Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Kadang aku bertanya pada diri sendiri, sejak kapan aku pandai menyembunyikan tangis? Sejak kapan air mata menjadi sesuatu yang harus kusimpan rapat-rapat seperti rahasia memalukan? Mungkin sejak dunia mengajarkanku bahwa menangis itu lemah, dan lemah itu tidak boleh. Aku ingat betul sore itu. Langit mendung, seperti perasaanku yang sulit dijelaskan. Aku duduk di pojok kamar, memeluk lutut sambil memandangi langit dari balik jendela kecil yang selalu berembun saat malam tiba. Ada banyak yang ingin aku ucapkan, tapi tak satupun kata mampu keluar dari mulut. Semua hanya menumpuk di dada, menyesakkan, menggedor-gedor untuk keluar, tapi tak pernah menemukan jalan. Bahkan ketika aku ingin menangis, aku menahannya. Bukan karena aku tidak ingin. Tapi karena aku merasa tidak boleh. Karena aku takut jika orang lain melihatnya, mereka akan mengira aku tidak cukup kuat. Padahal yang mereka tidak tahu, aku sudah berperang cukup lama hanya untuk bisa bertahan hari ini.

Di luar sana, aku adalah orang yang ceria. Aku tahu cara bercanda yang tepat, tahu kapan harus tersenyum, tahu bagaimana membuat orang lain nyaman berada di sekitarku. Tapi tidak ada yang tahu, bahwa sepulang dari itu semua, aku akan mengurung diri dalam sunyi. Berbicara pada dinding, pada bayanganku sendiri. Dan kadang, pada Tuhan, meski dengan suara sangat pelan, seperti takut doa-doaku terdengar terlalu lemah. Ada malam-malam ketika aku hanya bisa menatap langit-langit kamar, dengan mata terbuka tapi pikiran kosong. Rasanya seperti tenggelam, tapi tidak tahu di mana permukaannya. Seperti ingin menjerit, tapi tenggorokan terasa terikat. Lalu akhirnya, air mata itu jatuh juga. Diam-diam. Tanpa suara. Karena aku sudah terlalu ahli menyembunyikan tangis.

Aku menyadari, menjadi ‘kuat’ ternyata bisa sangat melelahkan. Apalagi ketika itu menjadi topeng yang harus kupakai setiap hari. Bukan karena aku ingin berpura-pura, tapi karena aku merasa tidak punya pilihan. Dunia tidak selalu memberi ruang untuk orang-orang yang sedang rapuh. Mereka lebih sering menginginkan senyum, tawa, dan semangat yang membara. Mereka jarang bertanya, “Apa kamu baik-baik saja, sungguh-sungguh?” Hari itu aku duduk di halte, hujan turun rintik-rintik, dan aku sedang tidak ingin pulang. Aku hanya butuh waktu sendiri. Di sampingku, seorang anak kecil sedang menangis. Ibunya tampak bingung, tapi tidak marah. Ia memeluk anak itu, membiarkannya menangis di pelukannya tanpa berkata sepatah pun. Dan entah kenapa, adegan itu membuat hatiku terasa aneh.

 

Dalam hati aku berkata, “Seandainya aku juga bisa seperti itu. Menangis di pelukan seseorang, tanpa harus menjelaskan apa pun.” Tapi aku bukan anak kecil. Aku sudah tumbuh dewasa. Dan orang dewasa, katanya, harus bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Harus tahu arah hidup, harus kuat, harus bisa mengendalikan emosi, harus bisa bangkit walau lutut sudah gemetar. Padahal, siapa sih yang benar-benar tahu caranya? Kita semua hanya sedang berusaha sebaik mungkin. Dan kadang, kita gagal. Aku sering merasa iri pada mereka yang bisa jujur tentang perasaannya. Yang bisa menangis di depan orang lain tanpa takut dinilai. Yang bisa bilang, “Aku tidak baik-baik saja,” tanpa merasa bersalah. Sementara aku? Aku hanya tahu cara menyimpan semuanya sendiri. Menumpuknya dalam kotak-kotak kecil di dalam hati. Sampai suatu hari, aku sendiri takut jika kotak-kotak itu pecah dan meledak tanpa peringatan.

Malam-malam seperti ini, aku menulis. Karena hanya lewat tulisan aku bisa jujur. Hanya lewat tulisan aku bisa berkata, “Aku lelah. Aku sedih. Aku takut.” Kata-kata ini tak pernah berhasil keluar dari mulutku saat bersama orang lain. Tapi dengan pena dan kertas, aku tidak perlu khawatir akan dinilai atau dibandingkan. Ada satu kutipan yang pernah kubaca: “Menangis bukan tanda kelemahan. Itu adalah bukti bahwa hati kita masih hidup.” Dan kutipan itu, entah kenapa, menamparku dengan lembut. Mungkin selama ini aku terlalu keras pada diri sendiri. Terlalu menuntut untuk selalu kuat, untuk selalu bisa. Padahal tidak ada salahnya kalau sesekali aku ingin menjadi kecil lagi. Ingin menangis di pelukan seseorang. Ingin berkata, “Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku butuh istirahat dari semua peran yang harus kumainkan. Butuh ruang untuk menjadi rapuh, tanpa dihakimi. Butuh keheningan yang bisa memelukku, bukan yang membuatku semakin kesepian. Tangis yang kusimpan ini bukan karena aku cengeng. Tapi karena aku belajar bertahan. Karena aku tidak ingin menjadi beban. Karena aku belum menemukan tempat yang cukup aman untuk membuka luka-luka yang sudah lama kupendam. Tapi malam ini, aku ingin belajar. Belajar membuka sedikit demi sedikit ruang di hatiku. Untuk menerima bahwa aku juga manusia. Yang bisa lelah. Yang bisa bingung. Yang bisa menangis tanpa harus merasa malu. Dan kalau kamu juga merasa seperti aku — lelah tapi tak tahu harus ke mana, ingin menangis tapi takut dinilai — percayalah, kamu tidak sendiri. Kita mungkin berada di tempat yang berbeda, tapi kita sedang belajar hal yang sama: menerima bahwa kita tidak harus kuat setiap hari.

 

Karena kekuatan yang sesungguhnya, kadang bukan tentang menahan tangis, tapi tentang keberanian untuk mengakuinya.

Terkadang, aku memikirkan versi diriku yang dulu—anak kecil yang tidak ragu menangis saat jatuh, yang dengan polosnya memeluk siapa pun saat takut, yang bisa tertawa dan menangis dalam hitungan detik tanpa merasa aneh karenanya. Versi diriku yang belum mengenal kata “harus kuat” sebagai tuntutan. Dia hanya tahu bahwa menangis adalah bagian dari merasa, dan merasa adalah hal yang manusiawi.

Kapan terakhir kali aku menangis tanpa merasa bersalah?

Aku bahkan lupa.

Tangisku kini bukan lagi tentang suara. Ia senyap, diam, dan dingin. Seperti air hujan yang turun di malam hari saat semua orang sudah tertidur. Tidak ada gemuruh, tidak ada sorotan. Hanya diam yang panjang, menyusup ke dalam tulang, dan hanya aku yang tahu bahwa badai sedang terjadi di dalam diriku. Suatu malam aku berbicara pada diriku sendiri di depan cermin. Aku menatap mata yang sembab, dan bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?” Suara itu pelan, hampir tak terdengar, seperti bisikan dari sisi diriku yang paling rapuh.

Tidak ada jawaban.

Aku hanya menatap, berharap ada seseorang lain dalam pantulan itu yang bisa menjawab untukku. Tapi yang kulihat hanyalah aku—aku yang lelah, aku yang menyimpan semuanya terlalu lama. Dari luar, aku terlihat baik. Senyumku masih ada. Tawa ringan masih sering terdengar. Tapi ada bagian dari diriku yang perlahan-lahan mulai mati rasa. Yang terlalu sering menahan perasaan sendiri, sampai lupa bagaimana caranya merasa utuh. Kadang, aku berharap ada seseorang yang cukup peka, yang bisa membaca diamku, yang tidak hanya bertanya, “Kenapa diam?” tapi benar-benar ingin mendengarkan jawabannya. Yang tidak buru-buru menyuruhku semangat, tapi memelukku dan berkata, “Nggak apa-apa kalau kamu lagi nggak kuat.”

Tapi orang-orang sering kali tidak tahu. Dan mungkin memang bukan salah mereka.

Aku terlalu pandai menyembunyikan tangis.

 

Aku terlalu sering bilang, “Aku nggak apa-apa,” bahkan ketika tubuhku gemetar karena mencoba menahan air mata. Aku terlalu sering tersenyum saat hati rasanya remuk. Aku terlalu sering pura-pura sibuk agar tidak harus menjelaskan kenapa aku merasa kosong. Dan aku tahu, aku bukan satu-satunya yang seperti ini. Di luar sana, banyak yang juga menyembunyikan tangisnya dengan cara yang sama. Lewat tawa, lewat kerja tanpa henti, lewat kata-kata positif yang diulang terus-menerus meski dalam hati mereka sendiri tidak yakin. Tangis itu tidak selalu terlihat. Kadang ia hadir dalam bentuk kecemasan yang tidak bisa dijelaskan. Dalam bentuk tubuh yang lelah tanpa sebab. Dalam bentuk kehilangan arah di tengah kehidupan yang terlihat normal.

Lalu, aku sadar. Tangis yang kusembunyikan bukan kelemahan. Ia adalah bentuk paling jujur dari rasa yang tidak sempat kutuangkan. Ia adalah alarm bahwa ada bagian dari diriku yang butuh direngkuh, bukan ditekan. Malam itu, aku menulis lagi. Kali ini bukan hanya untuk mencurahkan isi hati, tapi untuk mengingatkan diriku sendiri:

"Kamu tidak harus kuat setiap hari. Tidak apa-apa kalau hari ini kamu hanya ingin bertahan. Tidak apa-apa kalau satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah bangun dari tempat tidur dan bernapas. Itu pun sudah cukup.

Ada ketenangan aneh saat aku menulis kata-kata itu. Seperti pelukan dari diriku sendiri, setelah sekian lama aku menolaknya.

Dulu aku pikir aku harus menunggu orang lain untuk memelukku. Tapi ternyata, kadang yang paling aku butuhkan adalah memeluk diriku sendiri. Mengakui luka yang ada, tanpa terburu-buru menyembuhkannya. Hari demi hari berlalu. Aku masih menyembunyikan tangis, tapi sekarang tidak selalu. Ada hari-hari di mana aku membiarkan air mata jatuh, dan aku tidak langsung menghapusnya. Aku membiarkannya mengalir, membasahi pipi, membasuh luka-luka yang tak terlihat. Aku mulai belajar berkata, “Aku lelah,” tanpa merasa bersalah. Aku mulai belajar meminta pelukan tanpa merasa manja. Aku mulai mengerti bahwa menjadi manusia bukan hanya tentang menjadi kuat, tapi juga tentang memberi ruang pada diri sendiri untuk rapuh.

 

 

Suatu malam, seorang teman dekatku berkata, “Aku tahu kamu kuat, tapi kamu nggak harus jadi kuat terus, tahu? Kadang, jadi lemah itu juga bentuk kekuatan.” Aku tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa dilihat. Bukan sebagai sosok yang selalu tegar, tapi sebagai manusia biasa yang kadang ingin berhenti sejenak. Dan malam itu aku menangis—bukan karena sedih, tapi karena merasa dipahami.

Itu tangis yang paling hangat yang pernah aku rasakan.

---

Kini, aku tidak lagi menutupi semuanya. Aku masih belajar, pelan-pelan, untuk tidak malu menunjukkan sisi rapuhku. Untuk tidak merasa bersalah saat aku tidak bisa jadi kuat seperti biasanya. Aku belajar menerima bahwa tangis bukan musuh, tapi teman yang membantuku mengenali isi hatiku. Aku tidak akan lagi memaksa diriku menjadi seseorang yang terus-menerus tersenyum saat sebenarnya aku ingin menangis. Aku akan tetap belajar menjadi bahagia, tapi bukan dengan cara menolak rasa sedih.  Aku percaya, setiap tangis yang kita sembunyikan, suatu hari akan menemukan tempatnya untuk diterima. Dan mungkin, saat itu tiba, kita tidak akan merasa sendirian lagi. Karena kita semua—kamu, aku, mereka—pada dasarnya hanya ingin hal yang sama: diterima, dipahami, dan diizinkan untuk tidak selalu kuat.

Jadi, jika hari ini kamu merasa ingin menangis, menangislah.

Tidak apa-apa.

Tangisanmu bukan kelemahan. Itu adalah keberanian untuk jujur pada dirimu sendiri.

Dan aku bangga padamu.

---

Sejak mulai menerima bahwa aku boleh merasa lemah, sesuatu dalam diriku perlahan berubah. Bukan menjadi seseorang yang tiba-tiba bahagia setiap hari, tapi menjadi seseorang yang tidak lagi menolak kesedihan. Aku mulai mengizinkan diriku merasa, tanpa harus menghakimi perasaan itu. Aku tidak langsung sembuh. Bahkan tidak sepenuhnya merasa lebih baik. Tapi ada kelegaan yang sebelumnya tidak pernah kutemukan. Rasanya seperti menurunkan tas berat yang telah kupanggul terlalu lama. Kakiku masih gemetar, pundakku masih terasa sakit, tapi untuk pertama kalinya aku bisa bernapas sedikit lebih lega.

 

Aku ingat satu malam di mana aku duduk di depan kamar mandi. Lampu padam karena mati listrik, dan aku hanya diterangi cahaya dari lilin kecil yang kugunakan saat mati lampu seperti ini. Hening sekali. Hanya ada suara hujan rintik-rintik di luar jendela, dan detak jantungku sendiri. Saat itu, aku menangis lagi. Tapi kali ini berbeda. Bukan karena terlalu lelah, bukan karena putus asa. Tapi karena aku merasa sedang pulang ke diriku sendiri. Tangisan itu bukan ledakan luka, tapi pelan dan tenang. Seperti sungai kecil yang mengalir melewati celah-celah hati yang mulai retak. Dan saat air mata itu mengalir, aku tahu: aku tidak lagi berusaha menyembunyikannya. Bukan dari orang lain. Tapi dari diriku sendiri.

Sebab kadang, yang paling kejam menuntut kita untuk kuat bukan orang lain. Tapi diri kita sendiri.

Aku dulu terbiasa bilang, “Kamu nggak boleh begini terus,” “Ayo dong, semangat,” “Orang lain aja bisa.” Kalimat-kalimat itu terdengar positif, tapi di saat-saat paling rapuh, itu menjadi cambuk yang menyakitkan. Karena ternyata, yang aku butuhkan bukan dorongan untuk berlari lebih kencang. Tapi izin untuk berhenti sebentar, duduk, dan merasakan semuanya. Seseorang pernah bilang padaku, “Kita ini manusia, bukan mesin. Kita bukan diciptakan untuk terus berfungsi tanpa pernah rusak.” Dan kalimat itu membuatku berpikir panjang. Betapa selama ini aku menekan diriku sendiri untuk terus ‘berfungsi’. Untuk terus jadi produktif, terus jadi pribadi yang menyenangkan, terus bisa mengurus semuanya. Seolah aku tidak punya hak untuk lelah.

Tapi kenyataannya, aku juga butuh waktu. Butuh pelukan. Butuh teman bicara. Butuh malam-malam di mana aku bisa berkata, “Hari ini terlalu berat,” dan tidak dihakimi karena itu.

Butuh lebih banyak orang yang berkata, “Aku di sini,” bukan “Kamu harus kuat.”

Sejak aku mulai jujur pada diriku sendiri, aku jadi lebih peka terhadap orang lain. Aku jadi lebih hati-hati saat melihat seseorang tersenyum tapi matanya kosong. Aku tidak lagi buru-buru menyuruh orang semangat, karena aku tahu rasanya saat kalimat itu justru terasa menyakitkan. Aku belajar untuk menjadi tempat aman—baik untuk diriku sendiri, maupun untuk orang-orang yang kucintai.

Aku belajar untuk berkata, “Kalau kamu butuh tempat cerita, aku di sini,” daripada, “Kamu harusnya bisa atasi itu.” Aku belajar bahwa mendengarkan adalah bentuk cinta yang tidak semua orang bisa berikan. Tapi semua orang butuh. Tangis yang dulu kusembunyikan itu, perlahan mulai menjadi jembatan. Aku tidak lagi sendirian di baliknya. Ada orang-orang yang hadir, yang mau duduk bersamaku dalam diam, yang tidak takut melihat sisi rapuhku. Dan dari mereka, aku belajar bahwa tidak semua orang menuntut kita untuk kuat. Beberapa hanya ingin kita menjadi diri sendiri—apa adanya, luka dan semuanya.

Aku menulis semua ini bukan karena aku sudah sepenuhnya sembuh. Tapi karena aku tahu, pasti ada yang sedang membaca ini dalam keadaan yang sama. Sedang duduk sendirian, berusaha menahan tangis. Atau mungkin sudah menangis, tapi masih merasa bersalah karenanya. Untukmu yang sedang membaca ini dalam diam, aku ingin kamu tahu satu hal:

Kamu tidak aneh. Kamu tidak lemah. Kamu sedang manusia. Dan manusia, seberani apa pun, tetap butuh ruang untuk menangis.

Tangismu bukan aib. Itu bukan tanda bahwa kamu gagal. Itu bukan alasan untuk merasa malu. Justru, itu adalah bukti bahwa hatimu masih bekerja, masih peduli, masih hidup. Aku tahu, kamu sudah berjuang keras. Mungkin kamu tidak mengatakannya pada siapa pun, tapi aku tahu. Dan kamu layak dipeluk, walau hanya lewat kata-kata ini. Kamu layak diistirahatkan dari semua topeng yang terlalu berat untuk terus dipakai.

Dan jika suatu hari nanti kamu merasa cukup aman untuk menangis—menangislah.

Menangislah sampai lega. Sampai sesak itu mereda. Sampai kamu bisa menatap diri sendiri di cermin dan berkata, “Aku bangga karena aku bertahan.” Kamu tidak harus kuat setiap hari. Tidak hari ini. Tidak besok. Tidak selamanya.

Yang kamu butuh hanyalah jadi kamu.

Dan itu sudah cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
197      138     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
To the Bone S2
392      285     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
90      83     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
Nobody is perfect
13752      2479     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Yang Tertinggal dari Rika
1626      912     10     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Imperfect Rotation
155      136     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Langit-Langit Patah
25      23     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Simfoni Rindu Zindy
696      517     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Segitiga Sama Kaki
590      417     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...