Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Refrain Bring Me To Life dari Evanescence menggaung di tiap sudut kamar Arjun. Dentuman drum yang keras berhasil membangkitkan Arjun dari tidur pendeknya. Ia buru-buru meraih ponsel yang sengaja diletakkan di dekat kepala agar mudah diambil. 

Nada dering alarm itu segera ia matikan dengan mata yang mengerjap-ngerjap saat membaca waktu di layar ponsel. Pukul enam pagi. Dan ia baru tidur satu jam setengah.

Emosinya semalam memuncak lagi saat bersitatap dengan Rafli. Ketika Rafli kembali masuk ke kamar Mawar setelah semenit memperhatikannya, ia masih berdiam diri di balkon dengan kedua tangan yang mencengkeram erat pagar besi pembatas. 

Keinginannya untuk meninju wajah arogan Rafli sangat besar, tapi ia akan menyimpan dulu kepalan tangannya. Meski sekarang ia hanya bisa meninju udara, ia yakin bisa meluapkan kebencian dan pembalasan atas rasa sakit Mawar dengan setimpal kepada Rafli. 

Dengan emosi yang masih menggunung, Arjun mencoba mengalihkan dengan menyibukkan diri mengirim pesan kepada teman-teman perempuannya untuk mencari indekos yang masih kosong. 

“Halo. Sori ganggu. Di kosmu ada kamar yang kosong dan siap ditempati?”

Pesan itu dikirim ke semua teman angkatan perempuan, bahkan kenalan-kenalannya di Surabaya tanpa terkecuali. Sampai azan subuh berkumandang, ia baru meletakkan ponselnya untuk beribadah.  Setelah salam, ia ingin meraih ponselnya lagi, mengecek barangkali ada yang sudah membalas. Namun, matanya malah memberat saat naik ke ranjang karena tubuhnya sudah berontak ingin diistirahatkan.

Normalnya, seseorang yang kekurangan tidur akan kembali terlelap meski sudah mematikan alarm. Tapi Arjun langsung melompat turun dari ranjang dengan mata yang melebar sempurna. Langkahnya berderap cepat saat keluar dari kamar menuju kamar Airin yang ada di sebelahnya.

“Rin! Gue masuk, ya!” 

Setelah mengetuk tiga kali, Arjun memutar knop pintu kamar Airin. Setelah mendorong pintu itu dengan perlahan, kepalanya menyelinap masuk terlebih dahulu untuk melihat situasi. Airin masih bergelung di bawah selimut layaknya kepompong. 

“Rin … Airin!” Arjun menarik-narik selimut Airin, tapi tetap tak mendapatkan respons apapun selain dengkuran halus. 

“Dek! Bangun! Udah pagi!” suara Arjun dinaikkan. Ia juga menarik selimut dengan lebih kencang hingga selimut itu jatuh ke lantai. Barulah Airin membuka kelopak matanya dengan tak rela.

“Kenapa sih? Ganggu banget!” keluh Airin. Tangannya mencoba mencari-cari letak selimut dengan mata yang kembali tertutup, tak kunjung ketemu. “Mana selimut gue!” rengeknya kemudian. 

Alih-alih mengembalikan selimut ke atas tubuh Airin, Arjun memilih duduk di tepi ranjang sambil menarik tangan Airin sampai dia duduk dengan mata yang masih terlem.

“Bangun dong, Princess,” rayu Arjun. 

Mendengar panggilan aneh yang hanya diucapkan Arjun setiap menginginkan sesuatu, akhirnya membuat Airin membuka matanya. Ia balik menatap Arjun yang tengah nyengir dengan mata tajamnya.

“Mau apa lo?” 

Cengiran Arjun makin lebar. “Hehehe. Bantuin gue.”

Airin mendengus kasar. Ia menggaruk dagunya dengan lesu. Ia masih tak ingin memulai kehidupan lebih awal hari ini.

“Oke! Tapi nanti aja. Gue masih mau tidur!” serunya dengan kembali berbaring, tapi Arjun juga menarik tangannya lagi sampai ia terpaksa duduk.

“Harus sekarang, Rin!” desak Arjun.

Rambut Airin yang sudah kusut karena baru bangun tidur semakin berantakan saat ia mengacak-acak geraiannya dengan frustrasi. Kelopak matanya yang masih berat akhirnya dipaksa mendelik ketus kepada Arjun.

“Emang apa sih? Ya Allah! Kenapa lo rusak hari minggu pagi gue yang indah ini? Gue cuma pengen molor sampai siang!”

“Lo bisa tidur lagi, tapi bantuin gue dulu, please.

Arjun menangkupkan kedua tangannya di depan dada, memohon dengan wajah paling nelangsa di depan adiknya. Namun, percobaan itu tak membuat rasa jengkel Airin menghilang karena sudah mengganggu acara tidurnya yang sakral di hari libur.

“Ayolah, My Princess. Adikku yang cantik jelita sejagat raya sentosa—”

“Ya udah! Apa?!”

Mendengar Arjun menjilat dengan panggilan-panggilan menggelikan membuat Airin menyerah. Ia tak mau menyiksa telinganya dengan sebutan-sebutan aneh yang makin memperburuk paginya.

Wajah tertekuk Airin sangat berbeda jauh dengan Arjun yang tersenyum puas setelah berhasil melancarkan taktiknya. Ia makin memajukan tubuhnya untuk mulai mengungkapkan keinginannya.

“Lo kan sering belanja tuh. Gue juga sering kan beliin lo baju—”

“Kenapa diungkit-ungkit? Nggak ikhlas?” 

Airin memotong ucapan pembuka Arjun dengan sensi. Buru-buru Arjun menggeleng, “Ikhlas kok! Ikhlas! Semua juga gue lakuin buat adik gue yang cantik ini.”

“Apanya! Lo nggak mau beliin gue make up set!” ungkit Airin. 

“Bakal gue beliin, tapi nanti kalau lo udah lulus kuliah,” janji Arjun. 

“Alesan!” 

“Sumpah, Dek! Bakal langsung gue beliin begitu lo lulus!” Jari telunjuk dan tengah menjulur Arjun mantap membentuk huruf V, sedangkan air mukanya dibuat lebih tegang untuk menunjukkan keseriusannya.

Airin berdecak. Ia akhirnya diam sambil menyilangkan kedua tangannya selagi menunggu Arjun mengungkapkan keinginannya. 

Back to topic, baju-baju baru lo itu … masih ada nggak?” tanya Arjun, kembali dengan hati-hati.

Mata Airin mulai memicing curiga. “Kenapa emangnya?”

“Gue ambil dulu, ya?”

“Tadi katanya ikhlas!”

Airin memukul-mukul Arjun dengan boneka wortelnya. Sepenuhnya kesal dengan ucapan Arjun yang plin-plan.

“Ikhlas! Nanti gue ganti deh sama yang lain! Sama yang lebih mahal, tapi gue butuh baju cewek sekarang juga!” seru Arjun sambil menangkap boneka wortel itu.

Dahi Airin langsung mengerut. Ia menyipitkan mata pelan, mencoba membaca raut muka Arjun dengan lebih seksama. Mengingat sikap Arjun yang sudah aneh sejak tadi, telah menumbuhkan kecurigaan besar. Ada aroma kerahasiaan yang coba Arjun tutupi dengan cengiran bodohnya itu.

“Kenapa lo butuh baju cewek?” tanya Airin, mulai menginterogasi dengan serius. 

Mulut Arjun terbuka, tapi tak ada kata apapun yang keluar sampai rahangnya mengatup lagi. Ia terus melakukan hal yang sama hingga meyakinkan Airin kalau ada yang coba disembunyikan.

“Dasar anak wedok kurang ajar! Bisanya bikin masalah! Sekarang sok-sokan kabur!”

Airin melompat turun dari kasurnya saat mendengar suara ramai dari luar rumah. Saat membuka jendela, ia bisa melihat seorang perempuan setengah baya sedang mengamuk di teras rumahnya sambil membuang beberapa barang.

Di belakangnya, Arjun ikut melongokkan kepala. Bersama-sama mereka menonton Tri yang sedang mengamuk dengan memasukkan baju-baju perempuan ke dalam tempat sampah. Rafli yang di sebelahnya berusaha menenangkan, meski semuanya sudah terlambat karena para tetangga sudah berkumpul untuk melihat keributan. 

“Apa lo ada hubungannya sama kaburnya Kak Mawar?” selidik Airin setelah menutup kembali jendelanya.

Arjun menelan ludahnya, sedangkan matanya melirik ke kanan dan kiri untuk menghindari Airin.

“Kak! Lo yang bener aja!” Airin mengerang frustrasi.

Meskipun Arjun tak membalas apa-apa, ia tahu kalau diamnya berarti iya. Padahal, sudah berkali-kali ia memperingatkan Arjun untuk tak terlalu bersimpati kepada Mawar, tapi sekarang dia malah ikut campur urusannya juga.

“Bodo amat! Gue laporin lo ke Mama!” serunya sambil berjalan menghentak-hentak untuk keluar kamar.

Arjun menahan lengannya secepat kilat. Ia bahkan menarik Airin agar kembali duduk di tepi ranjang.

“Gue punya alasan ngelakuin ini, Rin!” elak Arjun.

Airin menganga tak percaya. “Lo nggak lihat seberapa serem ibunya?”

Tangan Airin menunjuk-nunjuk ke arah jendela. Suara Tri yang meleking bahkan masih terdengar jelas dari kamarnya meski jendela sudah tertutup rapat.

“Lo bakal kena imbasnya, Kak! Dia pasti bakal ngamuk ke lo! Dan Mama—” Airin memegangi kepalanya yang tiba-tiba merasa pening karena memikirkan masalah ini. 

Membayangkan seberapa besar amarah mamanya saja sudah menakutkan. Ia tak mau melihat keluarganya kembali pecah karena jalan yang diambil Arjun.

“Gue paham sama kekhawatiran lo, Dek.” 

Arjun mencoba menenangkan sambil bersimpuh di depan Airin. Tangannya tak lepas dari genggaman Airin demi menyalurkan keyakinan.

“Kalau lo paham! Lo nggak akan bertindak sejauh ini!”

“Karena gue sayang ke dia—” 

Arjun akhirnya melepaskan perasaannya. Meskipun pengakuannya membuat Airin melebarkan mata kaget. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum memberi Airin pengertian.

“Gue sayang dia, Dek. Semalam gue lihat dia luntang-lantung di jalanan jam dua pagi. Mukanya lebam. Kepalanya terluka, dan dia—” Kepala Arjun menunduk. Ia tak tahu apa harus mengungkapkan perkara ini kepada Airin, tapi jika alasannya tak cukup kuat, ia takut Airin tak akan memihaknya dan melaporkan ke mama. Maka, semuanya akan memburuk. Orang tuanya pasti akan bertindak cepat untuk menekan pergerakannya, bahkan menjauhkannya dari tempat ini.

“Dia …. dia baru dilecehin sama kakaknya sendiri.” Akhirnya ia mengutarakan fakta pahit itu. Hatinya melafalkan ucapan maaf kepada Mawar karena membuka lukanya. 

Arjun menunduk. Kedua bahunya turun dengan lesu. Ia sudah mengatakan segalanya kepada Airin. Ia tak tahu harus meyakinkan dengan cara apalagi agar Airin mempercayainya.

“Kenapa—”

Kepala Arjun mendongak saat merasakan punggung tangannya yang basah. Kali ini, ia yang dibuat terkejut karena Airin yang sudah berlinangan air mata.

“Kenapa … kenapa dia harus mengalami hal sekejam itu?” 

Airin terisak-isak. Arjun sontak beranjak untuk membawa Airin ke dalam pelukannya. Di sebelah tempat tidur, Arjun menepuk-nepuk bahu Airin yang bergetar hebat. 

Airin melingkarkan tangannya di perut Arjun. Membenamkan wajahnya basah dalam rengkuhan itu. 

“Beginilah seharusnya,” pikir Airin. 

Tangisannya makin kencang saat ia merasakan kehangatan yang ditawarkan Arjun. Beginilah seharusnya. Harusnya Mawar merasakan kehangatan dan penjagaan seperti ini dari seorang kakak, bukan sebaliknya.

Membayangkan seorang perempuan berjalan tanpa arah saat dini hari, berhasil menyayat-nyayat hati Airin. 

“Jadi, kamu mau bantu Kakak, kan?” tanya Arjun kemudian.

Isakan Airin makin kencang. Jemarinya mencubit-cubit pinggang dan perut Arjun dengan kesal.

“Gue masih manusia, ya! Ya—ya kali nggak bantuin!” balas Airin dengan tergagap karena tangisannya yang tak kunjung berhenti.

Sebenarnya, permukaan mata Arjun sudah memanas saat mendengar tangisan Airin. Namun, sikap adiknya yang menggemaskan itu membuatnya tergelak. Ia mengusak-usak rambut Airin dengan kelegaan. 

Saat tangisan Airin sudah mulai mereda, Arjun melepas pelukan itu dan kembali menunduk untuk bersimpuh di depan sang adik. Ia tergelak karena muka bantal Airin kini menjadi makin bengkak karena sembab.

“Jangan ngetawain gue!” geram Airin.

“Sori. Sori. Lagian adik gue yang satu ini lucu banget sih,” ucap Arjun sambil membantu menghapus air mata di wajah Airin, juga merapikan rambutnya yang berantakan.

“Awas! Gue mau ambil baju-bajunya!” 

Airin mendorong Arjun dan berjalan cepat menuju lemarinya. Ia membuka pintu lemari bagian kanan di mana ia menyimpan baju-baju yang belum sempat terpakai atau sesekali dipakai.

Matanya memilah baju yang cocok untuk Mawar, lalu melemparnya ke arah Arjun yang berdiri di belakang. 

“Karena Kak Mawar lebih sering pakai baju lengan panjang sama rok, jadi gue pilih yang paling berkain,” celetuk Mawar.

“Hm. Lagian lo sukanya baju yang kurang kain, kan?” sahut Arjun, sengaja menyindir.

Mata Airin memicing kesal. “Itu namanya tren! Anak muda emang bajunya gitu!”

“Tren apaan. Kalau gue lihat lo masih suka pakai crop top pas keluar rumah awas aja, ya!”

“Iya! Iya! Bawel!”

Airin menumpuk satu baju lagi di kedua tangan Arjun. Sudah ada enam stel baju, tapi ia terus membuka-buka lemari untuk mencari baju yang lain.

“Segini cukup kok, Rin. Ini buat keadaan darurat aja. Nanti gue bisa belanja buat beli yang baru,” ujar Arjun.

Airin menghentikan gerakan tangannya yang menyeruak isi lemari. Kemudian, ia mengangguk-angguk dan menutup pintu penyimpanan pakaiannya.

“Ya udah. Beresin gih.”

Arjun meletakkan tumpukan pakaian itu ke atas kasir Airin. Ia merapikan lagi lipatan pakaian yang berantakan sebelum dimasukkan ke dalam ransel. 

“Ngomong-ngomong, lo punya kerudung nggak, Dek?” tanya Arjun saat sadar kalau tak ada jilbab di antara pakaian-pakaian yang diberikan Airin.

“Punyalah! Lo kira gue cewek muslim apaan yang nggak punya kerudung!”

Airin kembali membuka lemari, lalu berjinjit untuk meraih beberapa helai kerudung. 

“Ya abisnya, jarang banget gue lihat lo pakai kerudung,” tukas Arjun saat menerima tiga kerudung berwarna hitam, navy, dan cokelat muda dari Airin.

“Gue pakai kok! Kalau ada acara ngaji di sekolah.”

Arjun menggeleng heran, tapi tangannya tetap sibuk merapikan pakaian dan kerudung untuk Mawar.

“Terus Kak Mawar sekarang di mana? Lo udah pastiin dia aman, kan?” tanya Airin.

“Di hotel. Ini makanya gue buru-buru mau ke sana, takut dia bertindak ekstrem!”

Serta-mertua mata Airin melotot mendengar ucapan Arjun. Ia pun bergerak cepat membantu Arjun merapikan pakaian, bahkan menutup resleting ransel.

“Buruan sana! Buruan!” Airin mendorong-dorong punggung Arjun agar berjalan cepat.

“Tapi gue belum cuci muka! Gue mau ke kamar mandi bentar—”

“Ah! Lama lo! Kalau Kak Mawar kenapa-napa gimana?!”

Airin terus mendorong dan menarik tangannya agar berjalan lebih cepat. Keributan mereka menarik perhatian sang mama yang sedang berada di dapur.

“Kalian mau kemana?” tanya Shima.

Arjun dan Airin yang baru menuruni tangga seketika berdiri kaku. Mereka saling pandang barang beberapa detik, berusaha saling bekerja sama melalui tatapan mata.

“Kita mau—” Airin menggigit bibirnya, kebingungan mencari alasan.

“Kita mau piknik!” Arjun memotong dengan cepat. 

Airin mengangguk-angguk di sebelahnya dengan senyum lima jari. Meski dalam hati merutuki alasan Arjun yang asal bunyi.

“Piknik? Kok nggak bilang Mama? Tahu gitu kan Mama bakal siapin bekal buat kalian,” ucap Shima.

“Deket-deket sini aja kok, Ma!” tutur Arjun.

“Iya, aku pengen ngerasain udara pagi Surabaya. Mumpung libur kan, Ma! Biar nggak tidur aja.” Airin membantu menyempurnakan kebohongan.

Shima mengangguk-angguk. “Bagus deh, kalau kamu sadar. Lain kali olahraga juga, jogging gitu minggu depan.”

“Iya, Ma. Siap!” jawab dua bersaudara itu dengan kompak.

Arjun langsung menarik Airin untuk segera pergi dari hadapan sang mama. Sesampainya di garasi, mereka langsung menghela napas panjang.

“Ternyata gini ya rasanya bohongin Mama. Deg-degan banget! Kok bisa sih lo sering ngelakuin ini, Kak? Nggak takut apa?” Airin terus berseru saat Arjun membantunya mengenakan helm.

“Udah! Jangan keras-keras. Nanti Mama denger,” sahut Arjun sambil menutup kaca helm Airin agar diam.

Airin memanyunkan bibirnya, tapi tetap menurut.

“Terus  gue kemana dong nih? Ikut lo nemuin Kak Mawar?” tanya Airin. Suaranya sengaja dikecilkan saat menyebut nama Mawar.

“Kita pikirin nanti. Sekarang pokoknya harus cepet-cepet keluar rumah biar Mama nggak curiga.”

“Lo harus bayar gue mahal buat pengorbanan ini!”

“Iya. Iya. Bantuin buka pagar gih, biar cepet.”

Airin berjalan lebih dulu keluar rumah untuk mengikuti perintah sang kakak. Di saat pagar baru terbuka, seorang lelaki asing menghampirinya hingga ia melompat terkejut.

“Tetangga baru, ya?”

Airin baru melihat orang itu saat mengintip suara berisik dari rumah Mawar. Otaknya pun bekerja cepat dan langsung menarik kesimpulan kalau dia adalah kakak lelaki yang diceritakan oleh Arjun. Sontak saja Airin memundurkan langkah.

“Mau apa lo?” Arjun menarik tubuh Airin agar bersembunyi di belakangnya. 

“Santai aja kali. Saya cuma nyapa.” 

“Kalau gitu pergi sekarang.”

Bukannya melangkah menjauh, Rafli justru menghapus jaraknya dengan Arjun. Tatapan matanya penuh selidik. Arjun ingin sekali meninju wajah yang berhadapan dengannya detik ini juga, tapi tangannya digenggam erat oleh Airin. Belum lagi, ia tak mau menciptakan keributan yang akan membuatnya dimarahi.

“Perasaan dari semalam kamu terus natap saya penuh dendam. Apa kita pernah kenal? Atau pernah ketemu?” tanya Rafli. 

Rahang Arjun mengatup rapat. Gigi-giginya bergemeletuk karena menahan makian.

“Gue nggak sudi kenalan atau ketemu sama orang kayak lo!” 

Rafli menaikkan satu alisnya. “Kenapa? Emangnya kamu tahu apa tentang saya?”

“Cepet pergi sekarang juga,” tegas Arjun dengan penuh penekanan, tapi tak cukup untuk membuat Rafli berjalan mundur. 

“Kamu nyembunyiin Adik saya, kan?” 

Pertanyaan itu membuat Airin yang berada di belakangnya langsung cegukan. Rafli terkekeh melihatnya. Arjun memang bisa menyembunyikan air mukanya, tapi keterkejutan Airin terlalu jelas untuk dibaca.

“Jadi, bener. Kamu yang bantu dia kabur kemarin? Pantesan dia berani banget keluar malam-malam.”

“Ngomong apa sih? Kalau cuma bisa ngeracau nggak jelas, mending pergi sebelum gue tonjok.” 

Arjun tak main-main dengan ucapannya. Ia sudah cukup sabar menghadapi makhluk keji ini. 

“Saya ngomong kenyataan kok. Mending kamu yang bilang di mana Mawar sekarang sebelum saya buat laporan penculikan.”

“Buat laporan? Justru gue yang bakal laporin lo karena udah ngelecehin adik sendiri!”

“Emangnya kamu punya bukti?”

Jika ada manusia paling tak tahu diri di bumi ini, sudah dipastikan jawabannya adalah Rafli. Tanpa tahu malu dia masih berlagak tak bersalah, bahkan terkesan angkuh.

“Nggak usah munafik deh. Paling kamu juga udah incip tubuhnya Mawar, kan? Makanya berusaha nyimpan dia buat diri sendiri.”

“Lo—”

Usaha Arjun untuk menahan diri berujung sia-sia. Satu tinjuan kuat di pipi berhasil menghempaskan Rafli. Dalam hitungan detik, para tetangga yang baru bubar dari depan rumah Mawar kini kembali berkumpul di depan rumah Arjun untuk menonton perkelahian yang pecah.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1783      1032     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
1283      838     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...
KILLOVE
4633      1438     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Kafa Almi Xavier (update>KarenaMu)
754      446     3     
Romance
Mengapa cinta bisa membuat seseorang kehilangan akal sehatnya padahal prosesnya sesederhana itu? Hanya berawal dari mata yang mulai terpikat, lalu berakhir pada hati yang perlahan terikat. °°°°##°°°° Berawal dari pesan berantai yang di kirim Syaqila ke seluruh dosen di kampusnya, hingga mengakibatkan hari-harinya menjadi lebih suram, karena seorang dosen tampan bernama Kafa Almi Xavier....
Forget Me After The Rain
434      316     1     
Short Story
\"Kalau begitu, setelah hujan ini, lupakan aku, seperti yang aku lakukan\" Gadis itu tersenyum manis
Rain Murder
2559      678     7     
Mystery
Sebuah pembunuhan yang acak setiap hujan datang. Apakah misteri ini bisa diungkapkan? Apa sebabnya ia melakukannya?
Flying Without Wings
1026      548     1     
Inspirational
Pengalaman hidup yang membuatku tersadar bahwa hidup bukanlah hanya sekedar kata berjuang. Hidup bukan hanya sekedar perjuangan seperti kata orang-orang pada umumnya. Itu jelas bukan hanya sekedar perjuangan.
Our Different Way
5459      2092     0     
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus. Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
love like you
458      326     1     
Short Story
My Daily Activities
921      472     1     
Short Story
Aku yakin bahwa setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan asal ia berdo\'a dan berusaha.