Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Ingatan akan apa yang terjadi Sabtu kemarin masih sesekali muncul di benak Vincia. Beruntung, itu tidak sampai membebaninya. Ia masih bisa beraktivitas seperti biasa. Tentu saja dengan bantuan sindiran dari Gohvin yang menyadarkan akal sehat.

 

Senin terakhir di bulan Januari dihiasi langit kelabu. Udara kampus lebih dingin dari biasanya, angin pagi membawa aroma petrikor sisa hujan semalam. Namun, Vincia tetap berjalan menuju kampus.

Begitu tiba di ruang atelir, Vincia membuka pintu. Ruangan itu lengang tanpa kehadiran orang selain dirinya. Hanya terdengar detik jam dinding di antara bau cat minyak yang mengisi udara. 

Tangan Vincia merogoh dompet di tas, mengambil kunci kecil. Bunyi klik terdengar saat kunci diputar. Ia membuka loker penyimpanan lukisan. Gadis itu menarik napas, menarik keluar kanvas yang sejak Jumat lalu ditutup kain putih. Ujung kain ia angkat pelan.

Saat kain itu tersibak, jantung Vincia membeku. Tangannya gemetar saat menyentuh permukaan kanvas. Bekas sayatan pisau cutter begitu jelas, meninggalkan guratan dalam di lapisan cat minyak.

Jantung Vincia berdetak kencang. Sepasang netra gadis itu masih menatap lukisan itu, tidak percaya. Pandangannya menyusuri sekeliling ruangan. Tidak ada siapa-siapa.

Vincia meraih kain, berniat menutup kembali lukisan yang sudah rusak parah. Tengkuk gadis itu merinding. Ia tidak menyangka ada yang tega melakukan ini padanya. 

***

Tangan Vincia masih gemetar saat keluar dari atelir lukis. Ia menggenggam erat kunci loker di saku. Langkah gadis itu cepat menuju pos sekuriti kampus. Tangannya dingin, detak jantungnya kacau. Ia harus tahu siapa yang masuk ke atelir lukis untuk merusak lukisannya.

Akan tetapi, keinginan Vincia mendapat penolakan langsung. 

“Mohon maaf, tapi peraturan kampus tidak mengizinkan mahasiswa melihat CCTV tanpa surat izin.”

Kalimat itu diucapkan satpam dengan nada datar, tanpa peduli raut panik di wajah Vincia.

“Tapi, lukisan saya dirusak, Pak. Saya cuma mau lihat siapa yang masuk ke ruang lukis hari itu.” Suara Vincia bergetar, nyaris memohon.

Satpam itu tetap menggeleng, menolak. “Dari sana, aturannya sudah begitu.”

Vincia mundur perlahan, tubuhnya limbung. Tungkai gadis itu berayun tanpa arah melewati koridor kampus yang sepi. Matanya panas. Rasanya dunia makin sempit.

Langkah Vincia terasa berat. Ia memandang keluar jendela. Cahaya matahari menyelinap di sela pohon, tetapi semuanya terasa kabur. Ia menggigit bibir, dadanya terasa sesak. Tangan yang tadi menggenggam erat kunci loker kini lunglai di sisi tubuh

Dari sisi lain koridor, Frita berjalan ke arah sebaliknya. Gadis itu mengenakan blus jingga dan rok kain berbiku-biku. Rambutnya diurai rapi layaknya model iklan sampo. Tangannya menggenggam map. Glabelanya berkerut saat ia menghentikan langkah begitu melihat wajah Vincia yang pucat.

“Vincia, ada apa?” tanya Frita dengan raut khawatir. Tangannya menyentuh lembut lengan atas Vincia, ditambah sedikit guncangan pelan, “ayo, kuantar ke ruang kesehatan.”

Vincia menggeleng. Ia hampir tidak bisa menjawab, tetapi suara itu akhirnya pecah juga. “Lukisanku … ada yang merusak lukisanku.”

Kelopak mata Frita melebar. “Serius? Sudah coba lapor?”

“Aku sudah ke satpam untuk melihat rekaman CCTV, tapi ditolak karena tidak ada izin,” sahut Vincia lirih.

Tanpa banyak tanya, Frita menarik lengan Vincia, mengajaknya kembali ke pos satpam. Begitu Frita yang bicara, semuanya jadi lebih mudah. Satpam yang tadi keras kepala itu langsung berubah sikap. Tidak lama, rekaman CCTV Sabtu sore diputar.

“Oh, iya. Boleh saja,” ujar satpam itu sambil menggerakkan kursor, “tapi jangan lama-lama, ya.”

Mereka bersama-sama menonton rekaman di monitor. Vincia menahan napas saat video hari Sabtu sore diputar. Layar memperlihatkan lorong depan atelir lukis. Kamera menangkap Vincia keluar dari ruang lukis, menutup pintu, lalu berjalan ke arah tangga.

Vincia menelan ludah, kepalanya berputar. Frita menoleh padanya, wajahnya ikut tegang.

Rekaman dipercepat hingga malam. Tidak ada siapa pun masuk. Hari Minggu, layar tetap tidak menampilkan pergerakan.

Masuk ke Senin pagi, kamera menangkap Vincia datang kembali. Tidak ada orang lain yang terekam di antara itu.

Ekspresi Vincia membeku. Hatinya seperti dihantam palu. “Tidak mungkin,” bisiknya dengan bibir gemetar.

Vincia mengepalkan tangan. Matanya terpaku ke layar. Lalu siapa?

***

Kafetaria kampus masih sepi pagi itu. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk menatap layar laptop atau menyeruput kopi. Vincia duduk di pojok dekat jendela, menatap kosong ke luar. Sepiring roti isi selai stroberi dan secangkir teh hangat di depannya tidak disentuh. Pikiran gadis itu masih berat, rekaman CCTV yang tadi ia tonton terus bergema di kepala.

Frita datang membawa nampan, duduk di seberang tanpa banyak basa-basi. Di hadapannya, semangkuk bubur ayam dan segelas jus timun. 

“Aku masih tidak habis pikir, siapa yang tega mencoret-coret karya orang lain begitu?” ujar Frita lantas meneguk jusnya.

Glabela Vincia berkerut. Namun, ia tidak punya cukup energi untuk meralat dugaan Frita.

“Mau coba buburnya?” Frita mendorong sedikit mangkuknya ke arah Vincia.

Namun, Vincia hanya menggeleng lemah. Selera makannya menurun drastis ke garis minus.

Frita menarik kembali mangkuknya. “Vincia, itu jelas kejadian yang buruk, tapi jangan biarkan satu peristiwa merusak seluruh harimu. Kau harus makan supaya punya tenaga untuk melukis ulang atau sekadar menendang tulang kering orang yang merusak lukisanmu,” ujarnya mencoba bergurau.

Vincia tersenyum tipis dan masam. “Tapi itu bukan lukisan biasa. Itu lukisan untuk tugas akhir.”

“Mau aku temani menemui dosen pembimbing?” tanya Frita, “kau bisa berdiskusi lagi. Siapa tahu lukisan itu bisa diperbaiki, jadi tidak perlu mengulang lagi dari awal.”

Vincia menggeleng. “Tidak akan bisa diperbaiki. Aku harus melukis ulang dari awal.”

“Kalau begitu, kau harus makan, Vincia,” saran Frita dengan senyum lembut.

Vincia menggeleng pelan. Tangannya cuma memegang garpu, memainkannya di pinggir piring. “Aku lagi tidak lapar.”

Frita tersenyum kecil, lalu mulai makan. “Aku tahu perasaanmu sekarang pasti campur aduk dan kacau. Tapi, kau tidak sendirian, Vincia. Aku siap membantu yang aku bisa.”

“Bagaimana kalau bantu cari pelakunya?” pinta Vincia.

Frita meletakkan sendok, mencondongkan badan ke arah. “Pasti ketemu, aku yakin. Soal CCTV itu bisa jadi cuma kesalahan sistem. Bisa aja ada sesuatu yang luput dari perhatian kita. Atau orangnya lewat waktu kamera sedang tidak menyala.”

Vincia mengangguk pelan, walaupun jelas masih berat memercayai.

“Oh, ya, Jumat ini jadi ikut mengajar lukis di panti asuhan?” tanya Frita mengganti topik, “kalau misal masih butuh waktu untuk menenangkan diri, boleh, kok, Vincia. Jangan memaksakan diri, ya.”

Vincia sempat diam beberapa detik, teringat kerusakan pada lukisannya. “Aku tetap mau ikut,” jawabnya kemudian.

“Kau yakin?” tanya Frita prihatin.

Vincia mengangguk mantap. “Jam berapa? Lokasi panti asuhannya di mana?”

“Kumpul di kampus saja, jam setengah sembilan. Apa kau bisa?” tanya Frita mendapat anggukan dari Vincia, “nanti kita berangkat bersama.”

“Baiklah,” sahut Vincia dengan perasaan lebih ringan.

“Omong-omong, Sabtu kemarin kau menghilang ke mana?” tanya Frita mengganti topik lagi, “aku mencarimu.”

“Eh,” gumam Vincia rikuh pada arah pembicaraan yang tiba-tiba berbelok. Ia bahkan sudah hampir lupa dengan kejadian di hari wisuda, “aku mendapat telepon, ada keluarga berkunjung, jadi harus cepat pulang.”

“Oh.” Frita mengangguk-angguk pada dusta yang lancar diucapkan Vincia. Senyum tipis melengkungkan bibirnya yang penuh. “Sejujurnya, aku tidak menyangka bisa mengobrol denganmu, Vincia. Sejak masih mahasiswa baru, aku mencoba berteman denganmu, tapi kau selalu diam dan tertutup.”

Canggung, Vincia menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Eh, iya. Maaf.”

“Eh, jangan minta maaf,” ujar Frita seraya melambaikan tangan, “yang penting, sekarang kita berteman, kan?”

Untuk sedetik, Vincia memandangi ekspresi riang Frita. Ia menelan ludah, lalu mengangguk setuju.

***

Vincia duduk di bangku taman kecil kampus. Di sampingnya ada tas kertas berisi sekotak cat air, buku sketsa kecil, dan hadiah wisuda yang tertunda untuk Frita. Jemarinya sibuk memainkan tali tas rajut selempang yang kemarin sudah dicuci, berusaha meredakan gelisah yang sulit dijelaskan.

Hari ini, Vincia memutuskan ikut ke panti asuhan. Ia berusaha bisa fokus, meskipun pikirannya tetap berlarian ke mana-mana. Terutama pada lukisannya yang rusak. Serta sikap Gohvin yang akhir-akhir ini lebih banyak diam. Sesekali gadis itu menatap layar ponsel, memastikan tidak melewatkan pesan atau panggilan dari Frita.

Beberapa menit kemudian, langkah cepat Frita muncul dari arah parkiran. “Vincia, terima kasih sudah datang,” sapa Frita sedikit terengah-engah. Sepertinya gadis itu berlari-lari ke sini.

Vincia baru hendak berdiri saat melihat sosok di belakang Frita. Napasnya tersekat. Seolah-olah udara di sekeliling ikut menipis.

Valdo menatap lurus ke arahnya. Seketika tubuh Vincia membeku. Lelaki itu mengenakan kaus abu-abu, tangan dimasukkan ke saku celana jeans biru. Tatapan mata mereka sempat bertemu sejenak. Dingin dan hambar.

“Hari ini, pacarku sedang tidak sibuk, jadi dia bisa mengantar kita,” ujar Frita sambil menggandeng lipatan siku Vincia dengan ceria, tidak menyadari ketegangan itu, “ayo, berangkat.”

Vincia hanya mampu mengangguk, bibirnya kelu. Jantungnya berdebar tidak keruan. Dunia rasanya mengecil, hanya menyisakan suara langkah kaki Valdo yang berjalan di belakang dan deru angin di telinga.

Ini akan jadi perjalanan yang canggung.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
354      260     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiriโ€”yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapasโ€”menulis email ke dirinya di masa dep...
Broken Home
29      27     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Penantian Panjang Gadis Gila
279      216     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Epic Battle
484      377     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
Andai Kita Bicara
574      458     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Spektrum Amalia
736      494     1     
Fantasy
Amalia hidup dalam dunia yang sunyi bukan karena ia tak ingin bicara, tapi karena setiap emosi orang lain muncul begitu nyata di matanya : sebagai warna, bentuk, dan kadang suara yang menghantui. Sebagai mahasiswi seni yang hidup dari beasiswa dan kenangan kelabu, Amalia mencoba bertahan. Sampai suatu hari, ia terlibat dalam proyek rahasia kampus yang mengubah cara pandangnya terhadap diri sendi...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
116      99     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Wabi Sabi
96      74     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasaโ€”mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
No Longer the Same
353      261     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
Ilona : My Spotted Skin
500      358     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...