Loading...
Logo TinLit
Read Story - No Longer the Same
MENU
About Us  

Empat puluh hari telah berlalu sejak Ibu pergi. Sejak itu, rumah kami bagaikan kehilangan nyawa. lengang. sepi. Tak ada lagi suara lembut yang membangunkanku di pagi hari, tak ada lagi pelukan hangat yang menyambutku pulang sekolah. Aku rindu. Rindu yang tak bisa diukur, tak mampu diterjemahkan oleh kata-kata.

Di sudut rumah sederhana ini, kenangan tentang Ibu masih begitu nyata. Setiap ruang menyimpan kisah pengorbanannya. Senyumnya, tegurannya, bahkan diamnya yang penuh makna, semuanya masih hidup dalam ingatanku. Hari ini, Ayah sibuk mempersiapkan acara doa arwah empat puluh harian. Para tetangga dan keluarga mulai berdatangan untuk membantu menyiapkan hidangan.

Sementara itu, aku masih terbaring malas di atas kasur. Entah karena tubuh yang lelah atau hati yang enggan beranjak dari mimpi tentang Ibu semalam. Tidur di kasur yang dulu ditempati Ibu terasa seperti mendekap kenangannya. Hangat, sekaligus menyakitkan.

Namun, aku memaksakan diri untuk bangun. Hari ini terlalu penting untuk dilewatkan hanya dengan menangisi masa lalu. Aku berjalan menuju dapur, membantu para ibu yang sedang memasak. Aku menata piring dan menuangkan minuman ke dalam gelas-gelas plastik.

"Hafa, tolong ambilkan nampan di bawah meja itu," pinta Kakakku, Sera.

Aku mengangguk dan segera mengambil nampan yang dimaksud. Setelah ketemu, aku kembali lewat pintu belakang dan mendekati tempat Kak Sera memasak.

“Nih,” ucapku sambil menyerahkan nampan.

"Sini dulu, Dek," ajaknya, menarik lenganku pelan. Raut wajahnya tampak serius. Mata menatap tajam ke arah seorang wanita berkerudung biru yang berdiri tak jauh dari Ayah.

“Siapa perempuan itu?” bisiknya.

Aku mengikutinya. Wanita itu tampak asing. Wajahnya tak kukenal, tapi dia tampak begitu akrab dengan Ayah.

“Enggak tahu, Kak,” jawabku jujur.

"Dekat banget sama Bapak. Kamu lihat kan?"

Aku hanya mengangguk pelan. Perasaan tak enak mulai merambati dadaku.

Aku kembali ke dalam rumah dan memperhatikan wanita itu dari balik jendela kamar. Ia tertawa kecil saat berbicara dengan saudara sepupu Ayah. Mereka tampak akrab, seperti sudah lama saling mengenal.

Tapi kenapa aku dan kakakku sama sekali tak mengenalnya?

Malam itu, selepas salat Isya, para warga mulai berdatangan untuk menghadiri acara doa arwah. Rumah kami kembali ramai. Para bapak duduk di ruang tamu membacakan doa dan surat Yasin, sementara para ibu sibuk menyajikan hidangan di dapur.

Sementara doa dipanjatkan, aku tak kuasa menahan air mata. Tangisku pecah diam-diam. Rasa kehilangan itu belum juga berkurang. Terlebih lagi, semakin hari semakin dalam.

Usai acara, para tamu dipersilakan menikmati makanan yang telah disiapkan. Aku kembali melihat wanita berkerudung biru itu. Ia berdiri di dekat Ayah, berbicara sambil tersenyum. Ayah membalas dengan ekspresi yang tak pernah ia tunjukkan sejak kepergian Ibu—senyum yang... hangat.

Hatiku mencelos. Perasaan curiga yang sejak tadi kutahan mulai berubah menjadi kecemasan. Ada yang tidak beres.

Malam semakin larut. Setelah selesai membantu membersihkan rumah, aku masuk kamar dan merebahkan tubuh. Tapi baru saja mataku ingin terpejam, pintu kamar diketuk.

Kak Sera masuk dengan tergesa-gesa. Ia menenteng beberapa amplop.

“Ini uang sumbangan dari tetangga dan keluarga. Simpanan yang ini buat kamu, Dek,” katanya sambil menyerahkan dua amplop agar diterima.

Aku menatapnya bingung. "Kenapa Kakak kasih ke aku?"

"Takutnya kamu enggak dapat bagian. Kakak lihat Bapak mulai aneh akhir-akhir ini... Jangan-jangan dia menyimpan semua uangnya," ucapnya pelan sambil menahan emosi.

Aku tak menjawab. Hanya mengambil amplop itu dan menyimpannya di tas sekolahku—tempat paling aman, menurutku.

---

Minggu sore itu, aku memberanikan diri meminta izin kepada Ayah untuk menginap di rumah sahabatku, Peni. Sudah lama aku ingin sedikit menjauh dari rumah yang terasa semakin dingin sejak Ibu pergi. Rumah kami bukan sekadar sunyi—ia seperti kehilangan jiwa.

Peni adalah sahabatku sejak SMP. Rumahnya kecil, tapi selalu terasa hangat. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya yang masih sekolah dasar. Keluarganya sederhana, tapi dipenuhi cinta dan perhatian. Sesuatu yang kini terasa langka di hidupku.

Begitu aku tiba di rumah Peni, Ibunya menyambutku dengan senyum ramah.

“Ayo Nak, dimakan,” ujar Bu Ira sambil menyodorkan sepiring nasi hangat dan sayur sop.

“Anggap aja rumah sendiri ya, jangan sungkan-sungkan,” sambung Pak Septian, ayah Peni sambil tersenyum hangat.

Aku tersenyum kecil, sedikit canggung tapi tulus. “Terima kasih, Pak… Bu.”

"Sama-sama, Sayang," jawab Bu Ira lembut.

Makan malam itu berlangsung hangat. Gelak tawa dan obrolan ringan mengisi meja makan. Tidak ada ketegangan, tidak ada kebekuan. Hanya kebersamaan yang tulus, penuh kasih.

Aku hanya banyak diam, menikmati suasana yang menenangkan hati. Kehangatan seperti ini sudah lama tak kurasakan. Dulu, rumahku juga sering mengecat canda, terutama saat Ibu masih ada. Tapi kini… semuanya hanya kenangan yang semakin hari semakin jauh.

Usai makan, aku dan Peni masuk ke dalam ruangan. Aku duduk di depan cermin, menyisir rambutku perlahan. Peni duduk di atas kasur, memperhatikanku.

“Kenapa kamu banyak diamnya, Fa?” tanyanya pelan.

Aku menoleh, tersenyum canggung. "Hmm… entahlah. Aku nggak terbiasa dengan kehidupan yang sekarang, Pen. Rasanya sepi banget."

Peni bangkit, lalu duduk di sampingku dan merangkul bahuku.

"Ini memang nggak mudah.​​Tapi hidup terus berjalan, Fa. Gue harap lo pelan-pelan bisa belajar ikhlas ya. Gue yakin lo kuat kok."

Aku menghela nafas pelan. "Gue kasihan sama adik gue, Pen. Salsa masih terlalu kecil buat ngerti semua ini. Ayah gue sibuk terus, kadang kayak lupa dia punya anak."

Peni mengangguk penuh pengertian. "Lo usahain selalu ada buat Salsa. Jangan sampai dia ngerasa sendirian. Nanti pas dia udah agak besar, lo bisa kasih pengertian pelan-pelan. Tapi sekarang, cukup temenin dia."

Aku menatap mata Peni yang jernih, penuh empati. "Terima kasih ya, Pen. Malam ini... entah kenapa gue ngerasa tenang. Kayak pulang ke rumah, gitu."

"Ya ampun... jangan bikin gue mewek, Fa. Pokoknya, kapan pun lo butuh gue, insyaAllah gue ada. Lo gak sendirian."

Aku memeluk Peni erat. Diam-diam air mata mengalir di pipiku. Bukan karena sedih, tapi karena haru—aku bersyukur masih punya satu tempat yang bisa kusebut rumah, meski hanya sementara.

Malam itu, aku tidur dengan nyenyak. Rasa damai yang sudah lama hilang, malam ini kembali kurasakan. Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar.

Karena malam berikutnya, Ayah menjemputku.

Perjalanan pulang terasa dingin. Kami hanya diam, membiarkan angin malam menyentuh wajah kami. Tapi bukan angin itu yang mengganggu—melainkan kecemasan yang menggumpal di dada sejak malam empat setiap puluh hari Ibu.

Aku tahu... ada sesuatu yang harus aku tanyakan. Dan aku harus siap mendengar penjelasannya.

Aku menguatkan diri untuk bertanya.

“Yah, perempuan yang datang malam itu… yang berkerudung biru, siapa dia?”

Ayah bersedia. Motor yang tadi melaju stabil kini melambat.

Aku menatap punggungnya. “Siapa dia, Yah?”

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya dia menjawab, "Dia... pacar Ayah."

Derajat.

Dunia rasanya runtuh dalam sekejap. Hatiku seperti disayat pisau tumpul. Napasku tercekat.

"Apa?" tanyaku, berbisik.

"Dia pacar Ayah," ulangnya, lebih pelan dari sebelumnya.

Aku menggeleng tak percaya. "Ibu baru empat puluh hari meninggal, Yah... Ayah serius?"

Ayah tetap diam. Tangannya menggenggam erat stang motor. Aku bisa merasakan ketegangannya.

"Sudah... sudah berapa lama Ayah pacaran sama dia?" tanyaku lagi.

"Dua tahun," jawabnya singkat.

Dua tahun?

Tangisku pecah. Tubuhku gemetar menahan marah. “Jadi selama Ibu sakit… Ayah sudah punya perempuan lain?”

Ayah tak menjawab.

Aku menahan isak, mencoba berkata setenang mungkin. "Ayah... tega. Ibu sabar banget selama ini, Ayah tahu kan?"

Ayah hanya menunduk. "Dia ngancam bunuh diri kalau Ayah putusin," katanya, mencoba membela diri.

Aku menatap tajam meski aku tak bisa melihat wajahku dari belakang. "Biarkan dia mati! Jangan hancurin keluarga ini hanya karena orang yang bahkan tidak punya hubungan darah sama kita!"

Ayah tetap diam.

Aku menarik napas panjang. “Ibu tahu?” tanyaku dengan suara parau.

"Iya... Ibu tahu," jawabnya.

Dan disitulah aku benar-benar hancur.

Ternyata, selama ini Ibu tahu. Tapi dia memilih diam. Memilih menutup luka dan tetap tersenyum, agar kami tidak ikut terluka. Ketegarannya bukan karena ia lemah, tapi karena ia ingin melindungi kami. Sampai akhir hayatnya.

Malam itu, aku menangis dalam diam. Dunia rasanya berubah. Sosok yang selama ini kupanggil Ayah, kini terasa asing.

Empat puluh hari sudah sejak Ibu pergi.
Sejak itu, rumah ini seperti kehilangan detaknya. Sunyi. Sepi. Seperti tubuh tanpa jiwa. Tak ada lagi suara lembut yang membangunkanku setiap pagi. Tak ada lagi pelukan hangat saat aku pulang sekolah—pelukan yang dulu selalu membuatku merasa dicintai.

Aku rindu.
Rindu yang tak bisa diukur, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rasanya seperti ada lubang besar di dada yang tak pernah bisa tertutup.

Di setiap sudut rumah sederhana ini, kenangan tentang Ibu masih hidup. Senyumnya. Suaranya. Tatapannya. Bahkan diamnya yang selalu penuh makna. Semuanya masih melekat. Terlalu jelas. Terlalu menyakitkan.

Hari ini, Ayah sibuk menyiapkan tahlilan empat puluh hari wafatnya Ibu. Beberapa tetangga dan keluarga berdatangan, membantu menyiapkan makanan. Tapi hatiku masih di tempat yang sama—kosong.

Aku masih terbaring di kasur. Kasur yang dulu selalu Ibu rapikan setiap pagi. Sekarang, terasa hangat... tapi menyayat.

Namun hari ini terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja. Aku memaksa diri bangkit, mengusap wajah, menarik napas panjang.

Di dapur, para ibu sibuk memasak. Aku ikut membantu—menata piring, menyeduh teh manis dalam teko.

“Hafa, tolong ambilkan nampan di bawah meja itu,” ujar Kak Sera dari arah kompor.

Aku mengangguk dan mengambil nampan itu. Saat menyerahkannya, Kak Sera menarik lenganku pelan. Wajahnya serius, matanya tajam menatap ke satu arah.

“Dek... lihat deh. Perempuan yang deket banget sama Ayah itu siapa?” bisiknya pelan, nyaris hanya suara napas.

Aku mengikuti arah pandangnya. Seorang wanita berkerudung biru berdiri tak jauh dari Ayah. Mereka bicara. Terlalu akrab. Terlalu nyaman.

“Enggak tahu,” jawabku pelan. “Kayaknya baru lihat dia hari ini.”

Kak Sera mendesah. “Tapi deket banget, Dek. Kayak udah lama kenal.”

Aku hanya diam. Ada rasa nggak enak yang perlahan mengendap di dada.

Sepanjang hari itu, perasaanku nggak tenang. Aku memperhatikan wanita itu dari balik jendela kamar. Ia tertawa pelan saat berbincang dengan saudara Ayah. Senyumnya terlihat terlalu percaya diri.

Tapi kenapa aku dan Kak Sera bahkan nggak tahu siapa dia?


---

Malam pun datang. Rumah kembali penuh tamu yang ingin mendoakan Ibu. Lantunan doa dan surat Yasin menggema. Tapi hatiku terasa semakin hampa.

Di tengah suara doa, aku menangis diam-diam. Air mata jatuh tanpa suara. Rasa kehilangan itu masih terlalu nyata. Dan kini, rasa cemas mulai ikut menyusup.

Setelah acara selesai, aku kembali melihat wanita itu. Ia berdiri di samping Ayah. Tertawa kecil. Ayah tersenyum.

Senyum yang sudah lama tidak aku lihat sejak Ibu meninggal. Senyum yang hangat.

Dadaku mencelos.
Aku tahu—ada yang nggak beres.

Malam semakin larut. Setelah membantu membereskan rumah, aku langsung masuk kamar. Baru saja ingin tidur, pintu diketuk. Kak Sera masuk, membawa beberapa amplop.

“Ini uang sumbangan dari tamu tadi,” katanya sambil menyerahkan dua amplop. “Yang ini buat kamu.”

Aku menatapnya bingung. “Kenapa Kakak kasih ke aku?”

Ia mendekat, suaranya nyaris bergetar. “Aku takut Ayah simpan semuanya sendiri. Aku lihat dia mulai aneh, Fa.”

Aku menggigit bibir. Jantungku berdetak makin keras.

“Aku nggak tahu, Kak. Tapi aku juga ngerasa... ada yang berubah dari Ayah.”

Kami saling menatap dalam diam. Dan dalam keheningan itu, aku tahu—ada sesuatu yang besar sedang menunggu untuk terungkap.


---

Hari Minggu sore.
Aku memberanikan diri minta izin ke Ayah untuk menginap di rumah Peni. Aku butuh ruang. Butuh napas. Rumah ini terlalu sesak oleh luka yang belum sembuh... kini ditambah luka baru.

Peni adalah sahabatku sejak SMP. Rumahnya kecil, tapi hangat. Selalu ada tawa di sana. Selalu ada pelukan. Selalu ada cinta.

Begitu aku datang, ibunya menyambut dengan senyum penuh keibuan.

“Masuk, Nak. Udah makan belum?” tanya Bu Ira ramah.

“Udah, Bu,” jawabku pelan. Tapi beliau tetap menyodorkan sepiring nasi dan sop hangat.

Pak Septian, ayah Peni, ikut tersenyum. “Anggap rumah sendiri ya, Nak. Santai aja.”

Aku tersenyum kecil. Sedikit kikuk. Tapi nyaman.

Kami makan malam bersama. Di meja makan itu, tak ada luka. Hanya tawa dan obrolan hangat. Suasana yang sudah lama tak aku rasakan.

Setelah makan, aku dan Peni masuk ke kamarnya. Aku duduk di depan cermin, menyisir rambut pelan. Peni duduk di kasur, memperhatikanku.

“Fa, lo kenapa diem aja dari tadi?” tanyanya.

Aku menarik napas panjang. “Gue capek, Pen. Rasanya sepi banget. Kayak semua orang berubah sejak Ibu pergi.”

Peni bangkit, duduk di sampingku, dan merangkul bahuku.

“Fa, gue ngerti kok. Lo ngelewatin banyak hal berat. Tapi lo kuat. Gue yakin lo bisa.”

Aku menoleh menatapnya. “Kadang gue cuma pengen Ibu masih ada. Gue kasihan sama Salsa. Dia masih kecil, tapi udah harus belajar kehilangan.”

Peni menatapku penuh empati. “Lo jangan pergi dari hidup Salsa, ya. Sekarang lo satu-satunya yang dia punya.”

Aku mengangguk. Air mata mulai menggenang lagi.

“Terima kasih, Pen. Malam ini gue ngerasa tenang. Kayak pulang ke rumah.”

Peni tersenyum. “Lo nggak sendirian, Fa. Kapan pun lo butuh peluk, gue ada.”

Aku memeluknya. Erat. Dan malam itu, aku tidur nyenyak untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.

Tapi ketenangan itu nggak bertahan lama.


---

Besok malamnya, Ayah datang menjemput.

Perjalanan pulang naik motor terasa dingin. Bukan karena angin malam, tapi karena jarak yang tumbuh di antara kami. Aku tahu, malam ini aku harus bertanya sesuatu pada Ayah.

Aku menatap punggungnya.

“Yah... perempuan yang waktu itu datang, yang berkerudung biru... siapa dia?”

Ayah terdiam. Motornya melambat.

“Siapa dia, Yah?” ulangku, kali ini lebih tegas.

Beberapa detik terasa seperti seumur hidup.

“Dia... pacar Ayah,” jawabnya akhirnya.

Deg.
Dunia runtuh. Napasku tercekat. Hatiku seperti ditusuk berkali-kali.

“Apa?” bisikku.

“Pacar Ayah,” ulangnya.

Aku menahan napas. “Baru empat puluh hari Ibu meninggal, Yah. Ini serius?”

Dia diam. Aku melihat genggaman tangannya mengencang di setang motor.

“Sudah... berapa lama Ayah pacaran sama dia?”

“Dua tahun.”

Dua tahun?

Aku nyaris terjatuh dari motor. Mataku panas.

“Jadi waktu Ibu masih hidup... Ayah udah selingkuh?” suaraku bergetar.

Ayah tidak menjawab.

Tangisku pecah.

“Selama Ibu sakit, Ayah malah sibuk pacaran?!”

“Ayah nggak bisa ninggalin dia. Dia ngancem mau bunuh diri kalau Ayah pergi,” katanya lemah.

Aku menatap punggungnya dengan amarah yang meledak-ledak. “Biarkan dia mati! Jangan korbankan Ibu, keluarga kita, demi perempuan yang bahkan nggak punya rasa hormat!”

Ayah tetap diam.

Aku berbisik—lirih, tapi tajam. “Ibu tahu?”

“Iya.”

Dan di situ, hatiku hancur berkeping-keping.

Jadi selama ini, Ibu tahu. Tapi tetap diam. Tetap tersenyum. Tetap jadi Ibu terbaik buat kami.

Tangisku tak terbendung.

Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Mengunci pintu. Tak peduli sekeras apa Ayah memanggil.

Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya.

Ayah yang dulu selalu aku banggakan...
Kini terasa asing.

Dan malam itu, aku merasa kehilangan sosok yang sama—untuk kedua kalinya.
---

Sesampainya di rumah, aku segera masuk ke kamar. Tidak menghiraukan panggilannya. Hatiku kacau, pikiranku tidak tenang dan air mataku terus menetes. Bukan aku tidak mebolehkan Ayah menikah lagi setelah kepergian Ibu, tapi ini terlalu cepat... dan ini adalah pengkhianatan.

Aku kembali teringat kejadian satu tahun yang lalu. Aku tak sengaja mendengar kejadian mereka di kamar.

"Kenapa kamu selalu balik ke rumah ibuku? Kamu peduli atau hanya pencitraan saja?"

"Aku peduli padamu."

"Peduli? Aku tidak butuh kehadiranmu. Aku hanya butuh anak-anak pulang dan hadir bersamaku."

Setelah itu, Ayah menutup pintu kamar dan percakapan mereka tak lagi terdengar. Saat itu aku merasa ada yang aneh, tapi tak tahu apa. Kukira hanya berdebat biasa. Mereka selalu terlihat baik-baik saja, jika ada masalah, mereka menyelesaikannya secara diam-diam.

Malam ini aku mengerti, Ibu bukan hanya sakit badan. Ia juga sakit hati dan jiwa. Badannya kurus karena beban pikiran, tapi kami tidak pernah mengetahuinya.

Aku mengerti kini, kasih sayang Ibu memang sepanjang masa. Ia selalu menjadi tempat pulang, menenangkan jiwa, dan tak pernah ingin menenangkan anak-anaknya dengan kekecewaannya.

Aku teringat kembali ucapan dokter yang merawat Ibu di rumah sakit. Ia berbicara dengan Kakak dan Abang, sementara aku hanya mendengarkan.

"Penyakit ibu kalian ini sebenarnya tidak membuat badannya susut begitu cepat, tapi beban pikiran yang membuat dia semakin drop dan berat badannya menurun drastis."

Abang dan Kakak mengangguk, seolah mereka sudah tahu. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Sekarang, saya paham. Luka itu terlalu dalam. Dan aku, anak yang dulu hanya menyaksikan, kini harus berjuang memulihkan diri dari kenyataan pahit yang menghancurkan hati.

---

Empat Tahun Lalu

"Ibu, kenapa ya hujan tuh selalu bikin aku pengen nangis?" tanyaku saat masih kecil sambil memandangi jendela yang dipenuhi rintik. Suaraku lirih, hampir tenggelam oleh denting hujan yang menari di atas atap seng.

Ibu menoleh dari dapur kecil kami, tersenyum sambil mengusap tangannya dengan kain.
"Karena hujan ngerti perasaan kita, Nak. Dia nggak bakal tanya kenapa kamu sedih, tapi dia akan nemenin kamu, diam-diam."

Aku memeluk guling, menatap Ibu dengan mata membulat.
"Ibu kok bisa ngomong gitu sih? Kayak puisi."

Beliau tertawa pelan, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di sebelahku dan memelukku dari belakang, memberikan kehangatan yang tak pernah tergantikan oleh apa pun.

"Ibu," gumamku,
"kalau suatu hari Hafa sendirian... hujannya masih akan nemenin Hafa, kan?"

Ibu terdiam, pelukannya menguat. Di balik senyum lembutnya, ada genangan air mata yang tak sempat jatuh.

"Insya Allah, Hafa nggak akan pernah benar-benar sendirian. Hujan akan tetap turun, dan doa Ibu akan terus naik ke langit, bahkan kalau Ibu udah nggak di sini."

Aku cepat menoleh.
"Ibu ngomong apa sih? Jangan gitu. Ibu harus nemenin Hafa terus. Sampai Hafa besar, sampai nikah, sampai punya anak."

Ibu tersenyum lagi, lalu mencium puncak kepalaku.
"Ibu juga pengen, Sayang. Tapi hidup ini rahasia Allah. Kita nggak pernah tahu siapa yang harus pergi lebih dulu. Tapi satu hal yang harus Hafa ingat, ya?"

"Apa?"

"Hidup boleh nyakitin Hafa, tapi jangan pernah izinkan dunia ini membunuh hati kamu. Karena hati yang hidup itu tempat di mana cahaya Allah tumbuh."

Aku menggigit bibir. Mungkin belum sepenuhnya paham, tapi aku tahu kalimat itu penting. Aku tahu, suatu hari nanti, aku akan kembali ke hujan ini dan mengerti semuanya.

---

Sekarang

Air mataku akhirnya jatuh. Aku tak peduli hujan membasahi pipi yang sudah lama kehilangan warna. Jaket abu-abu ini masih terasa hangat, seolah pelukan Ibu belum benar-benar hilang.

"Ibu," bisikku pelan,
"Hafa kangen. Hafa capek. Tapi Hafa masih inget... jangan matiin hati ini. Jangan biarin cahaya itu padam."

Langit merespons dengan gemuruh petir di kejauhan, lalu kembali sunyi.

Dari kejauhan, suara azan Isya terdengar. Waktu yang dulu biasa kami habiskan bersama di atas sajadah, dengan air wudhu menetes di ubin, dan doa mengalir dari bibir Ibu yang kini hanya tinggal kenangan.

Aku menghapus air mata, lalu berdiri perlahan.

Malam ini, aku ingin salat dengan doa yang lebih panjang.
Doa untuk Ibu.
Doa agar cahaya itu tetap tumbuh, meski tubuh ini lelah dan hati masih luka.

---

Keesokan paginya, aku terbangun dengan mata sembab. Malam tadi aku menangis dalam diam, membiarkan air mata membasahi bantal tanpa suara. Rasa sesak di dada belum juga reda. Aku hanya mengurung diri di kamar, menjauh dari dunia yang terasa tak lagi ramah.

Sinar mentari menembus celah tirai kamarku, memaksa mataku yang masih berat untuk terbuka. Hari ini aku harus kembali ke sekolah. Kembali berpura-pura kuat. Kembali menjalani hari seperti tak ada apa-apa.

Seperti biasa, rumah terasa sunyi. Hanya ada aku, Salsa, dan Mbak Iyem—pengasuh adikku sejak kecil. Ayah sudah pergi entah ke mana, dan Ibu… ya, Ibu sudah tiada.

Dengan langkah berat, aku menyeret tubuhku ke kamar mandi. Jam di dinding menunjukkan pukul enam. Terlambat. Tapi aku tidak ingin bolos. Aku tidak ingin nilaiku turun hanya karena aku sedang rapuh.

Setelah berpakaian dan mengenakan seragam, aku menghampiri Salsa yang duduk manis di meja makan, menyantap bantuan sarapannya dengan Mbak Iyem. Tubuh mungilnya harum, bajunya rapi, dan wajahnya bersinar polos.

“Kakak ke sekolah dulu ya, Sayang.”

Salsa menoleh cepat, senyum mengembang di bibir mungilnya.
“Iya, Kak… Tapi jangan lama-lama ya pulangnya,” ucapnya dengan suara imut yang membuat hati bergetar.

Mata yang bulat dan bulu mata yang lentik dilihat penuh harap. Di usianya yang baru tiga tahun, entah bagaimana ia bisa berbicara sebijak itu.

“Kakak usahakan pulang cepat dan main sama kamu, ya.”

“Ya… Oke, Kakak!” serunya ceria. Ia melompat dari kursi dan memelukku erat.

Pelukan itu membuatku ingin menangis lagi. Tapi aku tahan. Setidaknya, aku masih punya Salsa. Dialah alasanku untuk tetap bersyukur, untuk tetap bertahan.

Mentari semakin tinggi. Cahaya pagi menyinari bumi dengan semangat, seolah-olah menonton langkahku yang berkendara-buru menuju halte. Jantungku berdegup lebih cepat—bukan karena semangat, tapi karena cemas. Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 lewat. Hanya lima belas menit lagi sebelum bel pertama berbunyi.

“Bakal terlambat ini…” gumamku panik.

Aku segera naik ke angkot yang sedang menunggu penumpang.
“Pak, bisa langsung jalan nggak?” tanyaku memberanikan diri.

“Tunggu dulu, Dek. Belum penuh nih,” jawab sopir tanpa menoleh.

“Saya akan terlambat, Pak,” kataku memohon.

Sopir itu menjawab.
"Ya salah sendiri, kenapa telat berangkat? Jam segini mana ada anak sekolah baru keluar rumah."

Aku mendesah kesal.
“Yaelah… malah ceramah,” bisikku pelan.

“Apa, Dek?” tanyanya curiga.

“Enggak, Pak… Nggak ada,” jawabku cepat. Aku hanya bisa pasrah. Entah akan terlambat berapa lama lagi. Toh, aku sudah siap menanggung risikonya.

Sesampainya di sekolah, hatiku makin ciut. Guru piket dan satpam sudah berdiri di pos. Pagar sekolah tertutup rapat. Dari perkenalan, saya bisa melihat upacara sudah dimulai. Jam tayang menunjukkan pukul 07.30. Setengah jam terlambat.

Ternyata, bukan hanya aku yang datang terlambat. Ada beberapa siswa lain juga. Sayangnya, tak satu pun dari kelasku. Aku menarik napas panjang. Pagi masih muda, tapi rasanya sudah sangat melelahkan.

Tak lama kemudian, salah satu guru membuka pagar dan menyuruh kami masuk. Kami diberi teguran.

"Kalian mau jadi apa kalau dari sekarang saja tidak bisa disiplin? Belajar tanggung jawab ya!" suara Bu Santi, guru piket hari ini, terdengar tegas dan menggelegar.

Kami hanya mengangguk patuh. Tak ada yang berani membantah. Setelah itu, kami diberi perintah membersihkan kapling yang telah dibagikan. Sialnya, aku mendapat kapling taman—tepat di depan kelasku.

Malu? Sudah pasti.

Aku bisa membayangkan membayangkan mata teman-teman dari balik jendela. Mungkin ada yang tertawa. Mungkin ada yang mencibir. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk peduli. Yang terpenting, aku masih datang ke sekolah. Itu saja sudah cukup untuk memenuhi hari ini.

Tangan dan seragamku mulai kotor karena tanah dan dedaunan yang kubersihkan dari kapling taman. Sambil bersantai, sesekali aku melirik ke arah jendela kelasku. Benar saja—beberapa teman melihatku dari dalam.

Ada yang tertawa pelan sambil menutup mulut, ada yang hanya melongo. Tapi tak satu pun yang mencoba menyapa atau sekadar menyemangati.

Aku mengulurkan sapu lebih erat. Bukan karena marah, tapi karena mencoba menahan sesak yang tiba-tiba. Aku tahu sejak Ibu meninggal, aku mulai menjauh. Aku jadi lebih pendiam, lebih suka menyendiri. Tapi bukan berarti aku ingin dilupakan.

“Hah, Hafa?”

Aku mendongak. Dua siswi dari kelas sebelah sedang berjalan melintasi taman.

“Lho, kok kamu bisa telat, Fa? Gak biasanya,” ujar Dewi, salah satunya.

“Aku telat bangun, Wi,” jawabku singkat.

"Oooh, semangat ya! Aku ke kelas duluan."

Aku mengangguk dan melanjutkan tugasku.

Beberapa menit kemudian, Bu Rani guru wali kelasku—menghampiri. Beliau dikenal dengan tegas namun penuh perhatian.

“Hafa,” panggilnya lembut.

Aku buru-buru berdiri dan menyeka tangan di celana seragamku yang sudah penuh tanah.

“Iya, Bu…”

“Kenapa kamu terlambat, Nak?” tanyanya nada tanpa marah, sama seperti seorang ibu yang mendidik anaknya.

Aku menunduk.
“Maaf, Bu.Saya kesiangan.”

Bu Rani memandang ke dalam-dalam.
"Kamu biasanya tidak begini. Ibu tahu kamu sedang berjuang. Tapi jangan biarkan kesedihanmu menarikmu terlalu dalam. Sekolah tetap penting, ya."

Aku mengangguk pelan. Mataku mulai panas lagi. Tapi aku tahan.

"Sudah, kamu boleh membersihkan diri dulu di kamar mandi. Setelah itu masuk kelas. Ibu izinkan."

“Terima kasih, Bu.”

Aku berjalan pelan menuju toilet sekolah. Begitu masuk dan cermin menatap, aku nyaris tidak mengenali wajahku sendiri. Mata bengkak, jilbab berantakan, dan ekspresi lelah. Aku ingin sekali menangis lagi. Tapi aku takut jika terus-terusan menangis, aku tak akan pernah selesai.

Aku membasuh wajah, merapikan seragam sebaik mungkin, lalu melangkah menuju kelas.

Begitu kakiku menjejak ruang kelas, semua mata langsung menoleh. Aku mencoba tersenyum, meski terasa kaku.

“Woy, artis masuk!” teriak seseorang dari belakang. Aku tahu suara itu—Rizky. Cowok iseng yang tak pernah kehabisan bahan bercandaan.

Beberapa anak tertawa. Lainnya hanya melirik sebentar, lalu kembali pada aktivitas masing-masing.

Aku berjalan menuju bangkuku di pojok kelas. Beberapa teman tersenyum. Sarah, teman sebangkuku, biasanya ceria. Tapi pagi ini tampak lesu, mungkin sedang tidak enak badan.

Aku duduk perlahan, menarik napas panjang, lalu mencoba mengikuti pelajaran seperti biasa. Tapi sejujurnya, otakku seperti tidak bisa diajak berkompromi hari ini. Semua terasa kabur.

---

Saat istirahat tiba, Vicky datang mendekat. Ia duduk di bangku depan mejaku tanpa banyak bicara. Ia letakkan sekotak roti isi di atas mejaku.

“Gue tahu lo nggak sarapan,” ucapnya pelan.

Aku menoleh, menatap wajahnya. Biasanya dia hanya suka adu kepintaran, tapi hari ini entah kenapa dia terlihat begitu peduli.

“Lo nggak perlu kuat terus, Fa. Tapi lo juga nggak bisa berhenti. Semangat terus, ya.” Suaranya lembut, tapi penuh keyakinan.

Aku mengangguk perlahan.
“Makasih, Vicky… Gak perlu repot-repot.”

Dia tersenyum, lalu berdiri.
"Makan ya. Jangan sampai pingsan, nanti malah tambah drama."

Aku tertawa kecil. Mungkin… hari ini tidak seburuk itu.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Deep Sequence
514      427     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
Trying Other People's World
126      111     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
438      338     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Kembali ke diri kakak yang dulu
766      574     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Help Me Help You
1546      898     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Sweet Seventeen
860      639     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Help Me to Run Away
2626      1175     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
336      247     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
SABTU
2276      915     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Kacamata Monita
749      328     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...