Title | : Nyawa Kedua |
Category | : True Story |
Language | : Bahasa Indonesia |
Published | : Jun 2022 |
Total Hits | : 171 |
Total Readers | : 121 |
Total Likes | : 0 |
Status | : On-Going |
Total Pages | : 9 |
Rating | : - |
Written by | : Isna |
Descriptions
Tahun lalu merupakan saat-saat terberat dalam sejarah hidupku. Keluarga besar kami harus kehilangan dua budhe hanya selang satu hari. Keduanya meninggal karena usia yang sudah senja. Pada saat bersamaan aku pun harus berjuang untuk mendapatkan kembali nyawa kedua bagiku.
Apa yang terjadi padaku? Sungguh aku sendiri tidak paham. Kenapa ujian kesehatan yang menimpa masayarakat itu juga menghinggapiku. Padahal aku adalah orang yang over protectif. Selama pandemi nyaris selalu mengurung diri di rumah. Bahkan setelah bersentuhan dengan benda atau orang lain, buru-buru menyemprotkan hand sanitizer.
Sikap tersebut aku jalani karena paham, virus yang beredar sangat berbahaya. Apalagi riwayat kesehatanku memang kurang bagus. Daya tahan tubuh tidak bisa dikatakan prima. Itu yang membuat sangat mudah jatuh sakit.
Melihat dan mendengar kabar kematian yang begitu banyaknya, terasa nyawa tidak ada artinya. Setiap hari selalu beristighfar dan meminta pada Allah kesehatan dan keselamatan dari semua bencana.
Begitu mendengar suara sirine, hati selalu was-was, siapa yang mendapat giliran hari ini? Kenapa dia tidak bisa bertahan dan seterusnya. Aku merasa, malaikat pencabut nyawa seperti selalu mengintai. Sungguh kondisi yang sangat mencekam.
Apalagi anak-anak masih sangat kecil. Si sulung, baru menginjak kelas 1 SD. Si kecil baru umur beberapa bulan. Bagaimana jika aku mendapat giliran untuk berpulang? Kepada siapa anakku akan bermanja. Setiap mengingat itu, aku hanya bisa berdoa dan berpasrah.
Sebagai cara untuk menghindari virus yang mematikan tersebut, kami, aku terutama sangat jarang berinteraksi dengan orang luar. Jika ada yang berkunjung, selalu aku menjaga jarak. Orang-orang sekitarku menilai bahwa aku terlalu over protektif. Menurutku sangat wajar. Aku tidak tahu siapa yang terjangkit dan dapat menularkannya.
Kebetulan anak pertama sekolah daring. Aku pun tidak mudah memberinya ijin untuk keluar rumah. Hanya suami yang tetap menjalankan usaha dan keluar rumah untuk membeli semua keperluan kami. Itu pun aku selalu memintanya agar segera mencuci tangan dan berganti pakaian begitu sampai.
Demam yang tak kunjung hilang
Awal Juni 2021, aku merasakan badanku tiba-tiba menggigil luar biasa. Bahkan untuk menyentuh air wudhu saja rasanya tidak sanggup. Padahal beberapa jam sebelumnya tidak ada tanda apa-apa. Aku sehat. Benar-benar sehat.
Namun tiba-tiba terasa tidak berdaya. Ketika suami pulang kerja, aku hanya mampu melihat dari balik selimut. Mataku pun rasanya berat sekali untuk terbuka. “Ya Allah, aku kenapa?” batinku terus beristighfar.
Biasanya jika sakit, dengan tidur dan minum obat akan pulih kembali. Namun kali ini lain. Begitu melihat kondisiku, suami langsung pergi ke apotik dan membeli obat. Akan tetapi mataku seperti lengket. Tidak bisa dibuka sama sekali.
Suara suamiku yang memintaku makan kemudian meminum obat aku dengar. Tetapi tidak membuatku beranjak. Aku merasa antara sadar dan tidak. Obat yang seharusnya aku minum, terlewatkan. Mataku terpejam, namun sebentar bangun, kemudian tidur lagi. Begitu seterusnya.
Tengah malam tiba-tiba badanku terasa gerah luar biasa. Hal ini tidak berlangsung lama. Sekitar selang satu jam kemudian berubah menggigil lagi. Begitu seterusnya. Aku tidak mau berpikir apa pun. Ini hanya sakit biasa. Batinku meyakinkan diri. Kami akan baik-baik saja, aku terus menguatkan.
Ternyata hal ini berlangsung selama beberapa hari. Mungkin suami sudah berpikir jauh, terbukti dari hari kedua menyarankan aku untuk memakai masker meski sedang tidur. Kami, termasuk anak-anak tetap berinteraksi seperti biasa. Aku juga masih berpikir bahwa ini hanya masuk angin biasa.
Mungkin kecapekan
Kamis tengah malam, adik yang tinggal serumah dengan ibu mengetuk pintu. Budhe meninggal. Beliau memang sudah beberapa bulan sakit di rumah ibu karena usia yang renta. Rumahku dan ibu satu pekarangan. Jaraknya tidak lebih dari sepuluh meter. Suami melarang aku ke rumah ibu. Jadi aku sama sekali tidak melihat prosesi pemakaman budhe. Aku hanya melihat jenazahnya dimandikan lewat jendela rumah.
Mungkin aku kecapekan. Si kecil memang sedang aktif-aktifnya yang memaksaku begadang untuk menemaninya. Beberapa malam nyaris tidak tidur. Drop, itu yang terlintas di dalam pikiran. Sebelumnya, secapek apa pun tidak pernah membuat aku menjadi seperti ini.
Kehilangan indra penciuman
Si kecil menangis. Aku menguatkan badan untuk bangun. Ternyata dia pup. Buru-buru aku membersihkan dan memandikannya agar lebih segar. Setelah selesai, aku segera memasangkan popok.
Sebelumnya, aku mengoleskan minyak telon sambil bercanda. Mencium pipinya yang menggemaskan karena cubby, seperti bakpao. Namun tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Tidak ada aroma minyak telon di badannya. Padahal aku mengoleskan cukup banyak.
Untuk meyakinkan aku mengambil kembali botol minyak itu, kemudian menuang banyak-banyak di telapak tangan. Begitu hidung aku dekatkan, benar, tidak bau minyak. Hanya seperti air putih.
Spontan aku pucat. Ya Allah! Bagaimana ini. Baru saja aku membelai-belai anakku, menciuminya dengan melepas masker. Tapi ternyata, aku kehilangan indera penciuman, salah satu tanda positif Covid.
Buru-buru aku panggil suami yang masih mengurus jenazah budhe. Aku ceritakan semua. Suami nampak diam. Mungkin sedang menata pikiran. Jika aku positif, bagaimana dengan bayi kami. Akankah dia tertular dari aku?
Pikiranku juga kacau. Dari mana virus itu berasal. Satu-satunya orang yang berinteraksi di luar rumah hanya suami. Merunut dari mana asalnya tidak akan menyelesaikan masalah. Aku pun berusaha untuk menata pikiran. Meski dalam hari selalui dihantui pertanyaan, akankah aku bisa melewatinya?
Segera aku menghubungi beberapa teman yang sebelumnya positif. Aku bertanya bagaimana sebaiknya, apa yang harus aku lakukan. Seorang kawan menyarankan agar segera SWAB untuk memastikan. Satu lagi mengusulkan agar aku segera membatasi interaksi dengan anak-anak sambil terus berdoa. Mudah-mudahan aku negatif. Jika pun ternyata positif, semoga anak-anak tidak tertular.
Kami berdiskusi. Aku ingin SWAB agar yakin bahwa negatif. Namun suami tidak setuju. Jika ternyata positif, maka pasti semua keluarga besarku panik. Saat itu di daerah kami masih ada anggapan, terkena Covid sangat menakutkan. Pasti harus mengasingkan diri. Bahkan mungkin tetangga akan takut terjangkit.
Apakah aku positif?
Lalu bagaimana aku memastikan? Suami berpikiran, tidak penting hal tersebut. Saat ini yang paling utama adalah bagaimana segera sembuh kembali. Aku ditanya, apakah masih kuat. Jika kuat maka lebih baik tidak SWAB kalau hasilnya hanya akan membuat banyak orang panik.
Sampai sekarang, aku mengaggap secara defakto saat itu positif Covid. Namun secara deyure tidak, karena tidak ada bukti hasil SWAB atau rapid. Apa yang aku lakukan berikutnya? Menghubungi teman yang sudah sembuh.
Darinya aku mendapat banyak resep tradisional untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Mulai dari mengkonsumsi parutan jahe, kumur dengan air garam sampai memakan bawang dan minum teh pahit.
Teman-teman juga menyebutkan suplemen yang harus aku konsumsi, multivitamin dan mineral penting. Selain itu juga menyarankan agar berkonsultasi dengan dokter dan membeli alat ukur kadar oksigen supaya dapat memeriksa sendiri.
Sayangnya di tempat kami alat tersebut langka. Beberapa apotik sudah tidak menyediakan lagi. Untuk dokter, sepertinya tidak mungkin aku kunjungi karena pasti harus SWAB atau rapid. Akhirnya aku memilih berkonsultasi dengan dokter melalui aplikasi online.
Isolasi mandiri
Setelah berembug dengan suami akhirnya kami memutuskan bahwa aku akan isolasi mandiri. Aku pindah tidur di kamar yang selama ini tidak digunakan. Untuk kamar mandi, menggunakan yang ada di belakang. Beda dengan yang dipakai oleh suami dan anak-anak.
Bagaimana masalah makan? Suami yang menyediakan semua. Kebutuhanku akan ditaruh di tangga yang menghubungkan depan kamar ke loteng. Beruntung anak sulung mau mengerti sehingga tidak menangis karena harus berpisah tidur. Biasanya kami berempat satu kamar.
Setiap beberapa saat dia memanggilku dan meminta aku untuk membuka pintu. Dia ingin melihat dan memastikan bahwa ibunya sehat. Sebenarnya bocah itu tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya mengerti, sang ibu sedang sakit. Namun bagaimana penyakitnya, dia belum paham.
Melihat anak dari balik jendela
Selama isolasi mandiri, otomatis sama sekali aku tidak berinteraksi dengan anggota keluarga lain. Ibu dan saudaraku pun tidak tahu tentang hal ini. Mereka hanya mengerti bahwa aku menjaga jarak karena memang rentan terhadap penyakit. Riwayat ashma sejak kecil menjadikan aku mudah jatuh sakit.
Setiap pagi rutinitasku adalah berjemur. Anak-anak dan suami pun juga. Namun tetap menjaga jarak. Hal ini yang membuat aku menangis dalam hati, melihat tanpa bisa menyentuh mereka. Kami hanya berpandangan, mengobrol dengan jarak tertentu. Air mata tidak terbendung ketika si kecil atau kakaknya mengulurkan tangan ingin dipeluk atau gendong.
Setelah berjemur dan mandi, aku kembali ke kamar. Si kecil juga mencariku, seperti kakaknya. Aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela. Melihatnya duduk di teras sambil melampaikan tangan ke arahku yang tetap menggunakan masker.
Aku benar-benar merasa berjuang sendiri. Hanya suami yang tahu. Otomatis hanya dia yang secara langsung memberi support. Kami tidak berkomunikasi langsung. Setiap membutuhkan sesuatu, aku mengirim pesan ke HPnya. Dia akan menyiapkan dan menaruhnya di depan pintu kamar.
Sesak napas yang menyiksa
Hari ketiga isolasi atau keenam dari pertama merasa sakit, tiba-tiba aku sesak napas. Benar-benar terasa sesak. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku segera mengirim pesan ke suami, menceritakan keadaanku. Secara langsung, aku tidak tahu ekspresinya. Jawabnya, hanya memintaku bertahan.
Ada anak-anak yang menunggu kesembuhanku. Rasanya nyawaku sudah di ujung. Bahkan terlintas hal-hal yang sangat menakutkan. Bermimpi bertemu malaikat dan menanya apakah aku sudah siap berpulang.
Sesak napas itu berlangsung selama 2 hari dua malam. Gusti…sakit sekali. Aku sudah mempraktikkan semua teori dari hasil browsing dan konsultasi dengan dokter via online. Syukur Alhamdulillah, rasa sesak itu sedikit demi sedikit mulai hilang.
Namun semua belum berakhir. Indera penciumanku belum kembali. Itu tandanya, jika memang sebelumnya positif, virus tersebut belum mati. Aku harus berjuang, melawannya. Setidaknya berusaha agar daya tahan tubuhku kembali normal dan virus itu tidak bisa menyerang.
Setiap saat aku hanya bisa istighfar. Semoga Allah masih memberi aku kesempatan untuk mendampingi anak-anak tumbuh sampai dewasa. Harus sembuh! Itu yang selalu aku ucapkan pada diri sendiri.
Meski suami menyediakan makanan sesuai permintaanku, ternyata tidak semuanya dapat aku telan. Aku benar-benar kehilangan selera makan. Hanya dengan mendengar suara anak-anak dan membayangkan wajahnya yang memberiku semangat untuk menelan makanan yang terasa hambar di lidah.
Bersyukur, pada hari ke 5 isolasi, sedikit demi sedikit indera penciumanku kembali. Aroma minyak kayu putih sudah bisa mulai aku rasakan. Aku kembali merasa mempunyai harapan hidup. Sembuh dan harus segera sembuh. Itu selalu aku yakinkan. Ternyata bahagia itu sangat simpel. Cukup dapat mencium aroma kayu putih.
Berangsur, kesehatanku mulai kembali. Selain indera penciuman, sesak napasku pun sudah sangat jauh berkurang. Intensitas demam juga mulai menurun. Harapanku untuk sembuh kembali datang.
Beberapa hari kemudian, badanku sudah mulai segar. Namun aku tetap menjalankan protokol kesehatan dan melanjutkan isolasi mandiri. Harus sampai 2 minggu dari awal muncul gejala, aku mengikuti anjuran. Selama itu dunia terasa sangat kecil. Kematian bisa datang kapan saja. Aku benar-benar hanya bisa berpasrah.
Ketika akan memejamkan mata, selalu terbayang pertanyaan, akankah besok masih bisa membuka mata dan mendengar canda anak-anak. Apakah malaikat pencabut nyawa tidak akan menjalankan tugasnya mala mini?
Tepat 14 hari setelah gejala demam datang, badanku sudah terasa lebih sehat. Aku mulai memberanikan diri untuk keluar dari kamar isolasi. Berjemur setiap hari tetap kulakukan. Begitu juga dengan protokol kesehatan, tetap aku jalani.
Ketika si kecil meminta gendong
Aku tahu rasanya kangen, melihat namun tidak bisa menyentuh itu lebih menyakitkan. Ini yang kami rasakan. Apalagi ketika si kecil menangis. Rasanya ingin segera lari memeluknya. Tetapi ketika ingat, ada virus berbahaya yang bisa menulari siapa saja, kakiku langsung terhenti. Kemudian hanya bisa ikut menangis di balik pintu kamar.
“Mama juga sangat kangen, Nak”. Rasanya menunggu sampai 14 hari itu teramat sangat lama. Andai waktu bisa berjalan lebih cepat, rasanya aku ingin memutar jarum jam agar hari segera berganti.
Tepat di hari ke 15, aku bangun lebih pagi. Guyuran dinginnya air kran pagi itu terasa sangat sejuk menusuk sampai ke hati. Tidak sabar aku menunggu anak-anak bangun. Yes. Aku ingin segera memeluk mereka.
Si kecil bangun lebih duluan dari si sulung. Setelah melihatku seperti biasa dia tersenyum dan meloncat kegirangan. Tidak seperti hari sebelumnya, dimana ketika dia mendekat aku langsung pergi, nampak senang pada raut mukanya.
Dengan suara cadelnya dia bertanya, “gendong ayik (jarik), ya?” jarik adalah kain panjang khas jawa yang biasa untuk menggendong anak.
“Ya, Mama gendong adik.”
Mendengar jawabanku buru-buru dia berlari ke kamar untuk mengambil kain jarik dan kemudian menyerahkannya padaku. Ini pertama kali aku menggendongnya setelah demam panjang dan kehilangan indera penciuman. Namun aku tetap mengenakan masker.
Alangkah senangnya dia. Dalam gendonganku beberapa kali memeluk, melepaskan, kemudian memelukku kembali. Ya Allah……Bahagiaku hampir sama dengan saat pertama melihatnya membuka mata untuk pertama kali setelah aku melahirkannya lewat operasi cesar.
Selang beberapa menit, si sulung bangun. Melihatku menggendong adiknya, antara sadar dan tidak karena baru saja bangun tidur, dia menatapku. “Mama!..Mama sudah sembuh? Yeach…Alhamdulillah Mamaku sembuh. Mamaku sembuh. Kemudian dia bersujud sambil berucap terima kasih pada Allah.
Sungguh, terharu sekali aku rasanya. Inilah rasa bahagia paling tinggi yang aku rasakan. Aku mendapatkan nyawa keduaku. Kembali bisa berkumpul dengan anak-anak dan suami. Berinteraksi langsung meski aku tetap meminimalkan kontak.
Apa yang terjadi padaku? Sungguh aku sendiri tidak paham. Kenapa ujian kesehatan yang menimpa masayarakat itu juga menghinggapiku. Padahal aku adalah orang yang over protectif. Selama pandemi nyaris selalu mengurung diri di rumah. Bahkan setelah bersentuhan dengan benda atau orang lain, buru-buru menyemprotkan hand sanitizer.
Sikap tersebut aku jalani karena paham, virus yang beredar sangat berbahaya. Apalagi riwayat kesehatanku memang kurang bagus. Daya tahan tubuh tidak bisa dikatakan prima. Itu yang membuat sangat mudah jatuh sakit.
Melihat dan mendengar kabar kematian yang begitu banyaknya, terasa nyawa tidak ada artinya. Setiap hari selalu beristighfar dan meminta pada Allah kesehatan dan keselamatan dari semua bencana.
Begitu mendengar suara sirine, hati selalu was-was, siapa yang mendapat giliran hari ini? Kenapa dia tidak bisa bertahan dan seterusnya. Aku merasa, malaikat pencabut nyawa seperti selalu mengintai. Sungguh kondisi yang sangat mencekam.
Apalagi anak-anak masih sangat kecil. Si sulung, baru menginjak kelas 1 SD. Si kecil baru umur beberapa bulan. Bagaimana jika aku mendapat giliran untuk berpulang? Kepada siapa anakku akan bermanja. Setiap mengingat itu, aku hanya bisa berdoa dan berpasrah.
Sebagai cara untuk menghindari virus yang mematikan tersebut, kami, aku terutama sangat jarang berinteraksi dengan orang luar. Jika ada yang berkunjung, selalu aku menjaga jarak. Orang-orang sekitarku menilai bahwa aku terlalu over protektif. Menurutku sangat wajar. Aku tidak tahu siapa yang terjangkit dan dapat menularkannya.
Kebetulan anak pertama sekolah daring. Aku pun tidak mudah memberinya ijin untuk keluar rumah. Hanya suami yang tetap menjalankan usaha dan keluar rumah untuk membeli semua keperluan kami. Itu pun aku selalu memintanya agar segera mencuci tangan dan berganti pakaian begitu sampai.
Demam yang tak kunjung hilang
Awal Juni 2021, aku merasakan badanku tiba-tiba menggigil luar biasa. Bahkan untuk menyentuh air wudhu saja rasanya tidak sanggup. Padahal beberapa jam sebelumnya tidak ada tanda apa-apa. Aku sehat. Benar-benar sehat.
Namun tiba-tiba terasa tidak berdaya. Ketika suami pulang kerja, aku hanya mampu melihat dari balik selimut. Mataku pun rasanya berat sekali untuk terbuka. “Ya Allah, aku kenapa?” batinku terus beristighfar.
Biasanya jika sakit, dengan tidur dan minum obat akan pulih kembali. Namun kali ini lain. Begitu melihat kondisiku, suami langsung pergi ke apotik dan membeli obat. Akan tetapi mataku seperti lengket. Tidak bisa dibuka sama sekali.
Suara suamiku yang memintaku makan kemudian meminum obat aku dengar. Tetapi tidak membuatku beranjak. Aku merasa antara sadar dan tidak. Obat yang seharusnya aku minum, terlewatkan. Mataku terpejam, namun sebentar bangun, kemudian tidur lagi. Begitu seterusnya.
Tengah malam tiba-tiba badanku terasa gerah luar biasa. Hal ini tidak berlangsung lama. Sekitar selang satu jam kemudian berubah menggigil lagi. Begitu seterusnya. Aku tidak mau berpikir apa pun. Ini hanya sakit biasa. Batinku meyakinkan diri. Kami akan baik-baik saja, aku terus menguatkan.
Ternyata hal ini berlangsung selama beberapa hari. Mungkin suami sudah berpikir jauh, terbukti dari hari kedua menyarankan aku untuk memakai masker meski sedang tidur. Kami, termasuk anak-anak tetap berinteraksi seperti biasa. Aku juga masih berpikir bahwa ini hanya masuk angin biasa.
Mungkin kecapekan
Kamis tengah malam, adik yang tinggal serumah dengan ibu mengetuk pintu. Budhe meninggal. Beliau memang sudah beberapa bulan sakit di rumah ibu karena usia yang renta. Rumahku dan ibu satu pekarangan. Jaraknya tidak lebih dari sepuluh meter. Suami melarang aku ke rumah ibu. Jadi aku sama sekali tidak melihat prosesi pemakaman budhe. Aku hanya melihat jenazahnya dimandikan lewat jendela rumah.
Mungkin aku kecapekan. Si kecil memang sedang aktif-aktifnya yang memaksaku begadang untuk menemaninya. Beberapa malam nyaris tidak tidur. Drop, itu yang terlintas di dalam pikiran. Sebelumnya, secapek apa pun tidak pernah membuat aku menjadi seperti ini.
Kehilangan indra penciuman
Si kecil menangis. Aku menguatkan badan untuk bangun. Ternyata dia pup. Buru-buru aku membersihkan dan memandikannya agar lebih segar. Setelah selesai, aku segera memasangkan popok.
Sebelumnya, aku mengoleskan minyak telon sambil bercanda. Mencium pipinya yang menggemaskan karena cubby, seperti bakpao. Namun tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Tidak ada aroma minyak telon di badannya. Padahal aku mengoleskan cukup banyak.
Untuk meyakinkan aku mengambil kembali botol minyak itu, kemudian menuang banyak-banyak di telapak tangan. Begitu hidung aku dekatkan, benar, tidak bau minyak. Hanya seperti air putih.
Spontan aku pucat. Ya Allah! Bagaimana ini. Baru saja aku membelai-belai anakku, menciuminya dengan melepas masker. Tapi ternyata, aku kehilangan indera penciuman, salah satu tanda positif Covid.
Buru-buru aku panggil suami yang masih mengurus jenazah budhe. Aku ceritakan semua. Suami nampak diam. Mungkin sedang menata pikiran. Jika aku positif, bagaimana dengan bayi kami. Akankah dia tertular dari aku?
Pikiranku juga kacau. Dari mana virus itu berasal. Satu-satunya orang yang berinteraksi di luar rumah hanya suami. Merunut dari mana asalnya tidak akan menyelesaikan masalah. Aku pun berusaha untuk menata pikiran. Meski dalam hari selalui dihantui pertanyaan, akankah aku bisa melewatinya?
Segera aku menghubungi beberapa teman yang sebelumnya positif. Aku bertanya bagaimana sebaiknya, apa yang harus aku lakukan. Seorang kawan menyarankan agar segera SWAB untuk memastikan. Satu lagi mengusulkan agar aku segera membatasi interaksi dengan anak-anak sambil terus berdoa. Mudah-mudahan aku negatif. Jika pun ternyata positif, semoga anak-anak tidak tertular.
Kami berdiskusi. Aku ingin SWAB agar yakin bahwa negatif. Namun suami tidak setuju. Jika ternyata positif, maka pasti semua keluarga besarku panik. Saat itu di daerah kami masih ada anggapan, terkena Covid sangat menakutkan. Pasti harus mengasingkan diri. Bahkan mungkin tetangga akan takut terjangkit.
Apakah aku positif?
Lalu bagaimana aku memastikan? Suami berpikiran, tidak penting hal tersebut. Saat ini yang paling utama adalah bagaimana segera sembuh kembali. Aku ditanya, apakah masih kuat. Jika kuat maka lebih baik tidak SWAB kalau hasilnya hanya akan membuat banyak orang panik.
Sampai sekarang, aku mengaggap secara defakto saat itu positif Covid. Namun secara deyure tidak, karena tidak ada bukti hasil SWAB atau rapid. Apa yang aku lakukan berikutnya? Menghubungi teman yang sudah sembuh.
Darinya aku mendapat banyak resep tradisional untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Mulai dari mengkonsumsi parutan jahe, kumur dengan air garam sampai memakan bawang dan minum teh pahit.
Teman-teman juga menyebutkan suplemen yang harus aku konsumsi, multivitamin dan mineral penting. Selain itu juga menyarankan agar berkonsultasi dengan dokter dan membeli alat ukur kadar oksigen supaya dapat memeriksa sendiri.
Sayangnya di tempat kami alat tersebut langka. Beberapa apotik sudah tidak menyediakan lagi. Untuk dokter, sepertinya tidak mungkin aku kunjungi karena pasti harus SWAB atau rapid. Akhirnya aku memilih berkonsultasi dengan dokter melalui aplikasi online.
Isolasi mandiri
Setelah berembug dengan suami akhirnya kami memutuskan bahwa aku akan isolasi mandiri. Aku pindah tidur di kamar yang selama ini tidak digunakan. Untuk kamar mandi, menggunakan yang ada di belakang. Beda dengan yang dipakai oleh suami dan anak-anak.
Bagaimana masalah makan? Suami yang menyediakan semua. Kebutuhanku akan ditaruh di tangga yang menghubungkan depan kamar ke loteng. Beruntung anak sulung mau mengerti sehingga tidak menangis karena harus berpisah tidur. Biasanya kami berempat satu kamar.
Setiap beberapa saat dia memanggilku dan meminta aku untuk membuka pintu. Dia ingin melihat dan memastikan bahwa ibunya sehat. Sebenarnya bocah itu tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya mengerti, sang ibu sedang sakit. Namun bagaimana penyakitnya, dia belum paham.
Melihat anak dari balik jendela
Selama isolasi mandiri, otomatis sama sekali aku tidak berinteraksi dengan anggota keluarga lain. Ibu dan saudaraku pun tidak tahu tentang hal ini. Mereka hanya mengerti bahwa aku menjaga jarak karena memang rentan terhadap penyakit. Riwayat ashma sejak kecil menjadikan aku mudah jatuh sakit.
Setiap pagi rutinitasku adalah berjemur. Anak-anak dan suami pun juga. Namun tetap menjaga jarak. Hal ini yang membuat aku menangis dalam hati, melihat tanpa bisa menyentuh mereka. Kami hanya berpandangan, mengobrol dengan jarak tertentu. Air mata tidak terbendung ketika si kecil atau kakaknya mengulurkan tangan ingin dipeluk atau gendong.
Setelah berjemur dan mandi, aku kembali ke kamar. Si kecil juga mencariku, seperti kakaknya. Aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela. Melihatnya duduk di teras sambil melampaikan tangan ke arahku yang tetap menggunakan masker.
Aku benar-benar merasa berjuang sendiri. Hanya suami yang tahu. Otomatis hanya dia yang secara langsung memberi support. Kami tidak berkomunikasi langsung. Setiap membutuhkan sesuatu, aku mengirim pesan ke HPnya. Dia akan menyiapkan dan menaruhnya di depan pintu kamar.
Sesak napas yang menyiksa
Hari ketiga isolasi atau keenam dari pertama merasa sakit, tiba-tiba aku sesak napas. Benar-benar terasa sesak. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku segera mengirim pesan ke suami, menceritakan keadaanku. Secara langsung, aku tidak tahu ekspresinya. Jawabnya, hanya memintaku bertahan.
Ada anak-anak yang menunggu kesembuhanku. Rasanya nyawaku sudah di ujung. Bahkan terlintas hal-hal yang sangat menakutkan. Bermimpi bertemu malaikat dan menanya apakah aku sudah siap berpulang.
Sesak napas itu berlangsung selama 2 hari dua malam. Gusti…sakit sekali. Aku sudah mempraktikkan semua teori dari hasil browsing dan konsultasi dengan dokter via online. Syukur Alhamdulillah, rasa sesak itu sedikit demi sedikit mulai hilang.
Namun semua belum berakhir. Indera penciumanku belum kembali. Itu tandanya, jika memang sebelumnya positif, virus tersebut belum mati. Aku harus berjuang, melawannya. Setidaknya berusaha agar daya tahan tubuhku kembali normal dan virus itu tidak bisa menyerang.
Setiap saat aku hanya bisa istighfar. Semoga Allah masih memberi aku kesempatan untuk mendampingi anak-anak tumbuh sampai dewasa. Harus sembuh! Itu yang selalu aku ucapkan pada diri sendiri.
Meski suami menyediakan makanan sesuai permintaanku, ternyata tidak semuanya dapat aku telan. Aku benar-benar kehilangan selera makan. Hanya dengan mendengar suara anak-anak dan membayangkan wajahnya yang memberiku semangat untuk menelan makanan yang terasa hambar di lidah.
Bersyukur, pada hari ke 5 isolasi, sedikit demi sedikit indera penciumanku kembali. Aroma minyak kayu putih sudah bisa mulai aku rasakan. Aku kembali merasa mempunyai harapan hidup. Sembuh dan harus segera sembuh. Itu selalu aku yakinkan. Ternyata bahagia itu sangat simpel. Cukup dapat mencium aroma kayu putih.
Berangsur, kesehatanku mulai kembali. Selain indera penciuman, sesak napasku pun sudah sangat jauh berkurang. Intensitas demam juga mulai menurun. Harapanku untuk sembuh kembali datang.
Beberapa hari kemudian, badanku sudah mulai segar. Namun aku tetap menjalankan protokol kesehatan dan melanjutkan isolasi mandiri. Harus sampai 2 minggu dari awal muncul gejala, aku mengikuti anjuran. Selama itu dunia terasa sangat kecil. Kematian bisa datang kapan saja. Aku benar-benar hanya bisa berpasrah.
Ketika akan memejamkan mata, selalu terbayang pertanyaan, akankah besok masih bisa membuka mata dan mendengar canda anak-anak. Apakah malaikat pencabut nyawa tidak akan menjalankan tugasnya mala mini?
Tepat 14 hari setelah gejala demam datang, badanku sudah terasa lebih sehat. Aku mulai memberanikan diri untuk keluar dari kamar isolasi. Berjemur setiap hari tetap kulakukan. Begitu juga dengan protokol kesehatan, tetap aku jalani.
Ketika si kecil meminta gendong
Aku tahu rasanya kangen, melihat namun tidak bisa menyentuh itu lebih menyakitkan. Ini yang kami rasakan. Apalagi ketika si kecil menangis. Rasanya ingin segera lari memeluknya. Tetapi ketika ingat, ada virus berbahaya yang bisa menulari siapa saja, kakiku langsung terhenti. Kemudian hanya bisa ikut menangis di balik pintu kamar.
“Mama juga sangat kangen, Nak”. Rasanya menunggu sampai 14 hari itu teramat sangat lama. Andai waktu bisa berjalan lebih cepat, rasanya aku ingin memutar jarum jam agar hari segera berganti.
Tepat di hari ke 15, aku bangun lebih pagi. Guyuran dinginnya air kran pagi itu terasa sangat sejuk menusuk sampai ke hati. Tidak sabar aku menunggu anak-anak bangun. Yes. Aku ingin segera memeluk mereka.
Si kecil bangun lebih duluan dari si sulung. Setelah melihatku seperti biasa dia tersenyum dan meloncat kegirangan. Tidak seperti hari sebelumnya, dimana ketika dia mendekat aku langsung pergi, nampak senang pada raut mukanya.
Dengan suara cadelnya dia bertanya, “gendong ayik (jarik), ya?” jarik adalah kain panjang khas jawa yang biasa untuk menggendong anak.
“Ya, Mama gendong adik.”
Mendengar jawabanku buru-buru dia berlari ke kamar untuk mengambil kain jarik dan kemudian menyerahkannya padaku. Ini pertama kali aku menggendongnya setelah demam panjang dan kehilangan indera penciuman. Namun aku tetap mengenakan masker.
Alangkah senangnya dia. Dalam gendonganku beberapa kali memeluk, melepaskan, kemudian memelukku kembali. Ya Allah……Bahagiaku hampir sama dengan saat pertama melihatnya membuka mata untuk pertama kali setelah aku melahirkannya lewat operasi cesar.
Selang beberapa menit, si sulung bangun. Melihatku menggendong adiknya, antara sadar dan tidak karena baru saja bangun tidur, dia menatapku. “Mama!..Mama sudah sembuh? Yeach…Alhamdulillah Mamaku sembuh. Mamaku sembuh. Kemudian dia bersujud sambil berucap terima kasih pada Allah.
Sungguh, terharu sekali aku rasanya. Inilah rasa bahagia paling tinggi yang aku rasakan. Aku mendapatkan nyawa keduaku. Kembali bisa berkumpul dengan anak-anak dan suami. Berinteraksi langsung meski aku tetap meminimalkan kontak.
Similar Tags
Titik Akhir Pencarian
237
161
1
True Story
Lelah mencari pada akhirnya kuputuskan untuk menyendiri.
Terimakasih atas lelah ini, maaf aku berhenti.
.
.
Dara, 2022
Diaryku
267
157
2
True Story
Hidupku ada di tanganku. Bukan orang lain yang akan menderita jika aku menyerah pada keadaan. Bukan orang lain yang akan menikmati jika aku sukses mengambil langkah. Semua keputusan itu dari aku, oleh aku, dan untuk aku. Aku yang membuat keputusan, Aku yang menjalankan keputusan itu, dan aku juga yang akan merasakan hasil dari keputusan itu.
Anak-Anak Musim
669
377
59
True Story
Hai! Kenalkan aku Autumn, (sok) cool cool gitu anaknya. Dan ini kisah tentang Autumn serta ketiga musim lainnya.
Ikan Bakar
533
295
0
True Story
Kata orang - orang, 'hati siapa yang tahu?' namun kataku, selera makanan siapa yang tahu?
Petualangan si Tenggorokan Sombong menemukan kembali bagian dari dirinya selama masa pandemi.
TITIK TERANG AKU BERPERAN, KELUARGA TERSAYANG
561
312
33
True Story
Disaat kita mengejar sebuah impian, memang harus dibutuhkan keberanian yang besar untuk mewujudkan tujuan tujuan kecil tersebut, walaupun pada kenyataannya akan lebih sulit memiliki keberanian pada situasi kondisi yang sangat tidak mendukung. Maka teruslah melangkah hingga tujuan tujuan kecil yang sudah di rencanakan tersebut tercapai dan percayalah terwujudnya sebuah impian tidak hanya butuh ker...
Abdi Rupa Sang Garda Tengah Dua Tepi Pantai Relawan Ampera
220
158
1
True Story
Ini adalah kisah tentang arunika yang tergoda dengan pelosok simfoni dan terangkai menjadi sebuah kisah inspirasi yang diangkat dari True Story. Penulis menyiratkan dalam kisah ini yakni "Menjadi Baik Itu Baik" 😊, selamat menikmati mari sama-sama berkontribusi untuk negri sekecil apapun karna 1 langkah besar bukankah terdiri dari ribuan langkah-langkah kecil history nya
Ordinary Hero
177
132
0
True Story
Kita adalah pemimpin dan penyelamat untuk diri kita sendiri. Tidak apa jika dalam perjalanan kita terjatuh, karena kita hanyalah pahlawan biasa yang pasti akan jatuh dulu untuk bertambah kuat.
Thankyou, Covid! Balitaku seakan mengerti tentangmu
301
201
7
True Story
Balitaku yang berumur 2,5 tahun saat covid melanda negeriku ini seakan ikut merasakan pahitnya keadaan.
Anomali Maret
175
125
1
True Story
Maretku terjadi dengan uniknya.
Ada tiga babak yang akan kuceritakan kali ini, dan benang pengaitnya kuberi nama Anomali.
Tetapi sungguh, cerita seperti kejatuhan durian bulan ini, lalu pada bulan yang sama di tahun depan aku menginjak kulit durian yang belum membusuk itu, bukankah dapat dikatakan sebagai anomali absurd?
Tenang saja, cerita ini tidak mengandung durian, kok! Hahaha.
Titik berharga di era pandemi
179
124
1
True Story
"Bagaimana ya rek kalo libur selama satu tahun itu diberlakukan? Ah seketika indah pasti duniaku," celetuk gadis berkerudung itu.
"Ah jangan ngaco toh kamu! imposible itu mah," Jawab salah satu dari kami.
Ketika impian seorang bocah remaja yang duduk dibangku SMP menjadi realita nyata di depan mata. Perpaduan suka duka turut serta mewarnai hari-hari di era masa pandemi. P...
Something Went Wrong
Success