada suaranya datar. Tapi matanya—penuh luka.

Aku duduk di tempatnya. “Vik, jangan begitu.Gue gak pernah maksud nyakitin lo.”

Ia menunduk. “Lo tahu, Fa? Rasanya nyakitin banget… ngeliat orang yang lo sayang bicara bertanya itu sama orang lain.”

Aku tak bisa berkata apa-apa.

“Gue tahu lo nggak bisa bales perasaan gue. Tapi kadang... gue cuma pengen jadi satu-satunya yang lo percaya.”

Aku menatap api di bawah. Air mata kembali menetes.

"Maaf, Vik. Aku masih berantakan."

Ia menghela napas. “Gue tahu. Tapi kalau suatu hari... lo lelah sendiri, dan butuh bahu buat bersandar, gue masih di sini.”

Aku memegang tangannya. Hangat. Tanda terima kasih atas segala kebaikannya dan saya berharap Vicky bisa menemukan wanita yang benar-benar tulus mencintainya. Dan itu bukan aku.

Dari kejauhan, Devan memperhatikan kami dalam diam. Ia menunduk, lalu menjauh, menghilang ke balik bayangan pepohonan. Entah apa yang ia rasakan, tapi malam itu, aku tahu satu hal—perasaan tidak pernah bisa dipaksakan, dan cinta yang tulus... akan tetap tinggal, bahkan ketika tak diminta.

Berikut adalah versi yang telah diperbarui, dengan semua kata "pengin" diganti menjadi "pengen":

Hari kedua pendakian.
Langit cerah membentang. Kami menyusuri jalur menanjak yang dipagari pohon pinus. Embun masih menggantung di ujung-ujung daun, dan aroma tanah basah menyatu lembut dengan napasku.

Aku berjalan di samping Sarah. Sementara Vicky mengikuti di belakang.

Tiba-tiba, seorang cowok berjaket merah dari kelompok lain menyusul. Tinggi, berkulit sawo matang, dengan senyum ramah yang langsung menyapa.

“Hai, kamu Hafa, kan?”

Aku menoleh. “Iya. Kamu?”

“Devan. Dari SMA 7. Aku sempat lihat kamu waktu latihan gabungan. Keren, soal survival-nya.”

Aku terkekeh kecil, sedikit gugup. “Nggak juga. Cuma belajar dari jatuh bangun.”

Devan mulai bertanya banyak hal—soal buku, cita-cita, alasan ikut SISPALA. Entah kenapa, aku merasa nyaman. Seolah sedang berbincang dengan teman lama.

Dari belakang, langkah Vicky terdengar makin cepat. Wajahnya tampak tegang.

“Fa, ransel lo berat. Mau gue bawain?”

Aku menggeleng. “Masih kuat kok, Vik.”

Devan menimpali, “Kalau capek, bisa gantian. Nggak masalah.”

Vicky menoleh tajam. “Lo baru kenal, udah sok akrab.”

Devan terlihat terkejut, tapi tetap tenang. “Gue cuma nyapa. Nggak lebih.”

Aku buru-buru menengahi. “Udah, Vik. Dia cuma ramah.”

Vicky terdiam. Lalu melangkah lebih cepat, melewati kami tanpa kata.

Aku menunduk. Ada rasa bersalah yang menggantung di dada.

“Gue ganggu, ya?” tanya Devan pelan.

Aku menggeleng. “Nggak... dia cuma... terlalu peduli.”

Kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Hingga akhirnya Devan berkata,

“Orang yang terlalu lama nyimpan rasa... biasanya takut kehilangan, bahkan sebelum benar-benar punya.”

Aku terdiam. Kalimat itu—menusuk. Tapi aku tahu, Devan mengerti lebih dari yang ia ucapkan.

Malam hari.
Api unggun menyala tenang. Nyala apinya menari dalam bisu. Angin dari dataran tinggi menggigit kulit, tapi bukan itu yang membuatku menggigil.

Di seberang api, Vicky duduk sendiri, memeluk lutut. Wajahnya tersembunyi di balik tudung jaket yang ditarik rendah.

Aku ragu sejenak, lalu memberanikan diri menghampirinya.

“Vik,” panggilku lirih, nyaris kalah oleh suara kayu berderak terbakar.

Ia menoleh. Matanya sembab, tapi buru-buru memasang senyum. Palsu.

“Kenapa nggak ngobrol aja sama cowok baru lo itu?”

Nada suaranya datar. Tapi aku mendengar luka di sana.

Aku duduk di sampingnya. Menarik napas.

“Vik… jangan kayak gitu, dong.”

“Kayak gimana?” balasnya cepat, masih menunduk.
“Kayak orang yang patah hati sendirian? Atau kayak orang tolol yang tetap nunggu... walaupun tahu dia nggak pernah dipilih?”

Dadaku sesak.

“Gue nggak pernah maksud nyakitin lo. Sumpah, Vik.”

Ia mendengus pelan, lalu akhirnya menoleh. Mata kami bertemu.

“Fa... selama ini gue cuma pengen jadi satu-satunya orang yang lo percaya. Tapi ternyata... bahkan itu pun gue nggak cukup.”

Aku menggigit bibir bawah, menahan gejolak di dada.

“Gue... masih berantakan, Vik. Gue belum bisa bagi hati gue ke siapa pun. Bahkan buat nyembuhin diri sendiri aja gue masih terseok.”

Kepalaku menunduk dalam.

“Gue takut... kalau gue izinin orang masuk, dia bakal pergi lagi. Kayak semua orang sebelum lo.”

Vicky menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

“Lo tahu kenapa gue masih di sini, Fa?”

Aku menoleh pelan.

“Bukan karena gue berharap lo balas. Tapi karena gue nggak sanggup liat lo jatuh... dan nggak ada siapa-siapa buat nangkep.”

Aku menatapnya. Air mataku tumpah. Tanpa suara.

“Lo terlalu baik buat gue, Vik...” bisikku.

“Gue nggak mau lo baik ke gue cuma karena kasihan.”

“Ini bukan kasihan, Fa.” Ia menggenggam tanganku. Hangat. Teguh. “Ini perasaan. Perasaan yang tumbuh karena gue liat lo setiap hari, ngelewatin semuanya dengan cara lo—keras kepala, tapi tulus.”

Aku terisak. “Lo bodoh banget…”

Ia tersenyum kecil. “Gue tahu. Tapi gue bahagia... jadi orang bodoh yang masih bisa duduk di samping lo malam ini.”

Aku menyandarkan kepala di bahunya. Dalam hening, hanya suara jangkrik dan desir api yang bicara.

“Gue nggak janji bisa cinta, Vik...”

“Gue nggak minta lo janji. Cukup izinin gue ada di sini. Sekarang. Malam ini.”

Dan di tengah sunyi gunung malam itu, untuk pertama kalinya aku merasa... tidak sendirian.

Beberapa menit setelah Vicky kembali ke tenda.

Aku masih di tempat yang sama. Api unggun hampir padam—tinggal bara yang sesekali berpendar merah. Tapi justru dari keheningan itu, suara hatiku paling bising.

Aku duduk sendiri. Angin menyentuh kulitku seperti tangan masa lalu yang tak henti mengusik luka. Suara ranting patah, nyanyian serangga, dan bara unggun yang sekarat... menyatu menjadi musik latar kesunyian yang terus mengetuk dadaku.

Aku menatap ke arah Vicky pergi.

Wajah itu... tulus. Tapi juga penuh harap.

Harapan yang aku tahu... nggak bisa aku balas.

“Maaf, Vik…” bisikku. Lirih. Mungkin bahkan angin pun tak sempat mendengarnya.

Tanganku merogoh saku jaket. Mengeluarkan jurnal kecil yang mulai lusuh. Kubuka halaman baru, lalu menulis. Dengan tinta yang hampir habis, tapi perasaan yang justru penuh.

Terkadang, seseorang bisa jadi tempat yang nyaman.
Tapi bukan berarti hatiku ingin tinggal di sana selamanya.

Vicky, lo baik banget. Bahkan terlalu baik buat seseorang seberantakan gue.
Tapi kebaikan itu bukan tiket buat masuk ke hati orang lain, kan?

Lo bilang gue pantas dicintai.
Tapi gue bahkan belum bisa mencintai diri gue sendiri.
Gimana gue bisa ngasih cinta ke orang lain?

Aku berhenti sejenak. Menarik napas dalam, lalu menutup jurnal itu pelan.

Nggak ada air mata. Tapi dada ini berat.

Bukan karena aku menolak seseorang.
Tapi karena luka ini... masih hidup. Masih berdetak. Masih ada.

“Vik…” bisikku pada langit,
“…kalau aku bisa milih, aku pengen banget bisa bales semua rasa itu. Tapi bukan lo yang hati ini cari. Dan bahkan… hati ini sendiri belum tahu, dia sebenarnya nyari siapa.”

Dari balik kabut malam, aku mendengar langkah ringan menjauh. Ternyata Devan berdiri tak jauh dari sana. Ia diam. Mungkin mendengar. Mungkin hanya melihat. Tapi sorot matanya… penuh simpati. Tanpa niat untuk mendekat. Ia hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke tenda. Tanpa suara. Tanpa tanya.

Aku kembali bersandar ke batu. Menatap langit yang gelap, luas, sunyi... tapi entah mengapa, malam ini aku merasa diterima.

Dan di antara bintang-bintang yang bergantung jauh di atas sana, aku membisikkan satu doa:

Bukan untuk cinta.
Tapi untuk kesembuhan hati.

---

Matahari belum sepenuhnya naik, namun warna jingga sudah mulai bersinar di ujung pemandangan kota. Udara pagi di lereng gunung terasa dingin, menusuk ke balik jaket. Embun masih menggantung di ujung daun, dan langkah kaki mulai terdengar dari balik tenda.

Aku membuka mataku pelan. Di sebelahku, Sarah masih tertidur pulas, bibirnya agak terbuka, napasnya teratur. Kupandangi wajah temanku itu sebentar, sebelum akhirnya melangkah keluar.

Di luar, beberapa orang sudah mulai menggulung sleeping bag dan merapikan perlengkapan. Aku menatap sekeliling, mencari satu wajah. Vicky belum terlihat. Tapi Devan... sedang duduk di atas batu besar, menghadap lembah yang diselimuti kabut tipis. Sendiri.

Aku berjalan pelan ke arah tempat cuci muka. Airnya dingin, tapi menyegarkan. Ibarat mencuci bekas tangis yang semalam belum sempat kering.

“Udah bangun?” Sebuah suara menyapaku. Vicky.

Aku menoleh. Dia berdiri di sampingku dengan senyuman kecil yang canggung. Mata kami saling bertemu sejenak, lalu menghindar. Ada sesuatu yang tak terucap di antara kami, tapi kami biarkan mengambang.

“Iya…dingin banget ya pagi ini,” jawabku pelan.

Dia mengangguk. “Tapi indah.”

Kami diam beberapa detik. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku kelu. Entah kenapa, aku merasa... ada yang berubah. Setelah semalam.

Setelah beberapa saat, kami mulai membantu membongkar tenda. Semua sibuk. Tapi ada satu momen saat aku sedang menggulung matras, dan tanpa sengaja aku menoleh—menemukan mata Devan memandang dari jauh. Dia cepat-cepat menunduk. Tapi aku tahu dia melihatku. Dan itu bukan sekadar pemandangan kosong.

Dalam perjalanan turun, kami berjalan dalam barisan. Sarah menggandengku dengan semangat, sesekali bercerita tentang bunga pembohong dan jejak kaki hewan di tanah.

Vicky berjalan agak di depan, bersama dua pria lain. Tapi aku tahu dia terus menoleh ke belakang, aku baik-baik saja.

Sementara itu, Devan... memilih berada tak jauh di belakangku. Tak banyak bicara. Tapi saya merasa langkahnya teratur. Tenang. Seolah-olah setiap langkah yang dia ambil sedang memikirkan sesuatu.

Di tengah perjalanan, aku sedikit terpeleset saat melangkah di batu licin. Sekejap, dua tangan langsung bergerak—Vicky dan Devan, hampir bersamaan. Tapi yang lebih dekat adalah Vicky.

“Lo gak apa-apa?” tanyanya cepat, cemas.

Aku mengangguk, “Iya, Cuma keseleo sedikit.”

Vicky memegang lenganku, menstabilkan posisi. Tapi aku sadar—Devan berhenti beberapa langkah di belakang, menatap kami sebentar sebelum melanjutkan tanpa berkata apa-apa.

Aku ingin bilang, “Terima kasih,” tapi untuk siapa? Dua-duanya?

Sampai akhirnya kami tiba di basecamp, setelah beberapa jam perjalanan. Tubuh lelah, kaki pegal, tapi hati yang paling terasa berat.

Sebelum semua berpisah, Devan mendekat. Dia menyerahkan botol minuman yang tadi sempat kupinjam.

“Semoga pulangnya lancar ya.” Suaranya tenang, matanya tak sepenuhnya menatap.

“Terima kasih... Devan.”

Dia mengangguk. Lalu tersenyum—singkat, tulus, dan diam.

Vicky berdiri di sampingku. Aku melihat tatapan tak suka. 

---

Hari ini aku kembali ke sekolah.

Rumah masih sepi. Kosong seperti biasa. Ayah belum pulang dari Sumbar, katanya lagi sibuk ngurus pernikahan barunya dengan Tante Anisa. Aku nggak nanya banyak. Lagian, udah lama aku berhenti berharap rumah itu bisa kayak dulu lagi.

Masuk sekolah, aku ngerasa sedikit lega. Suara teman-teman yang bercanda, aroma kertas dan tinta printer dari lab desain—semuanya kayak nyambut aku dengan hangat.

Aku duduk di bangku labor jurusan Desain Komunikasi Visual, ngerjain tugas tipografi. Tangan sibuk nge-layout huruf, tapi pikiran ke mana-mana. Tentang pendakian, tentang Devan, dan tentu... tentang Vicky.

“Laper nggak?”

Suaranya bikin aku noleh. Vicky berdiri di sebelah meja, bawa roti cokelat dan sebotol teh dalam plastik bening.

“Ini buat lo,” katanya sambil senyum.

Aku belum sempat ambil, teman-teman langsung ribut.

“Cieee... ada yang makin lengket setelah naik gunung nih!”
“Fix! Hafa-Vicky couple tahun ini!”
“Hati-hati, udah kayak sinetron sekolah!”

Aku refleks nyengir, tapi di dalam... risih banget. Aku narik napas, ambil rotinya, dan pelan ngomong ke Vicky.

“Vick, jangan gitu terus deh...”

Dia ngedipin mata, masih bercanda.

“Gitu apaan?”

“Ngasih perhatian kayak gini... depan orang-orang. Gue... nggak nyaman.”

Suasana langsung berubah. Senyumnya pelan-pelan menghilang, diganti ekspresi bingung dan... kecewa?

“Oh. Oke,” katanya pendek.

Aku nunduk. Nyesel juga ngomong gitu. Tapi aku juga nggak bisa bohong—hati ini belum siap nerima semuanya begitu aja.

Setelah kelas, aku jalan ke kantin sendirian. Lagi pengen beli teh panas. Badan masih pegal sisa pendakian, dan kepala penuh pikiran.

Pas lagi nunggu antrean, seseorang tiba-tiba berdiri di depanku. Citra. Anak kelas sebelah. Cantik, modis, tapi... terkenal blak-blakan kalau urusan cinta.

“Hafa, ya?” katanya tajam.

Aku mengangguk, sedikit bingung.

“Iya. Kenapa?”

Dia lipat tangan di dada, matanya menyipit kayak mau interogasi.

“Gue cuma mau bilang, kalo lo emang nggak suka sama Vicky, tolong jangan kasih harapan.”

Aku kaget.

“Maaf?”

“Gue udah lama suka dia, dan semua orang juga tahu. Tapi semenjak pendakian, lo jadi deket banget sama dia. Tiap hari dia bawain lo makanan, anterin pulang, dan lo... nerima semuanya, seolah-olah kalian pacaran.”

Aku narik napas dalam. Suasana kantin mendadak jadi pusat perhatian. Beberapa anak mulai noleh, bisik-bisik.

“Citra, gue nggak pernah minta dia ngelakuin itu semua. Gue juga nggak pernah nyuruh dia suka sama gue,” jawabku, mulai nahan emosi.

“Tapi lo juga nggak pernah bilang ‘nggak’, kan? Itu sama aja bikin dia ngambang!”

Aku nyaris jawab balik, tapi suara keras dari belakang menghentikan segalanya.

“Citra, udah.”

Vicky muncul, berdiri di antara kami. Wajahnya serius, nadanya nggak main-main.

“Lo nggak punya hak ngomong kayak gitu ke Hafa.”

“Tapi gue—”

“Udah gue bilang cukup!” potong Vicky. “Kalo lo mau nyatain perasaan lo, silakan. Tapi jangan main nyalahin orang lain.”

Citra diam. Wajahnya merah. Dia akhirnya jalan pergi dengan langkah berat dan tatapan menusuk.

Aku masih diam. Nggak tahu harus bilang apa. Tapi... di dalam hati, ada rasa aneh yang ngaduk-ngaduk semuanya.

“Lo oke?” tanya Vicky.

Aku mengangguk pelan.

“Thanks... udah belain.”

Kami duduk di bangku dekat taman belakang. Tempat yang biasanya sepi. Angin sore bawa aroma tanah basah habis disiram.

“Vick,” kataku akhirnya. “Gue tahu lo baik banget ke gue. Tapi gue nggak mau lo jadi pusat drama kayak tadi...”

Dia diam. Matanya ngeliat jauh ke depan. Lalu dia ngomong pelan, tapi jelas:

“Gue tahu. Dan gue nggak nyesel.”

Aku ngeliat dia.

“Kenapa?”

Dia senyum kecil. Tapi bukan senyum bahagia. Lebih ke... senyum nyesek.

“Soalnya lo satu-satunya orang yang bikin gue ngerasa... pengen pulang.”

Aku kaget. Nggak nyangka dia bakal ngomong sedalam itu.

“Gue nggak butuh lo suka balik ke gue sekarang. Gue cuma pengen lo tahu... gue serius.”

Aku pengen jawab. Tapi lidahku kelu. Karena jujur... aku masih nggak yakin apa yang sebenarnya aku rasain.

Vicky ngelirik aku lagi.

“Gue nggak bisa buka hati buat orang lain, Haf. Karena hati gue udah duduk di bangku sebelah lo dari dulu.”

Dan kali ini... aku nggak bisa pura-pura nggak tersentuh.

Aku duduk lemas di bangku taman belakang sekolah. Bekal aku kebuka, tapi diem aja, kayak nunggu nasib buruk lewat. Sarah duduk di seberang, nyender santai sambil ngunyah biskuit, sesekali matanya ngelirik aku—mungkin nunggu aku meledak atau minimal ngomong sesuatu.

“Lo kayak abis ditabrak truk cinta, Haf,” dia nyengir sambil ngunyah.

Aku nyengir balik, setengah miris.

“Kalau ini cinta, kenapa rasanya kayak ditimpuk batu bata, ya?”

Dia ketawa, tapi nggak lama. Tatapannya pelan-pelan jadi serius.

“Lo… beneran oke?”

Aku tarik napas pelan. Yang kayak gini nggak bisa dijawab buru-buru.

“Nggak tahu. Kepala gue masih muter kayak kipas angin rusak. Drama pagi ini… ngabisin energi banget.”

“Citra tuh emang lebay. Serius deh. Emangnya lo pacaran sama Vicky? Emangnya lo minta dia bawain roti tiap hari?”

Aku geleng pelan. Mata udah mulai panas lagi.

“Gue nggak pernah minta apa-apa. Tapi gue juga nggak pernah bilang ‘jangan’. Jadi sekarang... semuanya kayak jatuhnya salah gue.”

Sarah mandang aku lama.

“Haf, lo cuma manusia, bukan kompas moral semua orang. Lo nggak harus ngatur arah hidup siapa-siapa. Tapi lo punya hak buat milih arah lo sendiri. Dan gue tahu... arah lo bukan ke dia.”

Aku nunduk, nyoba ngusap mata, tapi airnya tetep netes juga.

“Dia bilang soal agama bisa disamain nanti. Bisa dibicarain. Tapi... gue nggak bisa, Sar. Bukan karena gue sok suci. Tapi karena gue udah kenyang banget lihat hubungan yang dari awal aja udah salah jalur. Rumah gue sendiri... hancur karena itu.”

Sarah geser duduknya lebih deket, suaranya turun, kalem banget.

“Lo nggak salah karena nolak. Justru lo berani. Jujur walau pedih. Banyak orang nggak sanggup, Haf. Mereka pura-pura nyaman, pura-pura cocok, demi ngejar ‘ending yang bahagia’. Padahal hidup mereka sendiri kayak sinetron yang maksa happy ending.”

Aku ketawa kecil, sarkas.

“Gue bahkan nggak minta happy ending. Gue cuma pengen tenang. Gak dijadiin bahan rumpian. Gak disudutkan, seolah-olah gue cewek jahat.”

“Gue paham. Tapi Haf, lo sadar nggak?”

“Apa?”

“Lo tuh... kuat banget.”

Aku ngangkat alis.

“Dari sisi mana coba?”

Dia senyum, tipis, tapi matanya serius banget.

“Lo nggak nyebarin gosip, nggak balas sindir, nggak drama balik. Lo nangis, iya. Tapi lo tetep berdiri. Masih bisa ke kelas, ngerjain tugas, senyum ke orang. Itu kekuatan.”

Aku diam. Tenggorokan aku tiba-tiba kayak ketahan. Sarah emang selalu bisa bikin aku ngerasa... nggak sendirian.

“Kadang gue takut, Sar. Takut suatu hari, orang-orang kayak Vicky bakal bilang ‘cinta lo kurang besar karena lo nolak gue cuma gara-gara prinsip’.”

Sarah langsung ngelirik tajam.

“Kalau dia bilang gitu, bilang ke gue. Gue yang maju. Gue tampol dia pake jilbab seratus lapis.”

Aku ketawa, akhirnya. Ketawa yang nggak dipaksa. Ketawa yang beneran keluar dari dalam.

“Lo tuh aneh banget, Sar.”

“Gue emang aneh. Tapi loyal. Mau lo ditolak, dicuekin, dipojokin, atau diculik alien, gue tetap di sini.”

Aku senyum kecil.

“Semoga aliennya ganteng.”

Sarah langsung nyaut,

“Yang penting alim.”

Kami ketawa bareng. Suara kami nyatu sama angin sore. Entah kenapa, rasanya kayak beban di pundak ini... nggak seberat tadi. Masalahnya masih ada. Tapi aku nggak sendiri.

---

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
LUCID DREAM
546      385     0     
Short Story
aku bertemu dengan orang yang misterius selalu hadir di mimpi walapun aku tidak kenal dengannya. aku berharap aku bisa kenal dia dan dia akan menjadi prioritas utama bagi hidupku.
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Langit-Langit Patah
24      22     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Segitiga Sama Kaki
548      382     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Tumbuh Layu
338      220     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Halo Benalu
757      342     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
START
289      192     2     
Romance
Meskipun ini mengambil tema jodoh-jodohan atau pernikahan (Bohong, belum tentu nikah karena masih wacana. Hahahaha) Tapi tenang saja ini bukan 18+ 😂 apalagi 21+😆 semuanya bisa baca kok...🥰 Sudah seperti agenda rutin sang Ayah setiap kali jam dinding menunjukan pukul 22.00 Wib malam. Begitupun juga Ananda yang masuk mengendap-ngendap masuk kedalam rumah. Namun kali berbeda ketika An...
Help Me to Run Away
2626      1175     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Ketika Kita Berdua
37218      5365     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...