Arzul Sakarama adalah anak bungsu dari keluarga besar yang hampir seluruh anggotanya menjadi Pegawai Negeri Sipil. Obsesi terhadap status PNS telah berakar kuat sejak kakek mereka—seorang guru negeri di masa lampau—berhasil mengangkat derajat keluarga dari kemiskinan. Sejak itu, menjadi pegawai negeri bukan lagi sekadar pilihan pekerjaan, tetapi simbol harga diri, keberhasilan, dan martabat keluarga. Warisan itu kini dijaga erat oleh para anak dan cucunya, termasuk dua kakak Arzul yang telah lebih dulu sukses sebagai dosen dan pegawai pajak.
Dalam lingkungan seperti itu, Arzul tumbuh dengan keyakinan bahwa satu-satunya jalan untuk dianggap berhasil adalah lulus CPNS. Ia menghabiskan tujuh tahun hidupnya untuk mengikuti seleksi demi seleksi, meski selalu berakhir dengan kegagalan. Setiap kegagalan menambah tekanan dari keluarga dan beban dari dalam dirinya sendiri. Arzul mulai kehilangan arah dan melupakan apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup—karena terlalu sibuk mengejar ekspektasi keluarga dan bayang-bayang masa lalu kakeknya.
Yang menarik, satu-satunya sosok yang tak pernah menuntut Arzul menjadi PNS justru adalah neneknya—istri sang kakek. Seorang ibu rumah tangga yang kini membuka kios kecil untuk mengisi hari tuanya, ia melihat kesuksesan bukan dari status, tapi dari ketulusan dan kebermanfaatan. Saat Arzul mulai merasa hampa dan mempertanyakan hidup yang ia kejar, sosok nenek dan percakapan-percakapan sederhana mereka menjadi lentera kecil yang membawanya pada pertanyaan yang lebih besar: untuk siapa sebenarnya hidup ini dijalani?
Di persimpangan antara tradisi keluarga dan suara hati, Arzul harus memilih: apakah terus mengejar gelar "berhasil" versi keluarganya, atau menemukan arti keberhasilan yang lebih jujur terhadap dirinya sendiri?