Aku selalu percaya atau setidaknya mencoba percaya bahwa kehilangan akan membuat seseorang lebih kuat. Bahwa air mata yang jatuh diam-diam di malam sepi bisa berubah jadi kekuatan. Bahwa luka yang dulu menyayat, suatu hari akan berubah jadi cahaya. Itu yang sering kudengar dari orang-orang yang mencoba menghibur.
Katanya, aku akan baik-baik saja. Akan pulih. Akan bisa melewati semua ini. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar tahu, seperti apa rasanya kehilangan ibu.
Waktu itu aku baru beberapa bulan masuk SMK, masih beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru, pelajaran yang makin berat. Tapi dunia yang tadinya ribut dengan segala keruwetannya, tiba-tiba berhenti. Semuanya jadi sunyi, setelah aku menerima telepon dari Ayah sambungku—suara gemetar, kalimat terpotong-potong.
"Ibu... sudah nggak ada."
Dadaku seperti ditusuk ribuan jarum. Napasku memburu. Jalanan yang kulalui mendadak buram oleh air mata. Aku sedang dalam perjalanan pulang ke kampung halamanku di Painan, Sumatera Barat. Tapi nyatanya, aku terlambat. Aku tak sempat melihat senyumnya untuk terakhir kali.
Saat akhirnya tiba di rumah, tangis menyambutku. Tangan Ayah menggenggam erat jemariku, seakan ingin mengalirkan kekuatan melalui kulit yang gemetar. Kakiku berat. Jantungku berdetak tak karuan. Dan di hadapanku, terbaring tubuh yang sangat kukenal, tapi tak lagi bernyawa. Wajah itu damai. Matanya terpejam, seperti sedang tertidur.
Aku menyentuh tangannya yang dingin. Keningnya yang dulu sering mendaratkan cium hangat ke dahiku kini kucium perlahan.
“Selamat tinggal, Bu...”
Hari itu, dunia runtuh. Rumah yang dulu hangat dengan aroma masakannya, suara lembutnya yang selalu membangunkanku salat subuh, tawa kecil di sore hari, semuanya hilang. Berganti sunyi yang menusuk, dingin yang tak bisa dipeluk siapa pun.
Mereka bilang Ibu pergi dengan tenang. Tapi bagaimana bisa aku tenang, ketika setiap malam rasanya dada ini seperti diremas-remas? Aku duduk di tepi tempat tidurnya, memandang lemari yang masih menyimpan baju-bajunya rapi. Seolah menunggu, berharap Ibu muncul dari balik pintu dan berseru, “Sarapan dulu, Nak. Jangan lupa bawa bekal.”
Tapi itu takkan pernah terjadi lagi.
Yang tersisa hanyalah aku dan rindu yang tak pernah selesai.
Hari-hariku berjalan seperti kabut. Aku tetap ke sekolah, tetap tertawa di hadapan teman-teman, tetap menjawab soal-soal ujian. Tapi semuanya terasa kosong. Tubuhku hadir, tapi jiwaku seolah tertinggal di kamar itu, bersama kenangan yang belum siap kulepaskan.
Beberapa saudara datang di hari pemakaman. Mereka memelukku, mengucapkan belasungkawa, lalu kembali ke kehidupannya masing-masing. Sedangkan aku? Masih di sini. Terjebak dalam rumah yang menyimpan segalanya—canda, pelukan, omelan, harapan. Tapi kini hanya menyisakan sepi dan gema.
Pagi tadi, aku membuka buku catatan kecil yang biasa kugunakan untuk menulis mimpi-mimpi masa depan bersama Ibu. Ada tiga tulisan di sana.
1. Kalau aku sudah kerja, aku mau ajak Ibu keliling Sumatera Barat.
2. Kuliah dan gapai cita-cita. Ibu pasti bangga.
3. Kalau aku nikah, Ibu harus duduk di barisan depan. Aku mau lihat wajah Ibu pas akad.
Tanganku gemetar saat membaca ulang tulisan itu. Air mata jatuh tanpa izin. Janji-janji kecil yang takkan sempat kutepati.
Aku merasa gagal. Bukan karena tak sempat mengajaknya liburan, tapi karena tak bisa membuatnya bertahan lebih lama. Bahkan sekadar mendengar suaranya bertanya, “Kamu capek, Nak?” untuk terakhir kali pun tidak.
Yang paling menyakitkan bukan hanya kepergiannya, tapi penyesalan. Masih banyak ucapan "terima kasih" yang belum sempat keluar dari bibirku. Masih banyak “maaf” yang kupendam karena gengsi. Aku terlalu sibuk mengejar waktu padahal waktu kami bersama ternyata terlalu singkat.
Sekarang semuanya sudah terlambat.
Di dapur, gelas kesukaannya masih di rak. Sajadahnya masih terlipat rapi. Selendang favoritnya masih tergantung di belakang pintu. Aku tak sanggup memindahkannya. Biarlah tetap di sana, seolah Ibu masih tinggal di rumah ini.
Kadang aku bertanya dalam hati, Kalau Ibu masih hidup, apakah aku akan lebih bahagia? Tapi cepat atau lambat, aku tahu, Ibu benar-benar sudah tiada. Dan aku harus belajar menerima, walau rasanya seperti menelan batu.
Mereka bilang, waktu menyembuhkan luka. Tapi luka ini bukan untuk disembuhkan—ia hanya berubah bentuk. Menjadi rindu. Menjadi doa. Menjadi bisikan pelan di setiap malam.
Tapi perlahan, aku mulai menyadari satu hal. Ibu mungkin sudah tak ada, tapi cintanya tetap tinggal. Dalam setiap nasihat yang pernah ia ucapkan. Dalam setiap doa yang ia lantunkan. Dalam nilai-nilai yang diam-diam menempaku.
Malam itu aku bermimpi. Di sebuah jembatan tinggi, di antara awan, Ibu berdiri. Ia tersenyum lembut seperti biasa. Tak bicara apa-apa. Tapi senyumnya bicara banyak. Saat aku terbangun, aku menangis lama. Tapi, untuk pertama kalinya, ada sedikit rasa damai di dada.
Mungkin itu caranya berpamitan. Atau mungkin, ia datang hanya untuk menguatkanku. Bahwa aku tidak benar-benar sendiri.
Aku buka jendela. Angin dingin menerpa wajahku. Langit malam penuh bintang. Aku memeluk tubuhku sendiri, lalu berbisik pelan dalam hati.
Bu, kalau Ibu bisa dengar, doakan aku kuat, ya. Doakan aku bisa nemuin diriku lagi. Aku bakal bertahan. Biarpun Ibu nggak sempat lihat, aku janji jadi anak yang Ibu banggakan.
---
Seminggu setelah pemakaman, kami kembali ke kota. Aku memutuskan ikut Ayah sambungku, ayah Johan—laki-laki yang menikahi Ibu empat belas tahun lalu. Kami punya satu adik kecil, Salsa, yang baru berusia tiga tahun. Meskipun beliau bukan ayah kandungku, aku sudah lama menganggapnya seperti ayah sendiri.
Ayah kandungku masih ada, tinggal di Nusa Tenggara Timur bersama keluarga barunya. Tapi aku hanya bisa melihatnya lima tahun sekali—itu pun kalau kami punya cukup waktu dan uang.
Sebenarnya, keluarga dari pihak Ibu menyarankan agar aku tinggal bersama adik perempuan ibuku, Tante. Tapi aku tidak yakin bisa melewati semua ini dengan kesedihan yang sama. Jadi aku memilih tetap tinggal bersama ayah Johan dan Salsa—demi adik kecilku yang masih butuh sosok kakak.
Kakak-kakakku? Abang tertuaku tinggal tak jauh dari tempat tinggalku, tapi tenggelam dalam dunianya sendiri. Kakak perempuanku harus kembali ke Medan, bersama anak-anak dan suaminya.
Akhirnya, hanya aku dan Salsa. Menempati rumah yang dulu penuh tawa, kini penuh kenangan yang tak bisa disangkal.
Kadang Salsa memeluk boneka kesayangannya, lalu bertanya polos, “Ibu ke mana, Kak?”
Aku tercekat.
“Ibu di pasir ya?” katanya lagi, sambil menunjuk foto yang kami taruh di meja ruang tamu. Di pemakaman ia sempat melihat ibu saat di timbun oleh tanah.
Aku ingin menjelaskan, tapi, apa yang bisa kupilih sebagai kata yang cukup? Aku hanya bisa memeluknya erat, membiarkan air mataku jatuh diam-diam. Aku harus cepat menangis karena setelah itu aku harus kuat.
Aku satu-satunya tempat pulang bagi Salsa sekarang.
---
Hari-hari terus berjalan. Kabut pagi turun seperti biasa. Langit masih abu-abu. Tapi aku mulai kembali ke sekolah. Rasanya aneh. Duduk di bangku yang dulu terasa nyaman, kini seperti asing. Tapi aku mencoba bertahan. Karena hidup tak pernah mau berhenti untuk siapa pun.
Teman-temanku menyambut dengan pelukan hangat. Guru-guru mengucapkan belasungkawa, menyisipkan nasihat lembut. Pelan-pelan, aku mulai menyesuaikan diri.
Rindu itu tetap ada. Tapi aku tahu, aku harus kuat. Karena masih ada Salsa. Dan karena Ibu ingin aku bahagia.
Nasihatnya selalu terngiang.
"Ibu selalu bangga sama kamu. Bukan karena nilai bagus, tapi karena kamu bisa melewati kesulitan dengan bijak."
Aku menunduk. Senyum kecil muncul di wajahku, meski mataku kembali basah.
“Hafa!”
Suara itu membuyarkan lamunanku.
Sarah, teman sebangkuku berlari kecil ke arahku. “Temenin gue, dong! Gue mau nyari Leo!”
Aku tertawa pelan, ikut terseret langkahnya. Sarah memang begitu. Dan aku? Aku cuma “obat nyamuk” yang setia. Tapi aku nggak keberatan. Karena hari ini aku bisa tersenyum lagi. Walau kecil. Walau masih berat.
Tapi senyum itu, ada.
Sarah memang selalu jadi warna di hari-hariku yang kelabu. Sejak pertama masuk sekolah, dia satu-satunya orang yang menyapaku duluan. Waktu itu aku masih canggung dan pendiam. Tapi Sarah? Dia malah dengan santainya duduk di sebelahku dan langsung bercerita tentang drama Korea kesukaannya.
Sejak saat itu, kami jadi dekat. Meski kadang aku cuma mendengarkan tanpa banyak komentar, Sarah tetap nyaman berada di sampingku.
“Leo itu cowok paling ngeselin di dunia,” gerutunya sambil menarikku ke koridor belakang sekolah. “Tapi kenapa ya, gue malah deg-degan tiap mau ketemu dia?”
“Ya, karena lo suka sama dia,” jawabku ringan.
Sarah melirikku tajam. “Sssst, jangan keras-keras! Nanti daun-daun di pohon juga denger!”
Aku tertawa lagi. Rasanya baru kali ini aku benar-benar tertawa lepas setelah kepergian Ibu. Ada rasa hangat yang menyelinap pelan di balik luka yang masih terbuka.
“Lo tau enggak, Haf,” kata Sarah, suaranya tiba-tiba pelan. Kami berhenti di depan taman kecil yang sepi. “Gue tuh sempat khawatir banget waktu lo enggak masuk sekolah. Gue kira lo bakalan enggak balik-balik.”
Aku menoleh, menatap wajahnya yang tiba-tiba serius. Ada sorot sedih di matanya.
“Gue masih di sini, Sarah,” jawabku lirih. “Gue memang lagi berduka, tapi gak buat gue jadi malas-malasan buat sekolah. Bersedih berlarut-larut juga gak baik, walau masih sedih tapi hidup terus berjalan.”
Sarah mengangguk pelan. “Gue enggak bisa ngebayangin kehilangan nyokap. Pasti berat banget, ya?”
Aku diam sejenak. Ingin menjelaskan, tapi tak ada kata yang cukup.
“Rasanya, kayak separuh dunia ikut runtuh,” ucapku akhirnya. “Kayak enggak ada lagi tempat paling aman buat pulang.”
Kami duduk di bangku taman. Angin sore menerpa rambutku perlahan. Sarah menatap langit, lalu menggenggam tanganku.
“Lo boleh cerita kapan aja. Gue enggak jago ngomong bijak kayak orang-orang dewasa, tapi gue bisa dengerin.”
Aku tersenyum, kali ini lebih tulus. “Gue tahu. Makasih, ya.”
Sarah menatapku dengan mata berbinar. “Dan karena itu, lo harus nemenin gue ketemu Leo. Deal?”
“Sarah...” Aku menghela napas pasrah. “Lo tega banget manfaatin momen haru ini buat urusan cinta.”
“Tentu dong,” jawabnya santai. “Lo pikir cinta bisa nunggu?”
Aku tergelak. “Oke. Tapi kalau Leo kabur, lo jangan tarik gue buat ngejar dia, ya.”
“Kita kejar bareng!” katanya sambil tertawa puas.
Begitulah Sarah. Penuh kejutan, kadang lebay, tapi tulus dan selalu ada. Di tengah kesedihan yang masih mengendap, keberadaannya seperti embun pagi yang menenangkan.
Ketika kami melangkah kembali ke arah koridor kelas, aku merasa sedikit lebih ringan. Luka itu belum sembuh, tapi tidak lagi terasa sendiri. Mungkin ini awal dari hidup baru. Hidup yang tetap berat, tapi tak lagi sepi.