Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Hari ini, Nara memutuskan untuk menemui Sheyna di rumahnya. Kebetulan juga ibunya menyuruhnya untuk membeli beberapa keperluan dapur, jadi sekalian saja ia mampir ke rumah Sheyna. Jujur saja, ia tidak bisa lagi menahan kegelisahan yang sejak kemarin menghantuinya seperti kabut pekat yang terus menyelimuti pikirannya. 

Hari Sabtu kemarin, seharian ia menunggu balasan dari Sheyna, tetapi nihil. Berarti hari ini, terhitung sudah dua hari tak ada kabar dari sahabatnya itu, dan setiap menit yang berlalu tanpa notifikasi dari Sheyna hanya membuatnya semakin diliputi kecemasan.

Bagaimana tidak? Tak ada satu pesan pun, tak ada balasan, bahkan centang dua pun tidak. Nara sudah mencoba berpikir positif—mungkin Sheyna sedang sibuk, mungkin memang kuotanya habis seperti alasan klise yang sering ia dengar dari teman-temannya yang lain. Tapi ... kali ini rasanya berbeda. Sheyna bukan tipe orang yang membiarkan orang lain menunggu tanpa kejelasan. Ada yang ganjil.

Atau ... mungkinkah Sheyna memang sengaja menghindarinya? Mungkinkah Sheyna ... mendengar percakapannya dengan Zevan? Dan jika iya, sejauh mana ia mendengar apa yang ia bicarakan dengan Zevan? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti bisikan kecil yang berulang-ulang berputar di kepalanya.

Setelah mandi dan berganti baju, Nara sedikit mengaplikasikan bedak juga lipbalm supaya tidak terlalu pucat. Ia kemudian mengambil sweater kesayangannya yang tergantung dan keluar kamar. 

Setelah mendapatkan daftar belanjaan dan uang, tentunya, Nara segera berpamitan pergi kepada ibunya. Dengan langkah mantap, tetapi dengan hati yang masih sedikit ragu, ia mendorong motornya keluar dari rumah. 

Jalanan pagi itu cukup ramai. Apalagi arah rumah Sheyna searah dengan alun-alun kota yang biasanya di hari Minggu seperti saat ini, dipenuhi keluarga kecil dan pasangan muda yang menikmati akhir pekan dengan bahagia.

Namun, tidak seperti mereka, Nara melaju dengan perasaan yang berat, dadanya terasa sesak oleh dugaan-dugaan yang tak ia pahami sepenuhnya. Sepanjang perjalanan, ia sibuk berpikir bagaimana caranya menanyakan apa yang mengganjal di hatinya kepada Sheyna. 

Begitu sampai di depan rumah Sheyna, ia mematikan mesin motornya perlahan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu tak karuan. Ia tidak memberi tahu Sheyna ataupun Ardya bahwa ia akan datang. Bukan karena ingin memberi kejutan, melainkan karena ia takut ... takut kalau mereka malah memintanya untuk tidak datang. Itu akan semakin memperjelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya.

Nara berdiri di depan pintu, mengetuk pelan sambil mengucap salam. "Assalamualaikum."

Tak ada jawaban.

Ia menunggu beberapa detik, mencoba membaca suasana rumah yang tampak sepi. Lalu ia mengulang lagi salamnya, kali ini sedikit lebih keras.

Langkah kaki terdengar mendekat bersamaan dengan suara seseorang menjawab salam dari dalam rumah. Degup jantung Nara kian cepat. Tak lama kemudian, bunyi kenop pintu diputar, dan pintu terbuka perlahan. 

Sheyna berdiri di ambang, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, rambutnya dikuncir seadanya. Wajahnya sedikit pucat. 

Nara menatap Sheyna, mencari-cari sesuatu di matanya, dan mencoba menemukan petunjuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ia pikirkan.

"Eh, Ra?" sapa Sheyna dengan nada terkejut. Suaranya ragu, seperti belum yakin pada keberadaan Nara yang ada di depannya.

"Na," balas Nara, suaranya canggung. Ia mencoba tersenyum, tetapi senyuman itu terasa kaku, dipaksakan.

Sheyna menghela napas pelan lalu menarik kedua sudut bibirnya sebelum melangkah ke samping, mempersilakan Nara duduk di kursi teras. "Duduk dulu, Ra."

Tanpa banyak bicara, Nara duduk. Matanya tak lepas dari wajah sahabatnya itu. Suasana di antara mereka terasa canggung. Bukan keheningan yang nyaman seperti biasanya, melainkan keheningan yang membuat udara terasa berat.

"Kenapa, Ra? Kok nggak ngabarin kalo mau ke sini?" tanya Sheyna, berusaha terdengar santai, tapi Nara bisa mendengar sedikit nada gugup dalam suaranya.

Nara menggigit bibir bawahnya. "E-iya nih, katanya lo sakit? Gimana sekarang, udah mendingan?"

"Udah," jawab Sheyna, mengangguk kecil. "Cuma masih pusing dikit sih."

"Hmm ... gitu." Nara menunduk sebentar, memainkan jari-jarinya. Ia menarik napas dalam, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Na ... lo ... marah ya sama gue?" Entah kenapa hanya pertanyaan itu yang berhasil lolos dari mulutnya. Ia tidak berani membahas Zevan sama sekali.

Sheyna mengerutkan kening. "Hah? Marah? Marah kenapa?"

"Lo nggak bales chat gue dari kemarin lusa."

Sheyna tampak berpikir sejenak. Lalu, seolah baru menyadari sesuatu, ia menepuk dahinya. "Astagaa, gue lupa, Ra! Beneran deh." Ia terdengar menyesal. "Kemarin tuh kuota gue abis, terus karena masih pusing, gue nggak pegang HP sama sekali. Baru tadi banget gue ngecas HP."

Nara terdiam. Sesungguhnya, jawaban itu terdengar ... tidak masuk akal. Ia ingin percaya, sungguh, tapi ada suara kecil dalam hatinya yang berkata-itu bukan alasan yang sebenarnya.

"Beneran?" Nara bertanya lagi, pelan, tapi penuh harap.

"Iya, Nara ..." jawab Sheyna, kini menatapnya dengan ekspresi bersalah. "Ya ampun, maaf banget, gue beneran nggak sengaja nggak ngabarin lo."

Wajah Sheyna tampak lelah, tapi bukan lelah karena sakit fisik. Ada sesuatu yang lain di sana. Matanya menyiratkan banyak hal yang tidak diucapkan. Dan itu membuat Nara semakin yakin—Sheyna menyembunyikan sesuatu.

"Serius, Na, gue nggak maksud nggak bales chat lo. Gue beneran nggak pegang HP sama sekali. Lo tau sendiri kan, kalau lagi sakit gini, gue males banget buka HP," tambah Sheyna, mencoba meyakinkan.

Nara hanya mengangguk pelan. Ia ingin berkata, "Gue tahu lo bohong," tapi lidahnya terasa kelu. Ada rasa takut-takut kalau dugaan itu benar, dan hubungan mereka tak akan pernah sama lagi.

"Terus, lo kenapa sampe bela-belain dateng?" tanya Sheyna kemudian, mencoba mencairkan suasana.

Nara mengangkat bahu, tersenyum kecil. "Karena gue khawatir. Lo kayak ngilang gitu aja. Kan nggak biasanya lo kayak gitu."

Sheyna tertawa ringan—walau jelas terlihat sedikit dipaksakan. "Ih, lebay banget sih. Gue cuma sakit doang."

"Beneran?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, seperti desakan dari dalam hatinya yang tak lagi bisa dibendung. Sheyna tampak sedikit terkejut, tapi cepat-cepat menyembunyikannya.

"Iya, Ra. Gue nggak kenapa-kenapa, ihh. Btw lo mau minum apa? Tapi cuma ada teh sih, teh aja ya," ujarnya sambil berdiri.

"Ehh, nggak usah, Na." Nara bangkit berdiri. "Gue langsung balik aja. Mau belanja titipan ibu soalnya. Ditungguin nih."

Sebenarnya itu bukan alasan utama. Ia hanya ingin cepat-cepat pergi dari situ. Suasana ini membuatnya tidak nyaman. Ia benci rasanya berada dalam situasi yang canggung dan dipenuhi pertanyaan yang tidak berani ia utarakan.

"Lohh, kok gitu. Jauh-jauh masa nggak minum dulu, Ra," kata Sheyna dengan nada kecewa yang terdengar tulus ... atau setidaknya, berusaha untuk terdengar tulus.

"Iya, nih." Nara mulai melangkah ke motornya. "Yaudah gue pulang dulu ya, Na. Cepet sembuh."

"Makasih, Ra. Ya ampun, sekali lagi maaf ya, lo jadi repot-repot kesini deh."

"Nggak masalah." Nara mengenakan helmnya, kemudian naik ke motor. "Gue balik ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Ra," jawab Sheyna sambil melambaikan tangan pelan.

Setelah Nara pergi, senyuman di wajah Sheyna perlahan memudar. Ia masih berdiri di ambang pintu, memandangi jalanan yang kini kosong. Matanya sayu, dan tubuhnya terasa lemas.

Dengan langkah pelan, ia kembali masuk ke rumah, menutup pintu perlahan. Namun, Sheyna masih berdiri di balik pintu yang baru saja ia tutup. Tangannya menggenggam erat ponsel yang daritadi ada di sakunya. 

"Sebenernya kalian punya hubungan apa sih?" gumamnya Sheyna sangat pelan.

"Udah pulang?" tanya Ardya yang baru muncul dari dalam.

"Udah."

Mendengarnya, Ardya menghela napas pelan lalu perlahan mendekat, "Kenapa nggak cerita aja sih? Kasihan tau, nanti dia kepikiran."

Sepulang sekolah kemarin, Ardya mendesak Sheyna untuk menceritakan yang sebenarnya. Dan benar saja, Sheyna mendengar percakapan Zevan dan Nara kemarin. Namun, ia tidak berani memberitahu Sheyna bahwa ... Zevan memenag menyukai Nara. Menurutnya, itu sudah bukan ranahnya lagi.

"Gue belum siap untuk tahu soal mereka, Dya. Gue takut kalo ternyata Nara bohongin gue."

"Lebih baik lo tanya langsung aja hubungan mereka gimana. Kalo ternyata apa yang lo takutin itu bener, Nara pasti punya alesan buat itu, Na."

"Gue nggak bisa, Dya. Udah lah, lo nggak akan ngerti," ujar Sheyna lalu pergi meninggalkan Ardya. 

Ardya sendiri tidak bisa memaksa Sheyna lebih jauh lagi.

 

🍁🍁🍁

 

Sementara di perjalanan pulang, Nara berkendara dalam diam. Angin menerpa wajahnya, tapi tak mampu meniup pergi rasa tak nyaman yang bersarang di dadanya. Ia tahu, sesuatu sedang berubah. 

Beberapa menit kemudian, sambil sedikit melamun, tentu saja, Nara sudah sampai di supermarket yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Tempatnya tidak terlalu besar, tetapi barang yang dijual cukup lengkap.

Setelah membeli semua barang yang ada di secarik kertas titipan ibunya, Nara keluar dengan menenteng dua kantong plastik penuh. Ia kemudian mencantolkan kedua kantong plastik itu di motor.

Saat hendak menyebrang keluar dari parkiran supermarket, matanya tidak sengaja melihat Zevan di taman kecil yang ada tepat di seberang supermarket. Ia tampak sedang berbicara dengan seseorang. 

Setelah mengamati baik-baik, betapa terkejutnya Nara saat tahu siapa orang itu.

Melva?

Tidak salah lagi. Orang itu adalah Melva. Seketika hatinya mencelos. Ia merasa sesuatu yang tajam menusuk hatinya dengan cepat. 

Sedetik kemudian, Zevan tiba-tiba melihat tepat ke arahnya. Nara merasa seperti seseorang yang tertangkap basah mencuri. Sambil diliputi perasaan malu, ia segera pergi dari sana. 

Entah mengapa Nara merasa sangat malu. Tunggu. Malu? Tidak, bukan itu. Tapi ia juga tidak tahu perasaan apa itu, yang jelas ia merasa bahwa seharusnya ia tidak melihat mereka. Apalagi, Zevan juga memergokinya sedang melihat ke arahnya.

Nara memacu kendaraannya sembari menggertakkan giginya kesal. Rasanya ia ingin sekali hilang ditelan lumpur hisap. 

Aduhh kenapa Zevan pake segala lihat sih tadi? Kenapa juga gue harus lihat mereka? Astaga! 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Taruhan
51      48     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Sebab Pria Tidak Berduka
112      93     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
197      138     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Langit-Langit Patah
25      23     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Me vs Skripsi
1853      764     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
FINDING THE SUN
473      206     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
The Best Gift
39      37     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Survive in another city
127      106     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Penerang Dalam Duka
607      401     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...