Jika ditanya apa yang paling membuatnya tenang di dunia ini, maka Mawar akan menjawab, “Tamparan angin malam saat membela jalan raya Surabaya yang mulai lengang.”
Pukul sepuluh malam ke atas, kota ini menawarkan pelukan malam yang penuh kedamaian. Sepulang mengajar les privat di akhir pekan, ia akan mengendarai motor secara perlahan agar bisa berlama-lama bertemu dengan angin malam. Jika tidak keluar malam, ia akan menghirup angin itu dari balkon kamar. Memberi pasokan penuh untuk paru-parunya.
Akan tetapi, ketenteraman yang biasa ditawarkan angin malam kali ini tak berpengaruh banyak bagi Mawar. Kepalanya masih berisik dengan berbagai skenario terburuk yang bisa terjadi kepadanya. Sekuat apapun usahanya untuk menyingkirkan pikiran itu, maka makin menancap segala kekhawatiran di benaknya.
“Sudah sampai, Kak.”
Lamunan Mawar terhenti saat mendengar suara Arjun. Ketika ia melihat sekeliling, ia baru sadar kalau Arjun menghentikan motornya tepat di depan gang mereka, bukan di depan gang nomor enam seperti biasa.
“Turun di sini biar Kak Mawar bisa cepet istirahat,” celetuk Arjun, seolah mengerti kebingungan Mawar.
Arjun berinisiatif membantu melepaskan kaitan helm, lalu kembali menepuk-nepuk bahu Mawar untuk menyemangati.
“Kalau gitu kamu masuk dulu aja, Jun,” tukas Mawar.
Arjun menggeleng. “Kakak masuk dulu aja. Aku mau keluar lagi, tadi Bima nelepon minta bantuin nugas.”
“Oh ….” Mawar berusaha mengulas sedikit senyum meski bibirnya masih kaku karena terlalu banyak menangis. “Kalau gitu, good night.”
“Night, Kak.”
Di atas motor matiknya, Arjun termenung sambil menatap punggung Mawar yang makin mengecil. Sebenarnya, bukan hanya Mawar yang memaksakan senyuman, Arjun pun demikian. Sejak melihat Mawar menangis tersedu-sedu, dunianya seolah ikut runtuh.
Percakapannya dengan Airin tempo dulu kembali terngiang di benaknya. Tentang ia yang tak boleh terlalu menaruh simpati kepada Mawar. Tentang cara pandangnya kepada Mawar yang tak boleh disamakan dengan Kak Ardian.
Pukul setengah sebelas malam, ia memutar motornya untuk kembali membela jalan. Ia memang menuju ke tempat Bima, tapi bukan karena Bima yang memintanya datang melainkan dirinya yang butuh teman untuk mengalihkan perasaannya yang berantakan.
“Lo yakin nggak dimarahin bokap-nyokap lo?” sambut Bima setelah membukakan pintu untuk Arjun.
Arjun berdecak. Ia menyelonjorkan kakinya di lantai kamar kos Bima dengan helaan napas panjang.
“Pokoknya gue udah izin dengan alasan nugas,” sahutnya.
“Lo harus ngasih bayaran yang setimpal karena sering pakai nama gue ke orang tua lo, Nyet.”
Bima membiarkan pintu kamar kosnya terbuka agar angin malam bisa menemani mereka. Kemudian, ia ikut duduk di sebelah Arjun setelah menoyor kepalanya dengan kesal. Arjun melotot sebal, tapi tak membalas apapun. Ia kembali menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke tembok.
“Muka lo kayak abis kena musibah berat aja. Kenapa sih? Bukannya lo tadi excited mau jalan sama Mbak Kating itu?”
Mbak Kating adalah cara Bima menyebut Mawar. Sudah beberapa hari terakhir, Arjun memang sering bercerita tentangnya. Ia tertawa terbahak-bahak saat mengetahui kalau hubungan Arjun dengan kakak tingkat yang terlibat kesalahpahaman dulu justru jadi sedekat ini.
“Kaget gue. Bisa-bisanya lo naksir ke kating yang habis marahin lo di depan maba daripada ke cewek-cewek seangkatan sama adik tingkat yang ngejar lo itu,” komentar Bima.
Bima sering menertawakan Arjun sejak itu, meski Arjun tetap bersikeras kalau dia tak menyimpan rasa dan menganggap Mawar sebagai teman jalan-jalan saja. Kalau kata Bima, bahkan semut-semut di kamar kosnya tahu seberapa besar sukanya Arjun kepada Mawar.
Setiap mulutnya terbuka hanya akan bercerita tentang Mawar. Mawar yang senyumnya manis. Mawar yang matanya menyimpan rahasia. Mawar yang baik hati di balik sikap judesnya. Telinga Bima bahkan sudah lelah mendengar cerita tentang Mawar lagi Mawar lagi.
“Ada apa sama tambatan hati lo itu? Kok kusut banget tuh muka. Habis ditolak, ya?” tebak Bima.
Arjun meliriknya tajam. “Dibilang gue nggak naksir.”
“Nggak naksir, tapi suasana hati lo tergantung sama keadaan Mawar,” timpal Bima. Ia mengambil rokok dari atas meja, lalu membaginya satu kepada Arjun. “Gue yakin kalau ada apa-apa sama si Mbak Kating,” lanjutnya setelah menyalakan korek ke rokoknya sendiri dan rokok Arjun.
Arjun menyesap rokoknya dalam-dalam, lalu membuang kepulan asapnya secara perlahan dari mulut. Ia terus melakukannya sampai lima hisapan hingga nikotin itu bereaksi untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Meski tangisan Mawar masih belum tersamarkan di ingatan.
“Dia habis nangis. Katanya nggak bisa ikut wisuda akhir tahun ini.” Arjun memulai ceritanya.
Bima mendengus. Merasa sedikit bangga karena tebakannya benar. Kalut di wajah Arjun pasti karena Mawar.
“Dan lo ikut sedih?” tanya Bima.
Arjun mengembuskan asap rokoknya dengan lebih keras. Meski ia ingin mengelak pertanyaan itu, gundah yang memenuhi dirinya tak bisa disembunyikan. Ia bersedih. Ia memang ikut sedih.
“Hm.”
Hanya deheman itu yang bisa Arjun gunakan sebagai jawaban, tapi cukup untuk membuat Bima berseru kesal.
“DAN LO MASIH DENIAL KALAU NGGAK NAKSIR?”
Pekikan itu dibuahi tatapan maut dari Arjun, juga suara batuk yang disengaja dari tetangga kamar kos. Bima langsung menyesal karena kelepasan berteriak dan mengganggu tetangganya.
“Gara-gara lo sih,” gerutu Buma, melempar kejengkelan kepada Arjun yang balik melotot sebal.
“Lo yang teriak ya, Nyet!”
“Karena lo bikin gue stres!
“Gue juga stres!”
Isapan rokok Arjun jadi makin cepat. Bima ingin kembali memukul kepalanya agar bisa berpikir, tapi pada akhirnya ia tetap diam dan juga menikmati rokoknya. Memberi waktu bagi Arjun untuk kembali termenung.
“Sebenarnya, apa sih yang bikin lo denial terus kalau lo suka Mbak Kating?”
Hening yang diberikan Bima tak berlangsung lama. Arjun masih tak berniat menjawabnya. Karena sesungguhnya, ia pun tak tahu harus menjawab apa.
Di kepalanya dipenuhi dengan beribu wajah Mawar—dia yang tersenyum, tertawa, menangis, wajahnya yang melamun. Semuanya sudah tertato dalam kepala hingga tak bisa dihapus lagi. Saat ia sedang makan pun, ia juga berpikir tentang Mawar, bertanya-tanya apa Mawar menyukai ayam goreng sepertinya.
“Lo itu naksir. Berani sumpah deh gue!” Bima kembali berseru. Rokok di tangannya sudah habis dan ia membuang putungnya ke asbak setelah menekan bara yang tersisa di ujung rokok.
“Tapi usia gue sama Kak Mawar terpaut jauh. Lima tahun, Bim. Dia lebih gue anggap sebagai kakak aja,” sahut Arjun.
Bima berdecak. “Zaman sekarang mah umur nggak jadi masalah! Banyak cewek dewasa yang pacaran sama brondong. Lagian nih ya, kalau anggap dia kakak doang, nggak mungkin sampai bikin lo lesu begini.”
“Gue begini, karena gue bersimpati ke dia.”
“Masih nggak mau ngaku aja.”
Bima menggeleng prihatin. Ia memilih mengabaikan Arjun dengan mengambil gitar yang semula diletakkan di atas ranjang. Memikirkan beberapa lagu yang enak untuk menemani malam ini.
“Malam ini gue nginep di sini deh,” putus Arjun seraya naik ke ranjang Bima.
“Nggak dimarahin nyokap lo?” tanya Bima.
Arjun menggeleng. “Udah gue chat kok Mama.”
“Ya udah. Merem sana lo daripada mukanya kusut kek habis cerai.”
Guling di sebelah Arjun ia gunakan sebagai senjata untuk menimpuk Bima. Membuat Bima bersungut-sungut karena guling itu mengenai kepalanya. Karena wajah Arjun yang mengenaskan malam ini, ia jadi sedikit berbaik hati tak membalas timpukannya. Ia lebih memilih menyetem gitar, lalu mulai melantunkan sebuah lagu.
“Bukan … ku tanpa alasan. Berulang ingin bertemu ….”
Aku Yang Jatuh Cinta dari Dudy Oris mulai memenuhi kosan Pak Wisnu yang didiami enam penghuni. Mereka semua sudah terbiasa dengan petikan gitar Bima. Hitung-hitung sebagai lulabi yang menemani istirahat malam.
“Tahukah dirimu, tahukah hatimu? Berulang kuketuk, aku mencinta … mu. Tapi dirimu tak pernah sadari. Aku … yang jatuh cinta.”
Arjun menahan diri untuk tak mengambil bantal di bawah kepalanya sebagai senjata lain untuk menimpuk Bima. Pemilihan lagu yang sedang disenandungkan terasa disengaja. Bima seolah tengah menyindirnya agar cepat sadar tentang perasaannya. Padahal, sudah berulang kali ia menegaskan bahwa perasaannya kepada Mawar tak lebih dari simpati.
“Aku mencintaimu tanpa syarat … Aku rela menunggu sangat lama ….”
Senandung lagu sudah berganti ke Tanpa Cinta dari Yovie and Nuno. Arjun mengambil bantal di bawah kepalanya, lalu digunakan sebagai penutup telinga. Ia tak mau mendengar lagu-lagu sendu dari Bima. Pun ia tak mau berpikir lagi tentang Mawar dengan mencoba melelapkan matanya.
***
Pukul dua dini hari. Arjun memandangi ponselnya dengan helaan napas panjang.
Sudah berapa lama ia mencoba menutup matanya? Tapi saat waktu sudah melewati tengah malam, usahanya tak kunjung berhasil. Bima bahkan sudah tidur dari tiga jam yang lalu setelah menyenandungkan lima lagu. Suara dengkurannya yang keras membuat Arjun menutup mulut Bima dengan guling.
Bima gelagapan. Tangannya mengambil alih guling itu meski matanya masih melekat bagai dilem. Kemudian ia mengubah posisinya jadi miring ke kanan, tepat menghadap Arjun. Membuat Arjun akhirnya menyerah dan bangun dari rebahnya.
Kamar kos Bima gelap total. Hanya ada sorotan lampu dari teras yang masuk melalui ventilasi. Juga dari cahaya ponselnya yang masih menyala.
Arjun sudah mengunci pandangannya ke layar ponsel selama sepuluh menit. Terdapat rentetan notifikasi dari mamanya yang tak mengizinkannya menginap, tapi ia tetap tak memedulikan itu. Karena yang sedang sibuk menguasai pikirannya hanyalah, bagaimana cara menghubungi Mawar.
“Apa Mawar masih menangis?”
“Apa dia baik-baik saja?”
“Mawar tak akan melakukan tindakan ekstrem dengan menyakiti dirinya sendiri lagi, kan?”
Berbagai tanya itu memenuhi isi kepalanya hingga ia tak bisa terlelap barang sedetik. Ia jadi teringat dengan luka-luka di lengan Mawar. Sudah berkali-kali ia ingin mengulik pembahasan itu lebih dalam, tapi Mawar sengaja mengalihkan pembicaraan. Ia jadi paham kalau Mawar masih tak bisa membuka keseluruhan lukanya.
“Lagian lo emang siapa?” batinnya menyahuti lamunannya.
Dia bukan siapa-siapa bagi kehidupan Mawar. Dan dirinya sendiri yang selalu mengatakannya kepada orang lain tiap ditanya mengenai perasaan dan hubungannya dengan Mawar. Namun, untuk kali ini. Ia terusik dengan jawaban bukan siapa-siapa.
“Gue pulang aja deh,” putus Arjun. Menyerah dengan segala bising di kepalanya.
Ia melompat turun dari kasur, membuat ranjang itu bergoyang sampai Bima tersadar dari lelapnya.
“Mau kemana lo?” tanyanya dengan suara serak.
Arjun meraih jaketnya yang semula dilempar sembarangan ke kursi Bima.
“Pulang.”
Bima mengucek-ngucek matanya, berusaha menatap Arjun yang sudah mengenakan jaket hitamnya.
“Lah? Katanya nginep?”
“Nggak jadi.”
Bima meraih ponsel di sebelahnya. Makin mengerut bingung saat melihat waktu yang tertera di layar ponsel
“Sekarang udah jam dua. Kenapa nggak nunggu pagi sekalian?”
Arjun menggeleng cepat. “Gue duluan ya. Thanks.”
Ia buru-buru keluar dari kamar kos setelah meraih kunci motor di meja.
“Orang nggak jelas,” rutuk Bima, sebelum kembali menjatuhkan kepalanya ke bantal untuk melanjutkan mimpi.
Malam itu, firasat Arjun sangat buruk. Ia tak kunjung menemukan ketenangan meski sudah berkali-kali mencoba memanipulasi pikirannya bahwa semua baik-baik saja. Wajah Mawar benar-benar tak bisa sirna meski matanya sudah terpejam.
Tangisannya.
Matanya yang putus asa.
Telinganya bahkan seolah mendengar bisikan Mawar yang meminta pertolongan.
“Tolong aku. Tolong aku ….”
Arjun makin melajukan motornya saat batinnya terus bergejolak tak tenang. Jalanan Surabaya yang sepi saat jam dua pagi membuatnya makin leluasa melesat layaknya ular.
Tinggal beberapa menit lagi ia akan sampai rumah, lalu ia akan berdiri di balkon kamar demi memperhatikan kamar Mawar. Jika lampunya belum dimatikan, ia akan mencoba menghubungi Mawar karena dia belum terlelap.
Sisa lima puluh meter dari rumahnya, rem di tangan ditekan mendadak sampai roda motornya hampir tergelincir aspal. Arjun menepikan motornya, lalu membuka kaca helm saat menoleh ke belakang. Tepatnya ke perempuan yang kini berjalan linglung di trotoar.
Arjun berani bersumpah kalau perempuan itu adalah Mawar. Meski dia tak mengenakan kerudung pashminanya seperti biasa, ia yakin perempuan itu adalah Mawar.
Bajunya masih sama seperti terakhir mereka berjumpa. Kaos hitam bertulis 'Jogja’, hanya saja dia tak mengenakan kardigan cokelatnya. Roknya juga berganti dengan celana tidur bergambar doraemon.
“Kak Mawar!” Arjun berteriak memanggilnya, tapi Mawar tak bergeming. Dia tetap berjalan dengan langkahnya yang terhuyung-huyung.
Perasaan Arjun makin berantakan melihatnya. Ia memutar motornya untuk mencegat Mawar.
“Kak!”
Mawar tetap berjalan meski Arjun sudah berada di sisinya. Tatapan mata Mawar yang sempurna kosong membuat firasat Arjun makin buruk. Ia memarkirkan motornya dengan sembarangan di trotoar, lalu mengejar Mawar.
“Kak! Kamu kenapa?”
Arjun menangkap tangan Mawar, yang langsung ditepis dengan teriakan takut. Sontak Arjun terkejut bukan main. Jika dilihat dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat memar di kedua pipi Mawar. Dahinya bahkan tergores.
Keadaan Mawar saat ini jauh … jauh dari kata baik-baik saja. Rambut panjangnya kusut, pakaiannya lusuh dan robek di bagian bahu. Tubuhnya bergetar hebat. Terlebih lagi, matanya. Matanya seolah tak mengenali Arjun.
“Kak ….” Tenggorokan Arjun tercekat.
Riak air di mata Mawar bagaikan senapan yang melubangi hatinya. Firasat yang sejak tadi mengganggunya memang benar.Ada sesuatu yang terjadi kepada Mawar. Sesuatu yang teramat buruk.
“Sebenarnya … sebenarnya kamu kenapa?” tanyanya dengan suara serak. Tangannya menggoyang-goyang tubuh Mawar hingga Mawar mampu menatapnya.
"Kak Mawar!"
“Arjun?”
Air mata Arjun tumpah saat mendengar namanya dipanggil dengan teramat lirih. Ia mengangguk. Tangannya mengelus pipi Mawar yang juga basah oleh tetesan hujan dari matanya.
“Ini aku, Kak … Arjun.”
“Arjun—” Mawar mencengkeram jaket hitam Arjun. Bibir bawahnya digigit kuat-kuat. “Arjun … tolong.”
Dan dengan kata itu, Arjun membawa Mawar ke dalam dekapannya. Membiarkan tubuhnya sebagai jubah yang melindungi Mawar dari gigitan udara angin malam.
“Tolong—”
Mawar hanya terus mengulang kata itu dalam rengkuhannya. Sebuah permohonan yang tak mungkin diabaikan. Bahkan, Arjun sudah bersumpah atas hidupnya untuk melindungi Mawar.
Mulai detik ini.
Mulai malam ini.
Arjun akan membawa nama Mawar di setiap helaan napasnya. Ia tak akan membiarkan perempuan itu hanyut dalam luka yang diberikan dunia. Dengan ini, ia sadar bahwa perasaannya kepada Mawar memang lebih dari simpati.
***