Ujian hari ini selesai lebih cepat dari yang ia perkirakan. Saat nama-nama peserta mulai keluar dari gedung, satu per satu dengan langkah berat dan raut wajah serupa—lelah, cemas, pura-pura tenang—Arzul Sakarama memilih tetap duduk di bangku panjang dekat pagar, menatap jalan raya di kejauhan. Tangannya masih gemetar, entah karena tegang atau karena tubuhnya tahu ini akan jadi pengulangan dari tujuh tahun terakhir.
Matahari Palu menyengat kepala dengan garang, tapi tak cukup panas untuk membakar harapan yang tinggal sisa. Di saku celana, ponselnya bergetar. Satu pesan dari ibunya:
"Sudah selesai, Zul? Bagaimana rasanya tadi? 😊"
Ia menatap layar beberapa detik, lalu menguncinya kembali. Ia belum sanggup menjawab. Rasanya seperti pertanyaan yang tak bisa ditanggapi dengan kata-kata ringan. Ia pun berdiri, melangkah keluar dari keramaian, menyusuri trotoar yang panas sambil membuka kancing atas kemejanya.
Bukannya pulang, ia justru belok ke warung kopi kecil di pojokan jalan. Tempat yang sering ia datangi setelah gagal—entah kenapa, bangku plastik dan kopi sachet selalu terasa lebih jujur dibanding meja makan rumah yang penuh basa-basi.
Ia memesan kopi hitam, lalu duduk menghadap jalan. Menyaksikan motor lalu-lalang. Menyaksikan orang-orang yang seolah tahu ke mana harus pergi. Ia iri. Bukan karena mereka tahu tujuan, tapi karena mereka tampak tidak dibebani oleh sesuatu yang terus menyeret ke belakang.
Delapan tahun. Delapan kali ujian. Delapan kali berharap. Delapan kali patah.
Ia menyesap kopi pelan. Sudah pahit, tetap pahit. Tapi pahit itu jujur.
Di dompetnya terselip secarik kertas kecil—sebuah mantra klise yang dulu ia tulis sendiri: "Orang tua sudah berjuang seumur hidup, ini giliranmu membalas dengan lulus CPNS." Ia membacanya seperti doa. Dulu, ia percaya. Sekarang... ia hanya menggenggam kertas itu sambil menatap kosong.
“Zul?” suara seorang teman memecah lamunannya.
Ia mendongak. Rendy, teman seangkatan saat kuliah, berdiri dengan map di tangan.
“Kau ikut gelombang pagi juga ya?”
Arzul mengangguk. “Kau juga?”
“Ya, tadi barusan. Berat, tapi ya semoga.”
Mereka saling tersenyum kaku. Sama-sama tahu: tak ada jawaban pasti dari "semoga." Di dunia CPNS, semoga adalah bahasa yang penuh ketidakpastian dan luka.
Setelah obrolan ringan itu, Rendy pergi. Arzul masih duduk di sana, sendirian. Ia mengambil napas panjang, menatap langit yang mulai gelap.
“Apa aku harus terus begini?” tanyanya dalam hati. Tapi seperti tujuh tahun sebelumnya, tak ada jawaban. Hanya bunyi motor yang melintas. Hanya angin yang membawa bau debu dan kelelahan.
Ketika akhirnya ia bangkit, hari sudah hampir magrib. Langkahnya pulang terasa lebih berat dari biasanya. Seperti tubuhnya tahu, ini bukan lagi soal gagal atau berhasil. Tapi soal sampai kapan ia bertahan dengan mimpi yang bukan miliknya.