Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Roh Mawar seolah sudah diambang-ambang ketidaksadaran saat membuka pintu. Namun, kakinya tetap dipaksa berjalan memasuki rumah, lalu menaiki peranakan tangga, dan sampailah ia di kasurnya yang nyaman. 

Hari ini ia lalui dengan banyak menangis sehingga tenaganya terkuras habis. Layaknya benda elektronik, ia pun ingin menambah daya dengan beristirahat barang sejenak. Kelopak matanya yang memberat menjadi tanda bahwa insomnianya malam ini kemungkinan besar tak akan mampir. 

“Nah! Tuh! Baru pulang jam segini!”

Teriakan ibunya memang selalu berhasil membuatnya tersentak, tapi kali ini bukan itu alasannya menahan napas. Lelaki yang berdiri di sebelah ibunya yang mampu membuat tubuhnya seketika kaku.

“Alasannya ngurus skripsi terus, tapi masa jam segini baru pulang? Mana nggak lulus-lulus! Paling juga pacaran doang!”

“Bu, sudah. Jangan dimarahin terus.”

Lelaki itu membela Mawar dengan suara lembutnya, tapi Mawar justru mual mendengarnya. Ia bahkan bisa muntah sekarang juga saat mata itu berbalik memandangnya.

“Masuk sini. Kamu nggak kangen sama Mas?”

Rafli merentangkan tangannya, mengundang Mawar untuk memeluk sang kakak yang baru pulang dari rantauan. Kaki Mawar berjalan dengan perlahan untuk mendekat, meski ia lebih ingin berlari keluar rumah. Tapi bisa apa dirinya di bawah ancaman mata sang ibu?

“Makin gede aja ya kamu,” bisik Rafli saat mengeratkan pelukan. 

Mawar tak menjawab apa-apa, hanya mengangguk kaku sebelum mengerahkan segala tenaganya untuk mengambil langkah mundur. Melepas paksa pelukan kasih dari sang kakak.

“Aku mau tidur dulu, Bu,” pamit Mawar sambil melirik sekilas ke arah ibunya yang masih berkacak pinggang. 

Kali ini kakinya melangkah dengan lebih luwes. Ia bahkan bisa terbang asal bisa segera sampai ke kamarnya. Di belakang, ibunya masih tak berhenti merutuki dirinya di depan Rafli.

“Lihat tuh kelakuan adikmu! Bikin pusing tiap hari! Untung aja Ibu masih punya kamu, anak lanang yang bisa dibanggain. Bisa bantu-bantu Ibu buat bayar keperluan bulanan.”

Makian ibunya selalu menyakitkan hati meski setiap hari mendengarnya, tapi kali ini ia abai dengan amukan itu. Bunyi nging lebih mendominasi gendang telinganya. Ia bahkan tak mendengar suara langkah kakinya sendiri, begitu pula pintu kamar yang dibanting keras-keras. 

Tangannya gemetar saat memutar kunci. Napasnya bisa terembus lebih lega, tapi matanya masih bergetar saat mencari-cari barang apapun yang bisa digunakan untuk menjadi penghalang pintu. 

Mawar melempar tasnya ke kasur, lalu menarik kursi belajarnya. Di atas kursi itu, ia menumpuk buku-buku pelajaran dan novel-novel tebal sampai setinggi bahunya. Jika bisa, ia ingin menarik lemari kayunya tapi tenaganya tak memungkinkan untuk itu. 

“Harusnya sudah aman,” gumam Mawar sambil memandangi pintu. 

Matanya tak bisa berhenti tertuju pada pintu meski ia sudah duduk di tepi ranjang. Jantungnya masih berdentum keras sejak bertemu dengan Rafli. Berkali-kali ia menahan rutukan tentang kepulangan kakaknya. 

Dia sudah tak menampakkan diri selama dua tahun, kenapa tiba-tiba datang lagi? Bukannya pekerjaan di Jakarta sangat padat? Dia bahkan tidak kembali saat peringatan hari raya, lalu kenapa dia pulang sekarang? Kenapa?

Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Mawar di sepanjang malam. Meski matanya sudah berdemo untuk dilelapkan, ia tetap melotot ke arah pintu. Mengabaikan rasa panas dan kering di permukaan matanya. 

Tidak. 

Ia tak boleh tidur. 

Akan tetapi, rasa lelah mengkhianati usahanya. Kesadarannya hilang saat waktu sudah melewati tengah malam. Tubuhnya berbaring di tepi kasur dengan kedua kaki yang masih menggantung ke lantai. 

***

Ada satu ketakutan terbesar bagi perempuan di dunia ini—dilecehkan. Secara global, diperkirakan ada tujuh ratus juta perempuan—atau satu dari tiga perempuan—yang pernah mengalami tindak kekerasan fisik dan seksual. Dan Mawar tak pernah mengira kalau dirinya menjadi salah satu penguat data itu. 

Usianya baru tujuh belas tahun saat pertama kali menjadi korban pelecehan dari kakaknya sendiri. Bermula dari dirinya yang ketiduran di ruang tengah, ia terbangun karena merasakan daerah sensitifnya sedang disentuh. 

Waktu itu Mawar hampir berteriak, tapi Rafli membekap mulutnya sambil mengancam, “Kalau teriak, kamu bakal dimarahin Ibu.”

Rafli adalah kakak kebanggannya. Dia menjadi contoh yang baik karena selalu meraih peringkat satu sejak sekolah, lalu diterima di universitas bergengsi dengan jalur undangan. Ibunya selalu membanding-bandingkannya dengan Rafli karena prestasinya. Namun, sejak malam itu pandangannya terhadap Rafli sudah berubah total.

Rumah menjadi tempat yang menyeramkan. Mawar lebih memilih berlama-lama keluar rumah, entah mengerjakan tugas atau sekadar nongkrong bersama teman-temannya. Oleh karena itu, ia lega bukan main saat Rafli akhirnya merantau ke Jakarta setelah wisuda. 

Ia tak perlu mengunci pintu kamarnya. Ia tak perlu merasa gelisah di sepanjang malam. Dan, ia bisa tidur dengan tenang. 

***

Mata Mawar langsung melebar saat merasakan sensasi aneh di area sensitifnya. Ia sudah bersiap untuk berteriak, tapi tak ada suara yang keluar karena bekapan tangan di depan mulutnya.

“Bentar aja, Dek,” bisik Rafli dengan embusan napas berat di telinga kanan Mawar.

Mawar menggeleng. Kedua tangan dan kakinya berontak. Satu tendangan berhasil ia lepaskan tepat di kemaluan Rafli sehingga ia terjatuh dari ranjang dengan suara gedebuk keras.

Kesempatan itu digunakan Mawar untuk melarikan diri, tetapi Rafli berhasil menarik kakinya hingga ia terjerembab ke lantai sekeras-kerasnya.

Dahinya pun terbentur ujung kursi yang sudah berada di tengah ruangan. Membuatnya sadar kalau Rafli berhasil membobol pintu kamarnya.

“Sini lo!” 

Rafli menarik kerah kaosnya. Menyeret tubuh Mawar yang masih tergeletak di lantai dengan kuat sampai merobek jahitannya. Dalam temaram lampu tidur, Mawar bisa melihat senyuman miring yang tersemat di ujung bibir Rafli.

“Diem! Diem!”

Kedua pipinya terasa kebas karena tamparan Rafli yang tak berujung. Namun rasa sakit yang dirasakan fisiknya tak lebih buruk daripada yang diterima batinnya. Ia terus menangis saat tangan Rafli kembali menggerayangi tubuhnya.

“Argh!”

Ketika Rafli mulai menciumi lehernya, ia segera menggigit telinganya sekuat mungkin sampai cengkraman itu akhirnya terlepas. Sontak kakinya berlari keluar kamar dengan terus berteriak.

“Ibu! Tolong! Tolong!!”

Dadanya sudah naik turun setelah menuruni anak tangga. Kamar ibunya yang terletak di dekat ruang tengah akhirnya terbuka. Menampakkan wajah kusut Tri yang  sudah melotot kesal pada Mawar. Di belakangnya, muncul Lea yang ikut menatapnya dengan bingung. Pintu kamar ayahnya pun ikut terbuka, menampakkan sosok sang ayah yang berdiri dengan tangannya yang bergetar dan kaku.

“Kenapa sih teriak-teriak?! Masih malem ini!” bentak Tri.

“Mas!” 

Mawar menunjuk-nunjuk ke arah lantai atas. Ia kesulitan bicara karena tangisannya yang sudah menggema ke seluruh penjuru rumah.

“KENAPA SIH? NGOMONG YANG JELAS!” suara Tri makin meninggi. Pukul dua dini hari, tapi rumah itu sudah hingar-bingar mengalahi pasar.

“Mas Rafli mau merkosa aku, Bu!” Mawar akhirnya bisa menyempurnakan kalimatnya setelah hanya bisa tergagap dan tersedu-sedan.

“Ngomong apa kamu itu?” sahut Tri dengan air muka yang mengeras.

“Demi Allah!” Mawar berseru putus asa. Kedua kakinya bahkan terasa tak bertulang karena ketakutan yang masih memenuhi dirinya. “Dia—dia masuk ke kamarku! Dia mau ngelecehin aku! Tolong percaya sama aku kali ini, Bu!”

Tri langsung melangkah cepat menaiki tangga. Ingin memastikan ucapan Mawar. Di belakangnya, Mawar mengekor dengan takut-takut. 

“Mana? Katanya dia di kamarmu? Kosong gini loh!” pekikan Tri meleking setelah membuka pintu kamar Mawar. 

Mawar ikut melongokkan kepalanya ke dalam kamar, tapi kamar itu memang kosong. Hanya tersisa kekacauan di dalamnya. 

“Ada apa ini berisik banget?”

Mawar berjingkat kaget saat mendengar suara yang paling ditakuti itu kembali terdengar. Rafli keluar dari kamarnya yang berada di sebelah ujung ruangan dengan mengucek-ngucek mata, seolah-olah dia baru terbangun dari tidurnya. Penampilannya total kusut khas orang bangun tidur. Mawar hanya tercengang melihat aktingnya. 

“Kamu bohongin Ibu, ya?” tuduh Tri.

Mawar menggeleng-geleng dengan panik. “Enggak! Enggak! Tadi dia di kamar!”

“Kamu pasti cuma cari perhatian! Kamu iri kan sama Mas-mu yang udah sukses? Jadi kamu ngefitnah dia?!”

Dakwahan Tri membuat Mawar berhenti bicara. Hanya tersisa isakan yang keluar dari mulutnya. Ada beberapa kali dalam sehari, Mawar bertanya-tanya kenapa ibunya membencinya? Kenapa ibunya selalu menyakitinya? Namun, pertanyaan-pertanyaan itu sudah tak penting lagi. Karena ia pun tak mau mendengar alasannya. 

Di detik ibunya lebih membela Rafli yang sudah menghancurkannya, ia tahu kalau keberadaannya tak pernah dianggap penting. Ia hanya pelengkap dari kata keluarga utuh, yang aslinya terlupakan–terabaikan. 

“Mau kemana kamu?!”

Tri masih berteriak nyaring saat Mawar sudah membalikkan badan untuk keluar dari rumah. 

“Habis gagal ngefitnah Mas-mu, sekarang mau kabur? Sok tersakiti?”

Mawar memejamkan matanya. Berusaha menulikan telinga agar luka di hatinya tak makin menganga lebar. Ia mengabaikan tatapan Lea yang begitu polos seolah memintanya agar tak pergi, juga mata ayahnya yang bersinar nanar.

Demi Tuhan. Ia sudah cukup tersakiti. Dan, ia tak sanggup untuk menerima luka yang lain.

Keluarga yang harusnya melindungi dan menjadi tempat bersandar, kenapa malah mendorongnya ke tepi jurang? 

Dunianya hancur saat ia dilecehkan dan kini kiamat terasa sudah di depan mata saat ibunya malah lebih percaya kepada sang penjahat. Ibunya … ibunya tetap memojokkannya. Ibunya … tetap membencinya.

Hatinya sudah berdarah-darah. Ketika kepalanya mendongak ke langit malam, ia mencoba menelisik ke balik awan, bersama jiwanya yang memohon pertolongan. 

“Ya Allah. Aku tak sanggup lagi.”

Waktunya benar-benar berhenti total. Ia tak mampu merasakan apapun, meski telapak kaki tak beralasnya berkali-kali menancap pada kerikil-kerikil tajam. Walau angin malam mencabik-cabik kulitnya. Ia tetap berjalan dengan jiwa yang hampa. Seolah-olah fisiknya turut mati rasa. 

Mawar merasa dunia ini sungguh tak adil. Bagaimana mungkin semua tampak baik-baik saja di saat ia merasa semuanya sudah berakhir? Langit yang masih berdiri tegak meski tanpa penyangga, dedaunan yang berdansa bersama ranting-ranting, lolongan kucing jalanan. Dunia sungguh tetap berjalan sebagaimana mestinya. 

Bagaimana bisa? Lalu … lalu bagaimana dengan dirinya? Ia bahkan tak tahu cara menghadapi hari esok. Ia pun tak memiliki tempat untuk dituju. Tak mungkin dirinya kembali ke rumah yang sudah menaburkan garam pada lukanya. 

Kemana?

Tuhan, aku harus kemana?

“Kak Mawar!”

Kekosongan matanya perlahan hilang saat mendengar lengkingan namanya. Arjun rupanya sudah berdiri di depannya dengan tangan yang memegang erat-erat bahunya. Pegangan yang mampu membantunya tetap berdiri.

“Arjun?” panggilnya dengan suara serak. 

“Ini aku, Kak … Arjun.”

Air mata Mawar makin tumpah ruah saat sadar kalau di depannya benar-benar Arjun. Kelegaan menguar di dadanya. Rasanya begitu menenangkan saat ada satu orang yang menghampirinya di saat dunia membelakanginya.

“Arjun—” Tangan Mawar naik untuk mencengkeram ujung jaket lelaki di depannya. Ia sudah putus asa. Ia sudah tak sanggup untuk tetap hidup. “Arjun … tolong.”

Di sepanjang hidupnya, ia tak pernah mengucapkan kata itu. Tolong. Karena baginya, orang lain sudah memiliki bebannya sendiri. Ia tak mau menambahi dengan kesulitannya. Ia harus bisa mandiri dengan segala permasalahan hidupnya.  Tapi, kali ini … untuk kali ini saja, ia ingin meminta pertolongan. Ia membutuhkan pertolongan. 

“Tolong—”

Mawar memohon dengan suara lirihnya, dengan seluruh jiwanya yang telah berdarah, dengan mengais sisa-sisa harapan yang hampir hilang. 

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perihal Waktu
428      302     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
Titip Salam
3951      1501     15     
Romance
Apa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javitri yang mudah bergaul dengan orang di sekelilingnya, membuat dia sering kerepotan karena mendapat banyak titipan untuk teman kosnya. Masalahnya, m...
Teacher's Love Story
3254      1106     11     
Romance
"Dia terlihat bahagia ketika sedang bersamaku, tapi ternyata ia memikirkan hal lainnya." "Dia memberi tahu apa yang tidak kuketahui, namun sesungguhnya ia hanya menjalankan kewajibannya." Jika semua orang berkata bahwa Mr. James guru idaman, yeah... Byanca pun berpikir seperti itu. Mr. James, guru yang baru saja menjadi wali kelas Byanca sekaligus guru fisikanya, adalah gu...
DEWDROP
1063      551     4     
Short Story
Aku memang tak mengerti semua tentang dirimu. Sekuat apapun aku mencoba membuatmu melihatku. Aku tahu ini egois ketika aku terus memaksamu berada di sisiku. Aku mungkin tidak bisa terus bertahan jika kau terus membuatku terjatuh dalam kebimbangan. Ketika terkadang kau memberiku harapan setinggi angkasa, saat itu juga kau dapat menghempaskanku hingga ke dasar bumi. Lalu haruskah aku tetap bertahan...
Bersua di Ayat 30 An-Nur
947      467     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang wanita muslimah yang penuh liku-liku tantangan hidup yang tidak tahu kapan berakhir. Beberapa kali keimanannya di uji ketaqwaannya berdiri diantara kedengkian. Angin panas yang memaksa membuka kain cadarnya. Bagaimana jika seorang muslimah seperti Hawna yang sangat menjaga kehormatanya bertemu dengan pria seperti David yang notabenenya nakal, pemabuk, pezina, dan jauh...
CATCH MY HEART
2859      1107     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
199      158     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
My First love Is Dad Dead
56      53     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Dear Diary
646      433     1     
Short Story
Barangkali jika siang itu aku tidak membongkar isi lemariku yang penuh buku dan tumpukan berkas berdebu, aku tidak akan pernah menemukan buku itu. Dan perjalanan kembali ke masa lalu ini tidak akan pernah terjadi. Dear diary, Aku, Tara Aulia Maharani umur 25 tahun, bersedia melakukan perjalanan lintas waktu ini.
Bulan
748      446     5     
Short Story
Ketika Bulan mengejar Bintangnya kembali