Keesokan harinya, sebelum jam pelajaran berakhir, tiba-tiba seorang guru datang ke kelas dan memanggil Ardya serta Sheyna keluar. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sedang terjadi, tetapi raut wajah mereka berubah panik setelah berbicara dengan guru tersebut. Ardya buru-buru merogoh ponsel di sakunya dan mulai menelepon seseorang, sementara Sheyna masih berbicara serius dengan guru itu.
Sesaat kemudian, mereka kembali ke kelas hanya untuk mengambil tas mereka. Tanpa sepatah kata, mereka pergi begitu saja, bahkan tidak memberi kesempatan bagi Nara untuk bertanya.
Guru yang tadi memanggil mereka pun masuk ke dalam kelas dan berbicara dengan guru yang sedang mengajar. Nara tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang mulai menjalari dirinya. Dengan cepat, ia mengetik pesan untuk Sheyna.
Sheynaa
Naaa, kenapa??
03.45 p.m.
Send.
Tak lama kemudian, bel pulang berbunyi. Murid-murid langsung berhamburan keluar, meninggalkan kelas yang kemudian mendadak lengang. Nara masih duduk di tempatnya, menunggu jawaban dari Sheyna yang tak kunjung datang.
Saat ia akhirnya berdiri dan hendak melangkah keluar, tiba-tiba seseorang menahan pergelangan tangannya. Nara terkejut. Ia sontak berbalik, matanya membesar saat melihat siapa yang berdiri di depannya.
Zevan.
Waktu seakan berhenti. Nara bahkan bisa merasakan bagaimana detak jantungnya menggila dalam dadanya.
"Gue mau bicara," kata Zevan dengan nada datar tetapi menusuk.
Nara kemudian melepaskan tangannya dari tangan Zevan setelah tersadar. Ia mundur beberapa langkah. Masih menatap Zevan.
"Kena–"
"Kenapa lo berubah?" potong Zevan sebelum Nara sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Be-berubah gimana?" tanya Nara berpura-pura tidak mengerti dengan pertanyaan Zevan. Padahal ... sebenarnya ia tahu betul maksud Zevan.
"Lo yang lebih tahu, Ra. Apa gue ada buat salah sama lo?" ujar Zevan sambil menatap Nara dengan raut wajah tak mengerti.
"Nggak ada–"
"Emang nggak ada. Dan nggak peduli seberapa keras coba gue inget, gue tetep nggak tahu jawabannya. Dan jelas satu-satunya yang tahu jawabannya itu lo," potong Zevan lagi.
Nara terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Ia ingin menjelaskan, tapi kalimat yang tersusun di pikirannya terasa begitu salah untuk diucapkan.
"Gue yakin lo tahu gimana perasaan gue saat itu. Karena gue pun ngerasa tahu gimana perasaan lo saat itu. Apa ternyata semua itu salah, Ra? Apa ternyata itu cuma karangan gue sendiri aja?"
Dada Nara sesak. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa perasaannya yang mengatakan bahwa Zevan juga menyukainya hanyalah sebuah angan-angan yang tak pernah nyata, tetapi jika Zevan berkata begitu, apakah itu berarti ... perasaan mereka dulu saling bersambut?
Namun, sosok Sheyna tiba-tiba terlintas di pikirannya. Perasaan senang itu tiba-tiba lenyap dan digantikan dengan perasaan gelisah. Bagaimana dengan Sheyna nanti? Kenapa harus Sheyna? Sahabat satu-satunya yang ia miliki?
"G-gue nggak ngerti," kata Nara pada akhirnya. Saat ini ia tidak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri. Semuanya terlalu tiba-tiba dan terjadi di waktu yang tidak tepat.
"Ra–"
"Gue harus pulang, Van," potongnya cepat sebelum Zevan bisa berkata lebih jauh. Ia berbalik dan melangkah pergi, membiarkan air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh. Ia mengusapnya cepat sebelum Zevan sempat melihatnya.
Zevan terdiam di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah kepergian Nara. Tangannya mengepal. Ia tidak mendapat jawaban yang ia inginkan. Justru, ia merasa semakin jauh dari jawaban itu.
πππ
Di perjalanan pulang, Nara terus teringat akan perkataan Zevan. Ia masih mencoba mencerna apa maksudnya yang sebenarnya. Rasanya ia terlalu percaya diri jika langsung menyimpulkan bahwa yang Zevan maksud adalah bahwa dulu ia juga menyukainya.
Ditambah lagi, dulu Zevan berpacaran dengan Melva dan ia sendiri tidak tahu bagaimana hubungan mereka sekarang. Bisa saja mereka masih berpacaran sampai sekarang. Namun, jika mereka masih berpacaran, kenapa Zevan mengatakan hal yang bisa membuat Nara salah paham tadi? Apa mereka sudah putus? Benarkah demikian?
Di sisi lain, ada Sheyna sahabat satu-satunya yang juga secara terang-terangan memiliki perasaan kepada Zevan. Nara benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Ia benar-benar bingung.
Sesampainya di rumah, ia merebahkan dirinya di kasur. Lagi-lagi ... ia menatap langit-langit kamarnya dengan pikirannya yang mengembara kemana-mana.
Nara teringat Sheyna dan Ardya yang terburu-buru pergi saat jam pelajaran terakhir tadi. Ia lantas meraih ponselnya. Masih belum ada balasan dari Sheyna. Ia akhirnya menelpon Ardya.
Setelah beberapa saat Ardya menjawab teleponnya.
"Halo, Dya," kata Nara segera setelah Ardya mengangkat telepon.
"Iya, Ra?" sahut Ardya di seberang.
"Kalian tadi kenapa? Kok buru-buru gitu? Ada apa?"
"Oh iya. Sorry, Ra. Tadi bokap sama nyokap katanya kecelakaan, jadi kita buru-buru ke rumah sakit."
Mendengar itu, Nara membulatkan matanya, "Astaghfirullah. Terus gimana keadaan mereka?"
"Alhamdulillah ternyata nggak parah, Ra. Cuma luka-luka kecil aja."
Nara bernapas lega, "Oh gitu... syukur deh. Boleh dijenguk nggak, Dya?"
"Kayaknya nggak usah dulu deh, Ra. Ini kelihatannya sih nggak ada yang serius. Cuma kita minta rawat inap dulu buat rontgen, siapa tahu ada cedera dalem."
"Gitu ya? Yaudah deh ... Btw hpnya Sheyna mati kah? Soalnya gue chat nggak bales."
"Loh tadi dia balik lagi ke kelas katanya buat ambil hp. Pas balik nggak ngomong apa-apa sih. Gue kira udah. Tadi nggak ketemu lo dulu emang?"
Nara tersentak. "Hah? Enggak kok." Pikiran kemudian melayang ke percakapannya dengan Zevan tadi. Apa mungkin Sheyna melihat dan mendengar percakapannya dengan Zevan?
"Hmm yaudah nanti gue tanyain. Udah dulu, Ra."
"O-oke deh. Semoga orang tua lo cepet sembuh ya."
"Thanks, Ra. Gue tutup ya."
Setelah menutup telepon, Nara merasa gelisah. Sepertinya Sheyna melihatnya dengan Zevan tadi. Jika tidak, kenapa Sheyna tidak datang mengambil ponselnya? Bagaimana jika Sheyna salah paham? Bagaimana jika Sheyna marah?
Pikiran-pikiran buruk terus berkecamuk di otak Nara. Malam itu, ia pasti akan tidur larut lagi. Kenapa semuanya menjadi terlalu rumit seperti ini? Rasanya ia ingin lenyap ditelan bumi saja. Namun, ia tahu hal itu tidak akan pernah terjadi.
πππ
Di tempat lain, Zevan menatap layar ponselnya dengan ekspresi tak terbaca. Di sana, tampak profil WhatsApp seseorang—tanpa foto, tanpa status, hanya ada nama "Nara" yang terpampang begitu saja. Sudah sejak tadi ia membuka dan menutup aplikasi itu, jemarinya melayang ragu di atas layar. Ia ingin menghubungi Nara. Ingin mengirimkan satu pesan saja. Tapi apa? Apa yang harus ia katakan?
Seharusnya, tadi Zevan tidak bertindak gegabah. Seharusnya, ia tidak menanyakan hal itu begitu saja. Tapi apa boleh buat? Semuanya seperti sudah ada di ujung lidah, menuntut untuk dikeluarkan. Perasaan yang selama ini ia pendam tiba-tiba saja mendesaknya untuk mencari jawaban.
Zevan menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya. Ia menutup mata sesaat, tapi justru yang muncul di benaknya adalah sorot mata Nara tadi. Ia sangat yakin untuk sepersekian detik ia melihat sorot mata senang di sana. Tapi kenapa? Kenapa dia selalu mengelak?
Sial.
Dengan kesal, ia mengacak rambutnya, lalu melempar ponselnya ke tempat tidur. Setelahnya, ia ikut menjatuhkan diri ke kasur, membenamkan wajahnya ke bantal.
Namun, pikiran Zevan tetap berputar. Ia mencoba mengingat lagi, mencari-cari momen ketika semuanya mulai berubah.
Dulu, mereka cukup dekat untuk ukuran cewek dan cowok yang baru mengenal. Namun, ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang hanya dirasakan mereka berdua. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar diucapkan, tapi cukup terasa untuk membuat mereka yakin.
Zevan masih ingat bagaimana dulu Nara sangat galak kepadanya saat awal-awal mereka satu kelas. Bagaimana mereka sering bertengkar hanya karena hal kecil. Bagaimana mereka saling beradu tatapan di kelas seperti ada tantangan terselubung siapa yang akan bertahan lebih lama. Bahkan, ia sering mendapati Nara sedang melihat ke arahnya diam-diam. Saat ia memergokinya, gadis itu akan buru-buru mengalihkan pandangannya, pura-pura sibuk dengan buku atau hal lain.
Entah mengapa, hal itu membuatnya ... senang.
Lalu ada hari-hari ketika mereka berbicara sedikit lebih banyak. Percakapan singkat di sela-sela jam istirahat soal materi yang sulit ia pahami atau soal PR sekolah yang belum ia kerjakan. Hal-hal kecil yang saat itu terasa biasa, tapi sekarang justru menyisakan rasa kehilangan dan mungkin ... kerinduan?
Sampai kemudian semuanya berubah. Tiba-tiba saja, Nara mulai menjaga jarak. Seperti seseorang yang mencoba menghindar dan menjauhinya. Mengurangi obrolan dan tidak pernah ia dapati lagi ketika Nara diam-diam memandangnya.
Dan jujur, hal itu mengganggu Zevan lebih dari yang bisa ia akui. Ia berusaha mencari tahu. Berusaha mengingat, apakah ia pernah melakukan sesuatu yang membuat Nara marah atau kecewa, tapi tidak ada. Tidak ada satu pun yang bisa ia pikirkan.
Sampai akhirnya, Melva datang. Saat itu, Melva mendekatinya dengan terang-terangan. Dia cantik, percaya diri, dan tahu persis apa yang ia inginkan—saat itu. Zevan yang awalnya tidak terlalu memikirkan hubungan asmara, pada akhirnya menerima Melva sebagai pacarnya. Lagipula, kenapa tidak? Toh, saat itu Nara sudah tidak ada dalam lingkarannya lagi.
Tapi sekarang, melihat sosok nyata Nara lagi, mendengar suaranya lagi, menatap matanya yang masih seperti menghindarinya itu, semuanya terasa kembali. Semua tanya yang dulu ia pendam, semua penasaran yang dulu ia biarkan begitu saja, kini mendesaknya kembali.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuat Nara berubah? Apa semua yang ia rasakan dulu memang hanya pikirannya saja?
Zevan mengepalkan tangannya, menahan kekesalan yang tidak jelas arahnya. Ia ingin jawaban. Ingin kejelasan. Tapi melihat bagaimana Nara bereaksi tadi, sepertinya jawaban itu tidak akan mudah ia dapatkan.
Ia membalikkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar. Mengenang kembali momen-momen sederhana yang menjadi kenangan tak tergantikan.
Besok. Besok, ia harus bicara lagi dengan Nara. Ia harus tahu.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past