Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Sedan hitam itu melaju dalam kecepatan stabil. Radio di dasbor mengalunkan lagu pop pelan, tetapi suasana di dalam mobil tetap terasa tegang. Vincia duduk di kursi belakang, memandangi pemandangan jalanan yang buram lewat kaca jendela. Sesekali, embun tipis mengaburkan pandangan.

“Apa kau suka membaca komik, Vincia?” tanya Frita santai sambil membalikkan badan sedikit.

Vincia mengangkat alis. “Tidak. Komik itu terlalu kekanak-kanakan.” Suaranya datar, tetapi nada sarkastisnya jelas terasa.

Frita terkekeh kecil, tidak menyadari ketegangan yang mulai merambat. “Ya ampun, pacarku seorang komikus, lo.”

Vincia tersenyum miring. “Oh, kalian pacaran? Sejak kapan?”

Hem, baru-baru ini, sih. Sekitar 4 hari sebelum wisuda.

“Wah, cepat juga ternyata,” guman Vincia dengan suara pelan, lalu menaikkan volume suara untuk kalimat selanjutnya, “selamat, ya.”

“Terima kasih, Vincia,” ujar Frita tulus, lantas menyentuh lembut bahu Valdo, “eh, Sayang, tolong mampir di toko kue depan, ya. Aku mau beli bronis untuk anak-anak.”

Valdo hanya mengangguk, kemudian memarkirkan mobil di depan toko yang dimaksud Frita.

“Aduh, parkirannya penuh,” keluh Frita, “aku saja yang turun, ya. Cuma sebentar, kok.”

Kemudian Frita meninggalkan mobil yang langsung ditelan kecanggungan.

“Kata Frita, lukisan temannya dirusak seseorang. Apa itu lukisanmu?” tanya Valdo memecah keheningan. Ia menatap Vincia melalui kaca spion tengah.

Banyak pertanyaan yang menumpuk dalam benak Vincia. Gadis itu tidak menyangka bahwa Valdo yang justru akan memulai percakapan lebih dahulu.

“Kenapa? Kau mau memastikan bahwa rencanamu berjalan lancar?” Entah mengapa, hanya kalimat ketus itu yang meluncur cepat dari bibir Vincia.

Glabela Valdo berkerut tidak senang. “Apa maksudnya dengan ‘rencana’?”

“Kau lebih tahu, Valdo,” gerutu Vincia, “bisa saja kau yang merusak lukisanku.”

“Ha?” Rahang Valdo terbuka seiring tubuhnya menoleh ke belakang. “Kau kira aku punya cukup waktu untuk menyusup ke kampus dan mencoret-coret lukisanmu? Yang bahkan aku tidak tahu, kau simpan di mana.”

“Seharusnya, kau tahu kalau selama ini mendengarkan saat aku bercerita,” sahut Vincia seraya melipat tangan depan dada.

“Aku bertanya karena khawatir padamu, Vincia. Kenapa kau malah terdengar kesal?”

“Kau sendiri yang pernah mengancamku. ‘Ingat, Vincia. Kau akan menyesal’, katamu. Apa kau lupa?” sergah Vincia,

Rahang Valdo mengetat. “Bukan berarti aku dendam. Maksudku, kau akan menyesal karena aku sukses menjadi komikus. Kau dengar sendiri cara Frita membanggakan aku, sementara tadi kau bilang komik itu kekanak-kanakan.”

“Memang betul, kan?” tuduh Vincia, “sikapmu terlalu kekanak-kanakan dalam menanggapi hubungan kita. Bisa-bisanya kau mendekati perempuan lain saat masih bersamaku. Kau bahkan pindah dari kos-kosan tanpa memberitahuku.”

“Karena kupikir kau tidak akan peduli. Kau sudah tidak pernah datang lagi menemuiku, tapi aku tidak pernah berniat menyakitimu,” sesal Valdo dengan wajah tertekuk muram, “waktu aku ke kampusmu dua bulan lalu, itu kali pertama aku melihat Frita. Hari itu sebenarnya aku datang membawakan bunga untukmu, tapi—”

“Tapi kau berikan pada Frita?” sambung Vincia cepat. Benaknya memutar ingatan akan hari di mana Frita berterima kasih atas sarannya sambil membawa buket mawar. “Begitu juga saat di galeri, kan? Kau datang untuk menemui Frita di pameran dengan tiket khusus yang kauminta dariku.”

Valdo terdiam sesaat lalu mengangguk. “Aku memang salah, Vincia. Jadi, jangan pernah berpikir kalau Frita merebutku atau menjadi selingkuhanku. Dia tidak tahu apa-apa.”

Vincia mendengkuskan tawa. “Bahkan sekarang Vinz sangat mirip dengan Frita, ya. Apa kau lupa dengan siapa kau merancang outline cerita Paint the Rain?”

“Ada apa, sih, Vincia? Dulu kau bukan orang yang seperti ini,” cibir Valdo, “dulu kau selalu sabar dan tidak pernah marah-marah begini.”

“Karena aku manusia, Valdo. Bukan karakter komik yang bisa kau hapus sesuka hati,” tandas Vincia sebelum bunyi pintu mobil dibuka yang Frita memutus percakapan singkat mereka. 

“Maaf, ya, antrenya lama,” kata Frita dengan riang. Sama sekali tidak terdengar kesal atau kecewa.

“Tidak apa-apa, yang penting tidak kehabisan bronis,” sahut Valdo sambil tersenyum lembut. Perlakuan yang tidak pernah Vincia dapatkan saat mereka masih bersama.

“Kau benar, aku sangat beruntung,” ujar Frita balas tersenyum lantas mengeluarkan 3 kotak mika dari kantung plastik, yang salah satunya diberikan pada Vincia, “ini tiramisu, katanya produk terbaru. Jadi, aku coba beli untuk kita.”

“Terima kasih,” ujar Vincia lirih sambil menerima kotak itu. Kemudian memberikan hadiah wisuda untuk Frita. “Maaf, aku terlambat memberikannya.”

“Wah, ini benar-benar cantik. Terima kasih, Vincia,” ujar Frita sambil memeluk stoples kaca itu dan tersenyum hingga kedua matanya menyipit.

Frita kembali menghadap depan, lalu membuka satu kotak. “Ayo kita coba, apa ini lebih enak dari buatanku,” ujarnya pada Valdo yang sedang memperhatikan celah agar mobil bisa kembali ke jalan.

Vincia hampir bersuara, tetapi Valdo sudah membuka mulut ketika Frita menyuapinya sesendok tiramisu.

“Bagaimana? Enak?” tanya Frita antusias menunggu jawaban.

Anggukan kepala Valdo, membuat jantung Vincia mencelus.

Ketika mobil akhirnya kembali melaju, Vincia  menyandarkan kepala ke jendela. Diam-diam, menyeka air matanya.

Sisa perjalanan itu terasa sangat panjang.

***

Sore itu, udara hangat. Cahaya matahari condong, menyusup lewat celah dedaunan. Di teras rumah Vincia, Valdo duduk santai di kursi kayu, buku sketsa di pangkuan. Pensilnya sibuk menari di atas kertas, menggambar wajah-wajah tokoh komik yang entah sudah mengisi berapa halaman. Sesekali lelaki itu merapikan rambut yang jatuh ke kening, tidak benar-benar memperhatikan sekitar.

Vincia melangkah ke teras, membawa dua piring kecil berisi tiramisu buatannya. Lapisan krim yang lembut bertabur bubuk kakao di atasnya. Sementara aroma kopi dan vanila tercium manis dan hangat.

‘Aku buat ini kemarin malam,’ ujar Vincia tersenyum bangga sambil meletakkan piring di meja kecil di antara ia dan Valdo.

Vincia duduk, bersamaan dengan Valdo yang sekilas menatap tiramisu di atas piring. Lelaki itu tersenyum tipis, kemudian tangannya meraih sendok kecil, mencicipi satu suapan.

Selama menunggu komentar, Vincia diam. Harap-harap cemas. Aroma kopi dan cokelat masih menggantung di udara. Namun, setelah suapan kedua, Valdo meletakkan sendoknya ke piring.

Senyum Vincia perlahan luntur, tetapi ia tetap berusaha tertawa kecil. ‘Tidak enak, ya?’

‘Enak, kok,’ sahut Valdo, ‘tapi aku memang tidak pernah suka tiramisu. Rasanya aneh, karena seharusnya kopi itu diminum bukan dimakan.’

Suasana teras mendadak terasa lebih dingin, meskipun matahari masih bersinar. Vincia tersenyum tipis, pura-pura santai. ‘Oh … iya. Maaf, aku tidak tahu kalau kau tidak suka tiramisu.’

Valdo kembali menunduk ke sketsanya. Tidak cukup peka untuk menyadari perubahan di wajah Vincia. ‘Oke. Tidak apa-apa. Terima kasih sudah membuatkan kue untukku.’

Angin sore berembus. Vincia menyendok potongan tiramisu itu pelan. Rasanya manis dan pahit. Persis seperti detik itu.

‘Oh, ya, aku antar jam berapa ke Jubookya?’ tanya Valdo sambil tetap fokus menggambar sketsa.

‘Jam 5,’ jawab Vincia lirih.

‘Oh,’ sahut Valdo sambil melihat jam tangan, ‘masih ada waktu 2 jam. Aku selesaikan gambar desain karakter dulu, ya.’

Vincia hanya mengangguk, lantas menunduk sambil memainkan kelim bajunya. Hatinya terasa hampa. Seharusnya, ini hanya sesuatu yang sepele, tetapi membuat dadanya terasa sesak. Ia lalu bangkit, masuk kembali ke rumah dengan alasan mau mengambil minum. Padahal lebih karena tidak ingin Valdo melihat matanya yang tiba-tiba basah.

***

Siang itu, ruang tengah panti asuhan dipenuhi suara riang anak-anak. Tangan mereka berlepotan cat warna-warni. Kuas-kuas kecil menari di atas kertas gambar, menimbulkan perpaduan warna acak yang entah apa maknanya, tetapi tampak begitu jujur. Vincia duduk di lantai, diapit dua anak perempuan yang sibuk mencampur cat air.

Frita dengan mudahnya bercanda dan tertawa bersama anak-anak. Ia membantu satu per satu, mengikatkan apron, membersihkan tangan belepotan cat, memuji lukisan-lukisan polos itu seolah-olah karya seni di galeri. Gadis itu tampak luwes dan sudah terbiasa.

Berbeda dengan Vincia yang membutuhkan waktu lebih lama untuk membaur. Namun, ketika seorang bocah laki-laki menepuk-nepuk bahunya sambil memperlihatkan gambar rumah dengan matahari senyum, Vincia tersenyum.

"Bagus sekali," puji Vincia tulus,  sambil menggenggam kertas dengan kedua tangan.

Anak itu tersipu. “Apa kakak bisa gambar kayak begini?”

Vincia mengambil selembar kertas kosong, lalu mulai membuat sketsa cepat: rumah, pohon, matahari, anak kecil berlari. Anak-anak lain mendekat, penasaran. Mereka berkerumun seolah-olah sedang menonton pertunjukan yang seru.

Tiba-tiba ruangan itu terasa lebih nyaman bagi Vincia. Ia jadi melupakan sejenak soal Valdo. Tentang lukisannya yang rusak. Begitu juga dengan keheranannya karena sindiran Gohvin yang mulai memudar dari kesehariannya.

Di saat itulah, Vincia menyadari sesuatu. Tangan yang menggenggam pensil seketika berhenti. Seakan-akan ada yang menekan tombol pause imajiner di udara.

Anak-anak ini menggambar bukan untuk dipuji, bukan untuk dipajang di pameran, bukan juga untuk dibandingkan siapa yang lebih baik. Mereka menggambar karena ingin, karena senang. Karena itu cara paling jujur bagi mereka untuk mengekspresikan diri.

Vincia menatap jemarinya yang memegang pensil. Mungkin, selama ini ia terlalu sibuk ingin diakui. Terlalu sibuk merasa takut karyanya tidak bisa cukup baik. Padahal awalnya ia mulai menggambar hanya karena itulah kegiatan yang mengundang bahagia di hati.

Dan ia ingin merasakannya lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Mimpi & Co.
1615      996     3     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Matahari untuk Kita
1788      716     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Tanpo Arang
77      66     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut โ€œmelayangโ€. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri โ€” terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
172      141     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
2036      524     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Smitten Ghost
265      216     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Bisikan yang Hilang
80      73     3     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Unframed
1264      745     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Glitch Mind
56      52     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Simfoni Rindu Zindy
1368      843     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...