Suasana ramai kelas entah mengapa membuat Khandra tenang. Ia suka melihat para siswanya mulai bersuara yang artinya mereka mulai berdiskusi. Meskipun masih ada beberapa yang terlihat malas dan tidak mau belajar.
“Pak! Izin bertanya, pak!” salah satu siswinya menunjuk tangan.
Khandra tersenyum lalu membalas, “Silakan.”
“Pada soal pertama itu, kenapa kita memakai 1-cos^2 x? Kenapa gak 1-sin^2 x aja, pak?”
Wajah Khandra yang awalnya terlihat keras mulai melunak dan mencoba menata kata di kepalanya, agar yang ia jelaskan bisa tersampaikan. Namun, sebelum ia membalas, siswanya yang lain menunjuk tangan. “Boleh saya jawab, pak?” Khandra mengangguk sebagai jawaban.
Di saat siswa itu menjawab, satu hal membuat Khandra melihat bayangan aneh itu lagi. Ia baru menyadari, kelas ini merupakan kelas yang sama saat ia sekelas dengan Divya. Letak tempat duduk siswa itu persis tempatnya dulu. Begitupun dengan siswi itu, tempat duduk Divya. Meski lumayan berjarak jauh, ia dapat melihat bayangan dirinya di masa lalu pun Divya saat itu. Membuatnya terpaku sejenak. Dulu, ia suka sekali menyadari kehadiran Divya didekatnya.
•••
Seakan berlari, waktu berlalu begitu cepat. Rasa kagum yang sering tak diakui itu justru semakin berkembang. Aku semakin senang dengan keberadaannya di kelas. Pagi hari rasanya menyenangkan melihatnya duduk dikursinya dengan beberapa teman di sekitarnya. Tempat duduk yang lumayan jauh membuatku lebih mudah menatapnya diam-diam. Entah apa yang mereka bicarakan, jika itu mengundang tawanya, tanpa sadar membuatku semakin jatuh dan akan selalu jatuh.
Rasa yang ditolak itu justru semakin kacau, hanya karena keberadaannya yang berada dalam radarku. Kali ini aku menyerah. Benar, aku sedang jatuh cinta padanya. Ia tidak berbuat apa-apa padaku, ia hanya ada. Anehnya, aku justru merasakan suka. Dasar perempuan gila.
Beberapa indraku justru mengingatnya secara lekat. Mataku selalu memperhatikannya. Telingaku suka mendengarnya bersuara. Kehidupannya seakan menjadi film favoritku, hal yang selalu membuat penasaran.
Pembelajaran telah selesai, aku belum bisa pulang dikarenakan kami olahraga di jam 4 sore nanti. Sehingga bagi yang rumahnya jauh sepertiku, harus menunggu di kelas beberapa jam dan membawa baju ganti olahraga. Begitu pula dengannya, Khandra. Ia juga menunggu dan tidak pulang karena alasan yang sama denganku. Selama menunggu, aku hanya diam dikursi sembari memainkan ponsel. Teman sebangku ku Aya juga tidak pulang karena kami memang sekampung. Ada kira-kira 5 orang dari kelasku yang tidak pulang.
Sejujurnya aku tidak terlalu suka bermain ponsel diluar ruangan kamar, jadi aku lebih terbiasa melihat sekitar. Ya, lagi dan lagi, aku menatapnya dari jauh. Baik suara yang keluar darinya pun juga dari ponselnya dapat ku dengar dan amati. Ternyata ia si penonton anime jepang. Anime yang bisa ku tahu dari suaranya itu adalah Naruto, dan juga One Piece.
Jujur, aku ingin sekali bisa mendekatinya, bertanya apapun yang bisa membuat interaksi diantara kami berjalan dengan lekat. Namun, diriku tak mampu. Ada ego dan insecurity yang menelanku dalam-dalam. Selain aku yang memang gengsian, ada rasa takut diabaikan datang karena ia berada di kasta yang lebih dariku. Ia dicintai semua orang, sedangkan aku tidak dikenal oleh siapapun. Aku hanya rajin belajar, tetapi ia pintar. Terlalu jomplang.
Padahal aku bisa membuat interaksi darinya yang suka dengan Naruto, karena aku juga penggemar anime tersebut. Yah, aku memang si penyerah itu. Nyaliku bisa dikatakan minus. Si pengecut yang justru jatuh cinta pada Sang idola sekolah. Mana bisa bersatu, iya ‘kan? Membuatnya sadar saja tidak bisa.
Bagaimana bisa? Jika berpapasan dengannya di lorong, yang kulakukan justru memalingkan wajah, enggan untuk menyapa. Bukan sombong, tapi takut. Takut jatuh terlalu dalam, karena sapaan itu pasti bermula dari senyuman. Maka aku, yang bahkan melihatnya tersenyum dari jauh membuat jantung tak karuan. Lantas, bagaimana bisa aku saling menatapnya dengan senyumnya? No no, ah ah. Aku tidak mau jatuh lebih gila lagi dari ini. Cukup.
Waktu berjalan cukup cepat, hingga menandakan jam setengah 4. Sebelum ashar, Aku bersama Aya mengganti baju dulu di toilet dekat kelas. Yang lainnya juga.
Setelah menggantinya, kami berdua menanti Adzan ashar sebelum olahraga dimulai. Sampailah yang ditunggu akhirnya datang, aku berjalan menuju mushala dengan tergesa seperti biasa, meninggalkan Aya yang berjalan santai.
“Tunggu dulu, ih. Ngapain lari coba?” cetus Aya yang sebal denganku.
Senyum terukir di wajahku. “Lo aja yang lelet,” ujarku sembari mengeluarkan lidah sebagai ledekan untuknya.
Aya hanya bisa menggeleng melihat kelakuanku.
Setelah wudhu, aku mengambil mukena yang berada di sebuah lemari. Ada seseorang yang membuatku salfok. Khandra yang telah selesai berwudhu. Kenapa bisa terlihat sangat—ah, aku tidak mau menjelaskannya. Terlalu keterlaluan untuk diriku yang memang gila ini. Aku memalingkan wajah karenanya. Tidak mau mengganggu fokus shalat, karena hal bodoh seperti itu.
Setelah shalat berjamaah, mulai lah untuk menjadi gila lagi. Dalam keadaan melipat mukena, aku melihatnya yang sedang memperbaiki rambutnya yang basah. Gila. Gagah banget? Oke, aku tidak mau melihat ini dengan berlama-lama. Senyumku mulai tak karuan. Gila. Aku sudah terlalu gila. Aku tidak mau melihatnya lagi. Bodoh. Aku tidak mau dan tidak akan.
Akhirnya kami dikumpulkan di lapangan sekolah. Selain X-IAC ada X-ISA yang bergabung dengan kami. Di sekolah ini, olahraga digabung dengan 2 kelas. Pada kelas sebelah itu, aku menyapa teman yang sekelas saat SMP dulu. Layaknya bocah, aku mencoba lebih banyak interaksi dengan temanku itu. Ya, dia lelaki. Aku juga tidak paham dengan diriku. Aku terbiasa begitu untuk membuat orang yang kusuka cemburu. Padahal yang disuka belum tentu suka balik. Bodoh.
Pada pembelajaran olahraga itu, aku menghilangkan rasa peduliku padanya. Lagi-lagi si pengecut ini, sok mengubah rasa, padahal aslinya takut jatuh sedalam-dalamnya. Ia terlalu tidak mungkin, untukku yang suka tidak jelas dalam rasa. Lagu itu terdengar,
Meskipun tak mungkin lagi, tuk menjadi pasanganku. Namun kuyakini cinta, kau kekasih hati~
Meskipun rasa ini ada dan ia juga tak memiliki siapa. Tapi aku benar-benar tidak suka jika rasa ini terlalu dalam. Aku tidak mau rasa yang sederhana ini berubah menjadi obsesi yang tak berkesudahan.
Aku mencoba melihatnya kembali. Rasa itu akhirnya menipis, aku melihatnya berinteraksi sedekat itu dengan Celin. Aku benar-benar tertawa. Rasa yang besar itu ternyata semudah itu juga patahnya. Memang, disaat jatuh cinta. Akan hanya ada dua rasa. Jatuh, dan, Cinta. Semudah itu untuk merasa cinta, semudah itu juga untuk merasa jatuh.
Aku tersenyum kecut. Harusnya aku tidak menaruh rasa secepat itu. Harusnya rasa itu tidak ada untuknya. Harusnya perasaan itu tidak datang. Harusnya semesta tidak mempertemukannya denganku. Harusnya... Aku cukup sadar diri untuk memutuskan menaruh hati pada siapa.
•••
Setelah bunyi bel pulang berbunyi, suara berisik dari sebelah kirinya membuatnya menoleh. Khandra menatap gadis yang sedang sangat ceria bercerita pada temannya. Gadis itu sangat bersemangat hingga tidak menyadari bahwa beberapa dari kami memperhatikannya karena itu. Entah mengapa, perasaannya justru nyaman melihat wajah yang berseri-seri itu. Ia ikut senang melihatnya seceria itu— meski bukan ia alasannya.
Seseorang dari kelas lain mengapa Khandra. "Woi, Mabar di kelas gue yok!"
Khandra membalasnya dengan tak kalah ramah. "Nanti deh, lagi males," tolaknya.
Seorang teman dan beberapa orang dibelakangnya mengeluh. "Ah, gak asik lo!" serunya tak terima.
"Maaf banget, nanti malam aja deh. Serius!" mohonnya. Akhirnya gerombolan itu keluar kelas. Khandra kembali melayangkan tatapan ke kursi yang sama. Kursi Divya.
Hilang. Mendadak Khandra kehilangan arah dan kebingungan mencari keberadaan gadis itu. Agak tidak biasanya Divya tidak ada di kelas. Padahal, ia ingin melihatnya lebih lama. Lebih sering karena ada beberapa hal yang rumit dari kehidupannya yang justru sedikit teredam karena keberadaannya.
Akhirnya ia melihatnya di balik jendela kelas, ia berada diluar sedang tertawa. Seketika hatinya senang. Namun ironisnya, Divya sedang berbicara dan tertawa disamping lelaki lain dari kelasnya. Matanya yang berbinar mendadak hilang cahaya. Senyumnya perlahan musnah. Ia mendengus, apa sih yang ia pikirkan. Kenapa rasanya tidak menyenangkan? Kenapa mendadak, hatinya kesal tak karuan.
Padahal, Khandra memang sengaja tidak ikut temannya kemana-mana karena ia tahu. Divya tidak sering keluar kelas. Ia penjaga kelas yang setia. Jadi, untuk harinya yang suram, ia harap keberadaannya bisa sedikit mengembalikan semangat hidup. Cukup dengan keberadaan saja. Tapi apa daya. Ternyata perasaannya lebih rumit dari yang ia kira.
•••
Ketukan pintu dari luar membuat sang pemilik rumah membukanya. Sebuah wajah yang lama tidak ditemukan justru kembali. "Kak Divya?" Seorang remaja yang kaget melihat sang tamu yang ternyata justru pemilik rumah yang sudah lama pergi dan baru saja kembali.
"Hai." Dengan senyuman terpatri di wajahnya.
To be continued