Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Pagi itu, langkah Nara terasa lebih berat dari biasanya. Ia berjalan pelan menuju kelas setelah memarkirkan motornya. Sesampainya di kelas, ternyata masih cukup sepi, hanya ada beberapa murid termasuk Ardya yang sudah datang. Ardya terlihat duduk di bangkunya dengan kepala sedikit menunduk memainkan ponselnya.

Namun, Nara tidak melihat tanda-tanda keberadaan Sheyna. Seharusnya jika Ardya sudah berangkat, maka Sheyna juga karena mereka selalu berangkat bersama.

"Dya, Sheyna nggak berangkat?" tanya Nara sambil duduk di bangkunya. 

Ardya kemudian menoleh dengan ekspresi santai, "Eh, Ra. Iya, kurang enak badan katanya," jawabnya lalu kembali menatap ponselnya, seolah sedang mencari sesuatu. Entah apa yang sedang ia cari.

Nara mengangguk kecil, tetapi sebenarnya tidak ada kelegaan sama sekali di sana. Ia kemudian teringat sesuatu dan langsung mengecek laci meja Sheyna, tetapi yang ia temukan hanya angin kosong, ia tidak menemukan apa-apa di sana. 

HP-nya nggak ada kok.

"Eh iya, lo udah tanyain ke Sheyna kenapa dia belum bales chat gue?" tanya Nara mencoba terlihat santai.

Ardya berpikir sejenak sebelum mejawab, "Oh iya, kemaren gue udah tanya. Katanya dia kehabisan kuota. Sampe sekarang belum dibales emangnya?" tanya Ardya balik yang dibalas gelengan pelan oleh Nara. "Oh gitu, padahal udah gue suruh beli semalem."

Nara kembali membuka ponselnya dengan perasaan gelisah dan berharap sudah ada balasan masuk dari Sheyna, tetapi hasilnya nihil. Rasanya ada sesuatu yang ganjil. Apa Sheyna sengaja tidak membalas pesan darinya? Apa Sheyna benar-benar melihat atau bahkan mendengar percakapannya dengan Zevan kemarin? 

"Tapi kalian nggak lagi ada masalah kan, Ra?" tanya Ardya tiba-tiba. Kali ini suaranya lebih serius, matanya menatap ke arah Nara dengan penuh kekhawatiran.

Nara menoleh lalu menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, mencoba menutupi kecemasannya. 

Ardya masih menatapnya karena merasa Nara berbohong. 

"Nggak ada kok, tenang aja," jawab Nara dengan suara tegas untuk meyakinkan Ardya.

"Yaudah, syukur deh kalo emang nggak ada," ujar Ardya akhirnya meskipun ia tidak benar-benar percaya. Ia tahu ada sesuatu di antara mereka berdua. Namun, jika Nara tidak ingin memaksa jika Nara memang tidak ingin memberi tahunya saat ini.

Gue juga berharap emang bener-bener nggak ada, Dya.

"Btw, nanti jadi mau ke bazar buku nggak, Ra?" tanya Ardya memastikan.

"Oh iya gue lupa." Nara mengambil jeda sejenak. "Gimana ya ... gue agak—"

"Kalo lo nggak bisa nggak papa, Ra. Gue juga ada urusan lain sih," potong Ardya berbohong. Ia tahu Nara mungkin sedang memiliki sesuatu yang dipikirkan saat ini. Ia tidak ingin memaksanya jika ia hanya terpaksa.

"Oh gitu. Yaudah deh, sorry juga ya, Dya," kata Nara yang sedikit merasa bersalah. Jujur saja, ia merasa tidak sedang berada di suasana hati yang bagus untuk melakukan apapun.

"It's okay, Ra."

Tak lama kemudian, seseorang memasuki kelas. Zevan. Ia berjalan menuju ke tempat duduknya. Ardya menyapanya santai, sementara Nara hanya diam saja. Ia bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah Zevan. Ia memilih untuk menyibukkan diri dengan mengeluarkan buku dan alat tulisnya dari dalam tas.

Setelah percakapan kemarin, ada perasaan aneh dalam dirinya yang tidak bisa ia kendalikan. Ia merasa ... senang? Tapi ia juga merasa marah di waktu yang bersamaan. 

Di satu sisi ia hatinya menghangat ketika mengingat perkataan Zevan kemarin yang hampir seperti sebuah confession baginya. Meskipun sangat terlambat, ada perasaan bahagia ketika mengetahui ternyata, bukan, mungkin, mungkin ... perasaannya dulu tidak bertepuk sebelah tangan. 

Namun, di sisi lain, ia juga merasa marah dan benci, bukan kepada Zevan ataupun Sheyna, melainkan kepada dirinya sendiri. Padahal, ia tahu betul bahwa Sheyna juga memiliki perasaan untuk Zevan. Ia tahu perasaan Sheyna, tetapi Sheyna tidak tahu perasaannya. Hal itu membuat Nara merasa seperti seorang penghianat meskipun ia tidak pernah bermaksud demikian.

Di tengah-tengah pikirannya yang berkecamuk, Pak Dipo memasuki ruang kelas. Pelajaran pun dimulai, tetapi pikiran Nara tidak bisa fokus. Ia hanya menatap papan tulis, membiarkan suara Pak Dipo masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga lainnya. Waktu berlalu tanpa terasa hingga akhirnya bel tanda istirahat berbunyi.

Nara segera bangkit dari kursinya dan melangkah keluar kelas. Ia butuh udara segar dan waktu sejenak untuk menenangkan pikirannya yang terus berkecamuk. Dan hal itu tidak akan bisa ia dapatkan jika terus berada di dekat Zevan. Ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan karena tidak ada tempat lain yang bisa ia tuju.

Namun, sebelum sampai ke tujuannya, suara seseorang menghentikan langkahnya, "Ra," panggil seseorang yang sangat ia kenali suara siapa itu. Ia berhenti, tetapi tidak berbalik badan karena ia sudah tahu kalau itu adalah Zevan.

"Gue rasa kita perlu bicara lagi, Ra," ujar Zevan.

Nara menggeleng masih tanpa menoleh. "Nggak ada yang perlu dibicarain lagi," kata Nara lalu melanjutkan langkahnya dengan cepat, meninggalkan Zevan yang tidak sempat berkata apa-apa lagi.

Zevan terdiam di tempatnya. Ia hendak memanggil Nara lagi, tetapi lidahnya kelu. Suara yang tadi sudah sampai di ujung tenggorokan, kembali tertelan oleh keraguan. Nara tak menoleh. Ia melangkah cepat menjauh, seolah ingin memastikan tidak ada lagi celah bagi Zevan untuk menyusul atau berkata apa-apa..

Ada sesuatu yang mengendap di dada Zevan. Rasanya ... seperti ditinggalkan di tengah hujan tanpa sempat berteduh. Ia menunduk, menatap sepatu yang tak bergerak dari tadi, seolah tanah pun ikut menahannya. Ia tak menyangka, jawaban singkat Nara bisa terasa sesakit ini. 

Zevan akhirnya berjalan dua langkah mundur lalu berbalik dan memilih kembali ke kelas. Sesaat setelah ia duduk di kursinya, Ardya datang menghampirinya. Ia menggeser sedikit kursi di samping Zevan agar lebih dekat lalu duduk di atasnya. Zevan menoleh dengan tatapan sedikit penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Ardya.

"Lo sama Nara kenapa sih?" tanya Ardya dengan suara pelan.

Mendengar itu Zevan menghela napas lalu mengalihkan pandangannya dari Ardya. 

"Nggak ada apa-apa," jawab Zevan singkat. Sekarang ia memainkan pulpen di tangannya.

Ardya mengernyitkan alisnya merasa tidak puas dengan jawaban Zevan. "Tapi lo tahu nggak, daritadi kalian kelihatan kayak canggung banget," ujarnya.

"Biasa aja," jawab Zevan lebih singkat lagi.

"Ya elahh, lo ngomong irit amat sih. Kayak harus bayar aja," cibir Ardya karena merasa kesal dengan jawaban Zevan yang terlampau singkat.

Zevan hanya diam saja, sementara Ardya mengusap tengkuknya pelan. Ia ingin menanyakan sesuatu, tetapi ia masih ragu untuk menanyakannya kepada Zevan.

"Hmm, sebenernya gue pengen tanya sesuatu sih sama lo," kata Ardya akhirnya.

Zevan lagi-lagi tetap diam.

"Nggak tahu ya. Ini cuma feeling gue apa gimana, tapi sejak pulang sekolah kemaren, gue rasa Sheyna marah sama Nara."

Zevan mengerutkan dahinya. Lalu mengingat-ingat apa yang terjadi antara Nara dan Sheyna kemarin. Seingatnya, Sheyna pulang terlebih dahulu bersama Ardya, sedangkan orang terakhir yang bersama Nara adalah dirinya. 

"Marah? Emang pas pulang sekolah kenapa mereka? Bukannya kalian balik duluan?" tanya Zevan.

"Makanya itu! Eh, tapi pas masih di parkiran dia balik ke kelas lagi. Katanya sih HP-nya ketinggalan." 

Mendengar itu, Zevan tertegun sejenak, memikirkan hal yang sama persis dengan Nara.

"Satu lagi," celetuk Ardya yang membuat Zevan menatap ke arahnya, "Lo sama Nara nyembunyiin sesuatu ya?" tanya Ardya. 

Zevan tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke pulpen yang masih ia mainkan di tangannya.

"Lo ... suka sama dia?" lanjutnya.

Zevan tidak terkejut ketika Ardya bertanya dengan sedemikian gamblangnya. Jika memang Ardya tahu, maka ia tidak masalah sama sekali. Ia juga tidak berencana untuk menyembunyikan perasaanya.

Masih tak memberikan jawaban, Zevan menatap ke depan bersamaan dengan Nara yang kembali. Ia menatap gadis itu dalam-dalam. Berbeda dengan gadis itu yang tak sedetik pun melihat ke arahnya.

"Ternyata bener," ujar Ardya mantap sambil berdiri dan kembali ke tempatnya.

Zevan menatap punggung Nara sejenak lalu kembali menundukkan kepalanya. Sepertinya ia tahu akar permasalahan kali ini. ia mulai memahami semuanya. Nara tidak mau, tidak, Nara tidak bisa, mengakui perasaannya bukan karena ia tidak memiliki perasaan yang sama, tapi karena ia tidak ingin menyakiti Sheyna. Bukan bermaksud untuk sombong, tetapi Zevan cukup peka untuk tahu bahwa Sheyna menyukainya. 

Seketika, ada perasaan marah dalam dirinya. Bukan kepada Nara ataupun Sheyna, melainkan ia marah pada keadaan yang membuat seseorang harus menekan perasaannya sendiri. Terlebih, yang mengalaminya adalah Nara. Dan itu menyakitinya lebih dari yang ia kira.

Namun, di sisi lain, pikirannya juga mengatakan bahwa semua ini konyol. Maksudnya ... sejak kapan perasaan orang lain menjadi lebih penting daripada perasaan kita sendiri? Sejak kapan kebahagiaan orang lain menjadi penghalang kebahagiaan kita sendiri? 

Apa dia terlalu egois jika berpikir demikian? Atau Nara yang terlalu naif karena tidak bisa memilah mana yang seharusnya ia dahulukan?

Zevan mengacak rambutnya kasar memikirkan semua itu. Ia benar-benar membenci situasi ini. Segalanya terasa rumit dan melelahkan, seakan-akan apa pun yang ia lakukan, selalu membuatnya semakin jauh dari Nara. Ia hanya ingin jujur pada perasaannya, tapi mengapa harus ada banyak pertimbangan yang memaksa mereka untuk menahan diri?

Ia mendengus pelan, menatap langit yang mendung, sama seperti pikirannya yang kelabu. Jika bisa, ia ingin memutar waktu, kembali ke saat semuanya belum seberjarak ini—saat tatapan Nara masih hangat dan diamnya tak membunuh harapan. Tapi sekarang, bahkan diam gadis itu terasa seperti tamparan yang menyuruhnya mundur. Dan itu menyakitkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Seharusnya Aku Yang Menyerah
116      99     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Monday vs Sunday
112      97     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2343      1080     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
RUANGKASA
42      38     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
The First 6, 810 Day
598      431     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Bunga Hortensia
1612      70     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Darah Dibalas Dara
619      351     0     
Romance
Kematian Bapak yang disebabkan permainan Adu Doro membuat Dara hidup dengan dihantui trauma masa lalu. Dara yang dahulu dikenal sebagai pribadi periang yang bercita-cita menjadi dokter hewan telah merelakan mimpinya terbang jauh layaknya merpati. Kini Dara hanya ingin hidup damai tanpa ada merpati dan kebahagiaan yang tiada arti. Namun tiba-tiba Zaki datang memberikan kebahagiaan yang tidak pe...
Simfoni Rindu Zindy
689      517     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...