Jalan Tunjungan selalu padat saat malam hari. Arjun dan Mawar sudah berkeliling dari Gedung Siola sampai sekitar Hotel Majapahit. Mereka sudah melewati berbagai kafe-kafe berkonsep unik, stan jajanan pedagang kaki lima, restoran-restoran mewah, bahkan toko-toko barang antik dan cinderamata bagi para pariwisata.
Mereka akhirnya memilih duduk-duduk di kursi umum dengan thai tea yang baru dibeli, juga sekotak donat yang menemani. Sorotan lampu warna-warni yang menerangi bangunan-bangunan tua di sisi jalan membuat suasana malam di jalan itu selalu menyenangkan. Sejak kecil, Mawar memang bisa berlama-lama di sana tanpa merasa bosan.
“Jadi, sidangnya kemungkinan akhir Oktober ini?” tanya Arjun, setelah Mawar bercerita bahwa revisi terakhir yang diminta Bu Endang sudah selesai dan akan diberikan senin depan.
“Hm! Ah! Rasanya masih nggak nyangka ….”
Arjun pernah berkata kalau mata Mawar selalu dilapisi kehampaan, tapi malam ini matanya terlihat lebih hidup dan berwarna saat memandangi lampion di sekitar mereka.
“Saya ikut seneng, Kak,” balas Arjun.
Mawar tersenyum. “Terima kasih.”
Arjun menyomot donat dengan krim tiramisu ke dalam mulutnya. Mawar tergelak saat krim itu tertinggal banyak di sudut bibir Arjun.
“Cara makan saya berantakan banget ya, Kak?” gelak Arjun.
Mawar masih tertawa, lalu menyodorkan tisu dari dalam tasnya ke arah Arjun.
“Thanks, Kak.”
Arjun kembali menggigit donatnya, kali ini lebih berhati-hati karena takut kembali belepotan.
“Arjun.”
“Ya, Kak? Comot lagi, ya?”
Arjun buru-buru kembali membersihkan sudut bibirnya dengan tisu, tapi Mawar menggelengkan kepalanya.
“Kita udah cukup kenal. Nggak usah terlalu formal. Stop pakai saya,” tuturnya kemudian.
Arjun termenung beberapa waktu, sebelum mengangguk dengan senyuman lebar.
“Oke, Kak.”
Mawar tak mengira kalau pembicaraan bersama Arjun akan semulus aliran sungai. Mereka tak berhenti bicara barang sedetik sampai-sampai mencari minuman lagi untuk menghilangkan dahaga di tenggorokan yang cepat mengering.
Si adik tingkat yang menyebalkan itu rupanya cukup menyenangkan. Dia selalu berhasil membuatnya tertawa—hal yang baginya sulit dilakukan.
Kebersamaan di Tunjungan membawa mereka ke perjalanan lainnya. Terkadang Arjun menemani Mawar menuntaskan revisi skripsinya di perpustakaan kampus. Jika bosan, mereka akan pindah ke perpustakaan lainnya seperti perpustakaan taman ekspresi dan perpustakaan umum Surabaya.
Saat hanya memiliki kelas pagi dan revisi terbaru Mawar sudah dikirim ke Bu Endang, Arjun selalu menggunakan kesempatan itu untuk mengajak Mawar jalan-jalan mengelilingi Surabaya. Biar lebih akrab sama kota ini, Kak. Seperti itulah alasan Arjun saat merayu Mawar agar mau menemaninya.
“Kenapa nggak sama temen kamu aja sih?”
Mawar pernah bertanya saat mereka sedang melihat gradasi warna langit senja di Taman Grand Harvest.
“Pada sibuk semua, Kak.”
“Emangnya kamu nggak sibuk? Semester lima perasaan sibuk banget. Belum lagi banyak PKL.”
“Enggak sih, Kak. Masih bisa diatur lah sibuknya.”
Jadwal di semester lima memang lebih padat daripada semester-semester sebelumnya. Ia pun harus mulai serius memikirkan objek penelitian yang digunakan sebagai tugas akhir karena semester depan sudah harus mengumpulkan proposal skripsi. Akan tetapi, ia juga ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Mawar. Ia tak masalah merelakan jam tidurnya untuk mengerjakan tugas setelah ia pulang dari agenda jalan-jalan.
Mampu membuat Mawar tertawa sudah seperti penghargaan sendiri baginya. Di setiap perjalanan mereka, Arjun sudah menyiapkan daftar topik pembicaraan. Biasanya, Mawar akan semangat menanggapi, lalu tergelak dengan kisah konyolnya. Namun, hari ini ada yang berbeda dengan Mawar. Dia lebih banyak diam dan termenung menatap hilir mudik kapal di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya North Quay memang jadi tempat nongkrong yang syahdu karena bisa melihat matahari yang tenggelam dalam buaian lautan. Arjun sudah membayangkan air muka Mawar yang dipenuhi senyuman saat membawanya ke tempat ini, tetapi yang didapati justru berbeda.
Mawar memang tersenyum sesekali saat Arjun melempar canda, tapi lebih banyak ia akan diam dan termenung menatap ombak-ombak kecil air laut.
“Kamu sakit, Kak?” tanya Arjun pada akhirnya.
Ia takut membawa Mawar ke area pelabuhan ini dengan keadaan yang tak tepat. Sepoian angin yang lebih kencang tentu akan membuat tubuhnya makin tumbang jika Mawar memang sakit.
“Enggak kok. Cuma … lagi banyak pikiran,” balas Mawar setelah meneguk air mineral.
“Aku boleh tahu apa yang lagi kamu pikirin?” Arjun menyahut dengan hati-hati.
Mawar mengambil napas dalam-dalam. “Bu Endang belum ngasih acc buat daftar sidang. Selalu ada yang harus direvisi. Aku jadi nggak yakin bakal ikut wisuda akhir tahun ini.”
Membayangkan dirinya mengenakan toga selalu membuat Mawar bahagia. Beberapa minggu terakhir, ia bahkan merasa dunia sudah lebih baik kepadanya saat Bu Endang lebih mudah ditemui sehingga progres perkembangan skripsinya cepat. Arjun juga selalu mengajaknya jalan-jalan sampai ia lupa dengan segala jenuh dan stres yang membebani kepala.
Semuanya berjalan lancar dan menyenangkan. Membuat harapannya makin melambung tinggi. Ia akan wisuda bulan Desember, lalu akhirnya bisa membawa pulang ijazah yang selama ini diremehkan ibunya. Ia juga akan menenteng ijazah itu ke perusahaan-perusahaan dengan percaya diri tanpa perlu dipandang sebelah mata lagi.
Mawar sudah sangat optimis hingga lupa bahwa sebuah pengharapan yang tinggi bisa membuatmu terperosok ke jurang terdalam jika tak jadi nyata. Dan itulah yang terjadi padanya kali ini. Harapan yang semula menghidupkannya, berubah jadi senjata yang bisa membunuhnya kapan saja.
“Pendaftaran sidang akan tutup dua hari lagi, tapi Bu Endang masih membaca hasil revisi. Aku kayaknya bakal gagal wisuda lagi deh.” Mawar mengatakannya dengan seulas senyum, tapi matanya sudah beriak seperti lautan di depannya.
“Kak ….”
“Aku udah usaha mati-matian buat ngejar teman-teman yang udah hampir di garis finish, tapi pada akhirnya gagal lagi.”
“Enggak, Kak. Kamu nggak gagal. Setiap orang memiliki jalan yang berbeda-beda.”
“Terus kenapa jalanku nggak pernah mulus? Kenapa jalannya harus begini?”
Tangis Mawar akhirnya pecah. Di lantai dua di terminal Gapura Surya Nusantara, bersama hilir mudik kapal dan sahut-menyahut orang-orang yang duduk di sekitar, air matanya tak bisa ditahan lagi. Seluruh harapan yang coba dipertahankan pada akhirnya turut tenggelam bersama matahari yang kini hilang di ujung lautan.
Arjun memilih menjahit bibirnya rapat-rapat karena takut kembali salah bicara. Ia sadar saat seseorang berada di kondisi paling bawah tak bisa ditenangkan hanya dengan sekadar berkata-kata. Jadi, ia tetap diam dan duduk di sebelahnya dengan tangan yang menepuk-nepuk punggung bergetar Mawar. Seolah memberi tanda bahwa Mawar tak sendiri, ada dirinya yang setia di sampingnya.
“Banyak orang di angkatanku sudah sukses. Mereka sudah punya pekerjaan tetap, beberapa bahkan sudah lulus dari studi magister. Ada juga yang lanjut program doktoral. Ada yang jadi dosen. Sedangkan aku—aku bahkan masih ngurusin skripsi yang terus direvisi.”
Untuk kali pertama, Mawar meluapkan segala resah yang tersimpan di benaknya. Tangisannya yang melolong sama seperti anak TK yang baru kehilangan permennya. Dadanya naik turun dengan napas yang tersengal karena derasnya air mata.
Ia tak peduli lagi dengan tatapan orang lain. Pun masa bodoh jika Arjun akan menganggapkan sebagai orang dewasa yang cengeng dan aneh.
“Kak—” Tenggorokan Arjun ikut tercekat. Rasa sesak turut memenuhi dirinya karena tangisan Mawar yang tak kunjung berhenti. “Kak, jangan pernah berpikir kamu gagal. Buktinya kamu masih usaha, masih bertahan, masih mau capek-capek ngerjain revisi. Kamu nggak berhenti, artinya kamu nggak gagal, Kak.”
Arjun mencoba meraih tangan Mawar, menggenggamnya dengan erat. Mawar menoleh ke arahnya dengan air mata yang berlinang di pipi.
“Yang paling penting, kamu tetap berjalan, Kak. Tetap jadi diri sendiri yang pantang menyerah. Walau dunia ini seolah menuntut untuk buru-buru, kamu boleh berjalan pelan. Walau kamu merasa tertinggal, bukan berarti kamu gagal, Kak. Kamu nggak gagal.”
Mawar lebih banyak mendengar petuah tentang kesabaran daripada mengalirkan kekuatan. Ia selalu dituntut untuk bersabar hingga ia lelah untuk bercerita. Oleh karena itu, saat ia kelepasan mengeluarkan lukanya, ia sudah menyiapkan diri untuk mendengar kata ‘sabar’ lagi dari mulut Arjun. Nyatanya, apa yang dikatakan Arjun mampu membuatnya kembali bernapas.
Kamu tidak gagal.
Kamu tidak gagal.
Kalimat itu berusaha terus ia lafalkan agar terukir di benaknya yang sudah dipenuhi kegoyahan.
***