Kepulan asap tipis dari semangkuk wedang ronde menari di permukaan wajah Mawar yang pucat. Minuman berkuah kuning kecokelatan dari rebusan jahe dan gula merah itu belum tersentuh sama sekali. Mawar hanya mengaduk-aduk bola-bola ronde yang warna-warni dengan wajah menunduk.
Dalam diamnya, air mata tak bisa berhenti mengalir di pipinya. Ia baru meluapkan semua yang terjadi kepada Arjun. Rahasia besarnya. Luka paling menyakitkan yang sudah menghancurkan dunianya.
“Sejak itu aku juga berkali-kali ingin mati. Aku selalu menyakiti diriku karena membayangkan betapa kotor tubuhku.”
Di kedai wedang ronde yang berada di ujung jalan, Mawar membiarkan rahasianya tumpah ruah di depan Arjun. Tentu ada ketakutan yang terselip di ceritanya—ketakutan tentang cara panjang Arjun yang mungkin akan berbeda kepadanya. Bisa saja Arjun merasa jijik, atau mengatainya sebagai perempuan gila. Tapi tetap saja mulutnya terus meluncurkan seluruh kisah tanpa direm. Seolah-olah, waduk yang selama ini menahan beban-beban telah rusak karena kelebihan muatan.
“Hidupku … hidupku sudah hancur, Jun.” Mawar memberanikan diri untuk menatap Arjun yang duduk di sebelahnya. Arjun yang sejak tadi membisu di sampingnya. “Kamu bilang aku tidak gagal, kan? Aku bukan gagal, Jun. Aku hancur. Aku sudah hancur.”
Mawar kembali menjatuhkan pandangannya ke kuah rebusan rempah di depannya. Aroma jahe yang menguar di hidungnya masih terasa kuat. Aroma yang mampu memberi kehangatan, selain jaket hitam milik Arjun yang kini menenggelamkan tubuhnya.
Sudah cukup lama mereka bersama, tapi Arjun masih tak kunjung bersuara. Mawar mulai menyesali keputusannya karena sudah mengurai setiap simpul rahasia yang disembunyikan.
“Kamu terbuat dari apa, Kak?” celetukan pertanyaan dari Arjun membuat Mawar menoleh lagi ke arahnya dengan bingung.
“Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama diciptakan dari segumpal darah. Tapi, kenapa kamu sekuat itu?” Arjun mengepalkan tangannya. “Kenapa kamu bisa menahannya selama bertahun-tahun?”
Di detik pertama Mawar bercerita tentang lukanya, tentang kakaknya, tentang respons ibunya, Arjun sudah menahan diri untuk tak berteriak marah. Darahnya berdesir panas. Ingin meninju dan membalas siapapun yang membuat Mawar menderita. Terutama lelaki bejat yang memiliki darah yang sama dengan Mawar.
Selama mendengar cerita-cerita Mawar, ia tak bisa mengatakan apa-apa karena terlalu terkejut dengan beban yang selama ini tersimpan di balik mata kosongnya. Ia bahkan tak berani bernapas karena takut embusannya menyakiti Mawar lebih dalam lagi.
“Kamu udah ngelewatin semuanya sendirian, Kak. Tentu kamu merasa hancur. Tentu kamu terluka.”
Bibir Mawar kembali melengkung ke atas. Isakan kembali keluar dari mulutnya. Arjun memberanikan diri untuk menghapus air mata itu. Sebagaimana ia menyalakan nyali untuk memberikan seluruh hidupnya kepadanya Mawar.
“Kamu udah melewati semuanya dengan berani, Kak. Kamu udah melakukan yang terbaik untuk bertahan.”
Tangisan Mawar kembali menggema malam. Mawar tak peduli jika Pak Tua penjual wedang ronde ini menatapnya dengan aneh. Tak peduli kepada tatapan dua lelaki lain yang sedang menikmati mangkuk rondenya dengan berbincang. Karena yang ia pedulikan kali ini hanya ucapan Arjun yang menyejukkan bagai mantra penyembuh.
Arjun tersenyum kecil memandangi Mawar yang masih larut dalam tangisannya. Ia membenarkan tudung jaket di kepala Mawar, menyelipkan helaian rambut Mawar ke dalam tudung.
“Maaf karena dunia ini udah terlalu jahat kepadamu, Kak,” lirih Arjun dengan sepenuh hatinya, seolah-olah ia turut andil menggoreskan luka.
“Kamu udah hadapi semuanya sendirian, jadi mulai sekarang hadapi bersama-sama, Kak. Izinin aku buat selalu bersamamu.”
Bima dan Airin sering jengkel kepadanya karena belum menyadari perasaannya. Selama ini, ia bersikukuh kalau ia hanya sekadar simpati, tapi tak ada simpati yang mampu membuatnya sampai ingin menghancurkan dunia karena sudah terlalu kejam kepada Mawar.
Saat melihat Mawar yang ketakutan dan linglung di tepi jalan, ia sadar kalau hatinya sudah dipenuhi dengan perempuan itu. Ia tak hanya ingin memberi penghiburan semata. Ia ingin menyelamatkannya. Ia ingin membawa bahagia yang abadi ke hidup Mawar. Berharap, rasa kasih sayang dan cinta mampu memeluknya erat-erat.
“Jangan, Jun.” Mawar bersuara setelah berusaha menghentikan tangisan.
Ia kembali menunduk, memandangi kuah wedang rondenya yang mulai menghangat. Kabut tipis yang menandakan seberapa panas kuah itu sudah menguar bersama angin malam.
“Aku nggak mau nyeret kamu ke hidupku yang berantakan,” tutur Mawar. “Nanti kamu akan ikut terluka, Jun. Sebaiknya menghindar saja dari orang yang sudah nggak punya alasan hidup.”
“Ada, Kak. Kita bisa menemukan alasan untuk tetap hidup.” Arjun menyahuti dengan membara. “Aku janji bakal tunjukin hal-hal yang bisa bikin kamu punya satu alasan hidup di setiap harinya,” imbuhnya dengan menyodorkan jari kelingking.
Mawar menatap kelingking itu dengan nanar. Jika ia tak bertemu Arjun malam ini, ia bahkan sudah siap untuk mengakhiri semuanya. Mungkin terjun ke sungai, atau lari ke rel kereta. Ia bisa melakukan apapun karena sudah tak tahu harus berbuat apa lagi dengan hidupnya.
Tidak ada yang menginginkannya di dunia ini. Keluarganya bahkan membuangnya. Ia sudah kehilangan makna hidup, tapi kelingking yang terus mendekat ke hadapannya berhasil menggoyahkan hati.
“Ayo, Kak.”
Senyuman Arjun terulas dengan amat tulus. Mawar jadi tak enak hati menolak kelingkingnya. Ia pun membalas kelingking itu dengan tautan yang gamang, tapi Arjun membalas dengan kuat.
“Oke! Alasan hidup pertama dimulai dari minum wedang ronde!” celetuk Arjun dengan penuh semangat.
Mawar bahkan ikut tersenyum kecil melihatnya.
“Kuahnya udah nggak panas, tapi masih hangat. Cobain deh, Kak. Sensasi minum rebusan jahe di malam-malam begini syahdu banget rasanya. Ngalahin makan mie kuah pedas pas hujan!”
Arjun mendorong mangkuk wedang ronde milik Mawar yang masih utuh.
“Coba incip, Kak. Rasanya tuh berasa diselimuti sampai tulang-tulang.”
Mawar akhirnya mulai menyendok kuah rebusan jahe dan gula merah itu.
“Hm …,” deheman panjang menjadi tanda bahwa Mawar menikmati wedang rondenya.
Sebenarnya ia bukan pecinta minuman tradisional ini karena aroma jahe yang kuat, tetapi malam ini ia bisa mengakui kelezatan yang ditawarkan semangkuk wedang hangat ini.
“Benar kata kamu, rasanya kayak diselimuti sampai ke tulang-tulang,” ujar Mawar.
Arjun tersenyum bangga. Ia ikut menikmati wedang rondenya yang juga belum disentuh. Bola ketan berisi kacang itu segera disantap dengan mata yang mengerjap beberapa kali untuk menunjukkan betapa enaknya perpaduan rasa di mangkuk itu.
“Enak, kan? Bisa bikin sedikit happy, kan?”
Yang membuat Mawar tersenyum saat ini sebenarnya bukan wedang ronde itu, tapi cara Arjun yang berusaha keras menghiburnya. Ia bahkan tak sadar, sejak kapan keberadaan lelaki ini menjadi amat penting di hidupnya.
Beberapa menit lamanya, kedai wedang ronde itu akhirnya lebih hening karena Mawar sudah tak menangis lagi. Arjun juga tak mengajaknya mengobrol. Hanya suara berita yang sedang ditonton Pak Tua yang menyuguhkan riuh. Juga sayup-sayup suara mengaji dari masjid terdekat yang menandakan bahwa waktu subuh hampir tiba.
“Untuk saat ini, Kak Mawar istirahat di hotel aja, ya?” tanya Arjun secara tiba-tiba.
Mawar menggeleng. Ia mencoba menggigit bola ronde berwarna hijau yang kenyal untuk menghindari perbincangan mengenai hal ini dengan Arjun. Membiarkan mulutnya sibuk mengunyah bola ketan berisi kacang tumbuk manis itu.
“Buat hari ini aja, Kak,” mohon Arjun. “Kakak butuh tempat buat istirahat,” tambahnya, berusaha meyakinkan.
Mawar tahu kalau ia memang membutuhkan tempat tujuan. Dan ia juga belum menemukan arah harus pergi ke mana, tapi menerima tawaran Arjun terasa ilegal untuknya. Lelaki itu sudah banyak membantu. Dengan ditemani dan didengarkan ceritanya saja, Mawar sudah sangat berterima kasih.
“Kalau kamu nolak, terus kamu mau istirahat di mana? Aku bisa antar kamu kemana pun asal nggak pulang,” tutur Arjun, masih penuh lemah lembut. “Kamu nggak boleh pulang lagi dan ngadepin keluarga yang udah nyakitin kamu.”
Kunyahan Mawar terhenti. Benar kata Arjun, tidak mungkin ia kembali pulang. Ia tak sanggup untuk menatap wajah kayak dan ibunya lagi.
“Aku bakal nyari kos-kosan cewek nantinya. Tapi saat ini kamu istirahat di hotel dulu. Jangan pikirin masalah biaya.”
Ucapan Arjun terdengar final. Mawar juga tak memiliki celah untuk mengelak. Ia sempat berpikir pergi ke rumah Adel yang berada di Sidoarjo, tapi perjalanan ke sana butuh waktu satu jam. Saat sampai, pasti sudah subuh dan ia tak mau mengejutkan Adel dengan kedatangannya. Ia tak mau merepotkan Adel dan keluarganya dengan alasan ingin menumpang di sana.
Mawar akhirnya hanya pasrah saat Arjun membawanya menuju hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari lokasi kampus. Sewaktu masuk ke lobi, Mawar sadar kalau dirinya tampak bodoh dan berantakan.
Celana doraemonnya yang berwarna biru nyentrik sangat kontras dengan lantai mewah hotel yang tampak berkilau bagai permata. Belum lagi, ia juga merasa bersalah kepada Arjun yang telapak kakinya telanjang, menapak langsung ke ubin yang dingin ini karena sepatunya diserahkan kepadanya.
“Selamat datang di hotel Peace Haven. Ada yang bisa saya bantu?” Resepsionis berseragam hitam dengan kerah kuning keemasan menyapa dengan ramah.
Arjun mengangguk. “Satu suite room—”
“Standard room. ” Mawar memotong ucapan Arjun dengan cepat. “Standard room satu, Mbak,” ulangnya.
Resepsionis bernama Lyla itu mengangguk mengerti. Tangannya bergerak cepat untuk mengurus pesanan. Cukup menunggu beberapa menit, Lyla menyodorkan kartu akses hotel kepada Arjun.
“Kamar nomor 325 ya, Kak. Terima kasih. Selamat beristirahat.”
Arjun dan Mawar mengangguk. Mereka berjalan menuju lift dalam diam. Untuk sesaat, Mawar tersadar bahwa resepsionis itu—bahkan para staf dan beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, pasti berpikiran yang tidak-tidak terhadapnya.
Seorang lelaki dan perempuan masuk bersama-sama ke dalam hotel, tentu pemandangan itu menciptakan imajinasi liar bagi siapa saja yang melihatnya. Biasanya, Mawar tak peduli dengan pandangan orang lain, tapi kini ia merasa sangat malu dan makin kotor. Pecahan memori saat Rafli menyentuhnya kembali teringat hingga membuat tubuhnya bergetar. Seluruh kulit tubuhnya meremang karena membayangkan betapa menjijikkan dirinya saat ini.
“Are you okay?” tanya Arjun sambil memegang bahu Mawar.
Mawar mengangguk. Ia tetap mengusahakan senyuman kecil di bibirnya, meski air mata ingin kembali menguasai dirinya.
Sesampainya di lantai tiga, Arjun kembali memimpin jalan menuju kamar nomor 325. Kamar itu terletak di tengah lorong sebelah kanan. Arjun segera menempelkan kartu akses yang digunakan untuk membuka kunci kamar.
“Silakan, Kak.”
Arjun mempersilakan Mawar untuk mendorong pintunya, lalu menyerahkan kartu akses itu kepada Mawar.
“Hm.”
Mawar menerima kartu itu dengan senyuman kecil. Ia buru-buru masuk karena pertahanan air matanya yang hampir jebol. Namun, sebelum ia benar-benar menutup pintu, ia kembali membukanya hanya untuk menatap Arjun yang masih berdiri di depan kamar hotel.
“Arjun.”
“Ya, Kak? Kamu butuh sesuatu lagi?”
Arjun langsung bertanya dengan kelabakan. Membuat Mawar menatapnya dengan lebih dalam.
“Terima kasih,” ucap Mawar, begitu lirih layaknya bisikan. Namun, Arjun masih bisa menangkapnya dengan jelas.
“Sama-sama.” Arjun ikut melemparkan senyum. “Istirahat ya, Kak. Jangan mikir macem-macem.”
“Nggak janji.”
“Kak ….”
Mawar terkekeh karena raut wajah Arjun yang berubah pucat.
“Iya, janji,” ucapnya kemudian.
Seharusnya Arjun sudah harus pergi dari hadapan Mawar. Harusnya ia berjalan menjauh, tapi kakinya tetap berdiri diam. Kakinya seolah terpaku di lantai hingga ia tak bisa bergerak barang sesenti.
“Kakak tidur aja. Jam tujuh pagi nanti aku ke sini lagi sambil bawa baju ganti dan temenin sarapan,” ujarnya setelah melihat sekilas jam tangan hitam di pergelangannya.
Mawar mengangguk. “Hm.”
“Kalau gitu … dah.”
“Dadah.”
Tangan Arjun terangkat pelan, melambai dengan ragu di udara karena ingin menahan waktu. Keinginannya untuk melihat Mawar masih begitu besar, tapi ia sadar kalau harus memberi ruang bagi Mawar untuk sejenak merebahkan tubuhnya yang terluka.
***
Arjun membuka pagar rumahnya dengan hati-hati agar derit roda pagar tak menimbulkan banyak suara. Langkahnya nyaris sunyi. Tumitnya diangkat setinggi mungkin untuk mengurangi bunyi gesekan dengan lantai. Ketika memasukkan motor ke garasi, telinganya lebih awas demi menangkap suara yang bisa tercipta secara tak sengaja.
Ia baru sadar kalau sudah menahan napas sejak membuka pagar saat helaan panjang akhirnya keluar dari mulutnya setelah memarkirkan motor di sebelah mobil sang papa. Ia yakin kalau orang tuanya masih tidur, jadi ia bisa melengang masuk dengan lebih tenang.
“Dari mana kamu?”
Sampai langkahnya terhenti tiba-tiba karena seruan mamanya. Ruang tengah yang semula gelap, telah terang benderang karena mamanya baru menekan saklar lampu.
Shima sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan kedua tangan bersedekap. Tatapan matanya menuntut penjelasan dari sang putra yang bahkan tak membalas pesan-pesannya sejak semalam.
“Dari Bima, Ma. Kan aku udah izin,” tutur Arjun, mencoba terlihat tenang.
“Dan Mama nggak kasih izin,” balas Shima dengan suara yang penuh tekanan di tiap katanya.
“Iya, aku buka pesan Mama jam tiga pagi ini. Makanya sekarang langsung pulang. Tadi sibuk ngerjain tugas kelompok sama Bima, terus nggak sadar tiba-tiba ketiduran.” Arjun merangkai cerita dengan sangat mulus. Gurat wajahnya yang serius menjadi senjata kebohongannya kali ini.
“Tadi ketiduran sambil duduk, Ma. Sekarang punggung sama bahuku rasanya mau patah.”
Arjun menambahkan bumbu akting dengan menepuk-nepuk bahu, lalu merenggangkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Matanya melirik ke arah mamanya dengan gugup, takut kalau kebohongannya bisa tercium.
“Besok-besok suruh Bima aja yang ke sini. Jangan ngerjain tugas di kosnya lagi,” tukas Shima.
“Siap, Ma!” Arjun mengangkat tangan kanan ke pelipis, bersikap hormat dengan penuh kelegaan.
“Udah! Istirahat sana!”
“Oke, Ma! Mama juga tidur lagi, ya! Belum subuh kok ini.”
Arjun menaiki anak-anak tangga dengan cepat. Buru-buru ingin segera melarikan diri dari sang mama. Takut kalau tiba-tiba mamanya mengendus alibi buatannya.
Sesampainya di kamar, Arjun tak langsung melompat ke kasur. Tak peduli kalau ia juga belum istirahat sama sekali dan membutuhkan tidur. Kakinya lebih memilih melangkah dengan mantap menuju balkon.
Di sana, ia berdiri dengan mata tajamnya ke arah kamar Mawar. Seandainya saja ia langsung pulang. Seandainya, ia tak mampir ke tempat kos Bima, mungkin ia bisa menyelamatkan Mawar dengan lebih cepat.
Arjun mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya. Malam ini bagaikan roller coaster yang menegangkan sehingga ia butuh pereda stres. Namun, siluet tubuh yang berdiri di balik kelambu kamar Mawar membuat korek api yang hampir sampai di ujung rokok kembali padam.
Mata Arjun menelisik makin tajam. Dan segala kebencian yang menggumpal di benaknya langsung menguar saat seorang lelaki akhirnya keluar dari kamar dan berdiri di balkon–berhadapan dengannya. Lelaki yang sudah menghancurkan kehidupan Mawar. Lelaki bejat yang tega menyakiti adiknya sendiri.
Rafli.
Rokok yang semula di sela-sela jemari Arjun telah remuk dalam kepalan emosi. Pandangan matanya tak terlepas dari Rafli yang balik menatapnya dengan penuh keingintahuan.
***