Suci memasuki kantor RumahWaktu, mulai terbiasa dengan cibiran yang berdatangan kepadanya.
“Suci, kamu nggak masuk-masuk kerja, dari mana aja?” Tougo yang berpapasan dengannya mempertanyakan, sedikit khawatir.
“Ke rumah di Jakarta, ada urusan,” jawab Suci singkat.
“Oh,” Tougo paham, belum sempat ia menjawab, Suci sudah meninggalkannya ke arah ruang divisi IT.
Tougo harus terbiasa melihat Suci seperti itu—dingin, anggun, semakin menawan, tak tergapai lagi.
Anehnya, hari itu Anya penuh senyum. Ia sudah menantikan kedatangan Suci, menunggu hacker bayarannya menyerang sistem perusahaan. Anya ingin membuat Suci kelabakan, memperlihatkan pada semua orang betapa gadis itu tak punya kompetensi dan kredibilitas mumpuni. Ia yakin Suci takkan bisa menghadapinya, sebab jabatan IT Support Specialist-nya didapat berkat nama besar neneknya, Widuri.
Kita lihat aja kemampuan si nepobaby ini! pikir Anya, seraya mengirim pesan pada orang suruhannya. “Pertunjukan dimulai!” seringainya licik.
Siang itu, suasana tegang menyelimuti ruang server dan rapat direksi RumahWaktu. Staf IT manajemen panik, menatap layar dengan peringatan merah :
“Data Access Blocked. Ransomware Detected.”
Sistem internal lumpuh, ratusan file proyek penting tak bisa diakses. Di layar, pesan dari peretas terpampang.
“Transfer 200Jt IDR atau data anda kami hapus dalam 48 jam!”
Kepala Bagian IT, Damar, mengumpulkan semua staf IT yang ada di kantor. Mereka mengadakan pertemuan darurat untuk membahas langkah yang perlu diambil.
“Ini bukan serangan biasa. Mereka tahu titik lemahnya. Kalau tidak cepat, kita kehilangan data tiga proyek besar!” pria paruh baya itu berkata tegang.
Suci mengangkat tangan dengan santai. “Pak, boleh saya yang coba menangani? Untuk menguji kemampuan saya juga.”
Damar terkejut, “Sendirian? Kamu… bisa?”
“Ya makanya dicoba, kalau saya gagal, baru tim Bapak bertindak. Bagaimana?” Suci menawarkan dengan penuh senyum.
Melihat optimisme di wajah staf IT baru itu, Damar berusaha percaya. “Do it, whatever it takes!” pesannya.
Suci duduk di depan komputer utama dengan tenang tapi fokus, jari-jarinya langsung menari cepat di atas keyboard.
Suci mengamati sistem, Wah ransomware kelas menengah… script mereka bisa dibongkar dalam dua lapis. Nggak pakai repot, pikirannya bekerja.
Dalam waktu 15 menit, Suci menelusuri jejak masuk peretas, menjebak script mereka, dan membuat bypass ke sistem back-up rahasia yang sebelumnya ia susun diam-diam sebagai cadangan. Data kembali, ransomware dibungkam. Bahkan Suci menyuntikkan sistem pengaman tambahan yang membuat celah itu tertutup selamanya.
Damar terperangah, “Ini mustahil. Dia bukan cuma IT support, dia penyelamat sistem perusahaan kita.”
Semua menatap Suci dengan mata membulat. Ia berdiri, memperbaiki rambutnya, lalu berkata, “Sistem sudah bersih. Tapi saya sarankan update firewall dan enkripsi protokol baru. Saya bisa bantu setting-nya.”
Bapak Arya, Direktur Operasional, yang baru datang ke ruangan itu dan mengetahui kejadian ini, menyalami Suci. “Suci, mulai sekarang kamu bukan sekadar staf IT. Kamu penjaga utama sistem kami. Kami berutang padamu,” katanya dengan wajah penuh terima kasih. “Mulai sekarang kamu menempati jabatan IT System Analyst. Perusahaan ini membutuhkan kemampuanmu di sana.”
Mata Suci berbinar mendengarnya. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih keras agar pantas menempati jabatan itu.”
Tougo yang sejak tadi memerhatikan dari luar ruangan melalui dinding kaca tembus pandang, terkesima. Ia baru melihat sosok Suci yang seperti ini. Gadis itu tampak begitu tenang dan cekatan menangani masalah, jemarinya yang indah menari di atas keyboard komputer membuat Tougo terpesona. Ia suka wanita cerdas, dan saat Suci menampakkan kecerdasannya seperti ini hatinya tertawan. Seandainya dari awal aku nggak pernah pilih Anya. Mungkin aku dan Suci masih akan terus berdua ke mana-mana, ia menyesali keputusannya.
Sejak saat itu, semua staf di kantor mengenalnya, sebagai jenius IT yang berhasil mengatasi serangan sistem dengan cepat. Kejadian ini juga bukti kompetensinya, mengenyahkan keraguan para staf yang awalnya menganggap ia menduduki posisi ini hanya bermodalkan relasi.
Suci ditawarkan jabatan spesial, setiap kedatangannya ke kantor disambut dengan tatapan hormat staf lainnya. Bagi banyak orang, ia bukan cuma staf IT, tapi juga aset tak tergantikan. Fabian yang melihatnya dari jauh memberi senyuman bangga. Sementara Anya hanya bisa gigit jari—rencana liciknya gagal menjatuhkan Suci, malah menjadi batu loncatannya sehingga lebih dihargai.
-oOo-
Setelah skandal yang menyeret nama papanya, Yudha Ricardo Sentani, keluarga Anya perlahan kehilangan hak istimewa yang dulu mereka anggap abadi. Apartemen mewah Anya telah dikosongkan. Kini ia kembali ke rumah orang tuanya, sebuah bangunan besar yang mulai terasa sempit karena ketegangan.
Seperti juga hari ini, di ruang keluarga rumah Anya, tumpukan kardus memenuhi lantai. Anya duduk kelelahan di sofa, wajahnya kosong. Mamanya, Isabelle, sedang memeriksa tagihan listrik sambil bergumam kesal.
“Kamu sudah matikan AC kamarmu belum, Anya? Sekarang listrik harus diirit, nggak bisa seenaknya kayak dulu,” Isabelle melirik putrinya tajam.
“Semua udah aku matiin, colokan hair dryer juga udah dicabut,” Anya menjawab lesu.
“Bagus. Karena mulai sekarang kita harus tekan pengeluaran…seperti orang biasa,” mamanya berujar.
“Maksud Mama, kita bukan orang biasa?” Anya sedikit tersinggung.
Isabelle mendesah, “Seharusnya kita nggak perlu seperti ini…kalau saja Papamu nggak serakah.”
Pintu depan rumah terbuka, Yudha muncul dengan wajah letih dan jas yang lecek.
“Aku baru pulang dari kerja, bisa nggak jangan disambut dengan keluhan yang menyudutkanku begitu?” papa Anya protes, terlanjur mendengar ucapan istrinya tadi.
“Ribuan invoice palsu, anggaran fiktif, manipulasi rekanan—itu bukan kesalahan kecil. Pantas aja kita hancur! Dan sekarang Ibu cuma kasih kamu jabatan Co-CEO dengan digaji, bukan saham! Mana pengeluaran dikontrol,” istrinya menaikkan nada bicara, kesal.
“Kan itu buat kamu juga, siapa yang setiap tahun minta travelling ke luar negeri?” Yudha membela diri.
“Aku bersenang-senang juga ajak keluarga, bareng Anya. Kamu yang seringnya senang-senang sendiri, tiba-tiba beli arloji baru, mobil baru,” Isabella membandingkan.
“Jadi aku harus tinggal di kamar lama, kayak waktu SMA?” Anya menginterupsi pelan.
Yudha menatap putrinya dengan rasa bersalah, “Papa akan perbaiki semuanya.”
“Terlambat!” Isabelle menyahut sinis. “Ibumu lebih pintar dari kamu. Dia bukan cuma ambil alih perusahaan, dia ambil alih harga dirimu juga.”
Sejenak sunyi. Anya mengambil satu kardus, lalu menoleh ke orang tuanya. “Aku nggak peduli soal perusahaan, tapi aku benci merasa jadi beban di rumah sendiri.”
Tatapan Isabelle melembut, “Kamu bukan beban, sayang. Kita cuma sedang belajar…untuk jatuh.”
-oOo-
Tougo duduk di pinggir ranjang kamarnya. Hening, hanya ada suara hujan dari luar jendela. Ia melihat sebuah pigura yang digantungkan orang tuanya di kamarnya. Foto dirinya saat kecil bersama seorang anak perempuan berambut kuncir dua yang menggenggam es krim dan tersenyum lebar ke kamera: Suci.
Dulu, gadis itu yang selalu menemani di sampingnya. Suci kecil yang cerewet, keras kepala, tapi selalu ceria. Sejak mereka TK, SD, hingga SMP, Suci adalah bayangan setianya. Tanpa peduli Tougo sedang marah, malas, atau cuek, gadis kecil itu tetap datang. Menemaninya, mengajak jajan bersama, minta ikut main ke warnet, seolah tak pernah lelah menjadi pengamat hidupnya.
“Tougo, ayo mulai main, kita harus lawan Boss besar!” teringat Suci kecil yang memegang stik PS di kediamannya yang dulu.
Kesadarannya kembali ke masa kini. Ia mengusap wajahnya, sedikit tertawa.
Saat mereka beranjak dewasa, Tougo mulai risih dengan kehadiran Suci yang lekat di hidupnya. Ia mulai gengsi, malu dengan teman-teman lainnya. Suci tidak memberi jarak dan kesempatan Tougo untuk sendiri. Tak peduli ia bermuka masam ataupun ketus, Suci akan tetap menemaninya, seolah berkata: “Nggak apa-apa kamu nyebelin, aku akan tetap di samping kamu.”
Ia ingat ketika remaja, ia menarik Suci saat melihat beberapa anak laki-laki mencari perhatian gadis itu, bercanda dengannya di depan kantin sekolah mereka.
“Kenapa sih kamu marah-marah melulu kalau aku ngobrol sama cowok?” heran Suci waktu itu.
“Mereka lagi caper ke kamu, kamu nggak sadar ya?” Tougo berdecak.
“Tapi… mereka kan teman sekelasku. Masa harus dicuekin?” Suci masih tidak mengerti.
“Pokoknya nggak boleh, kamu kan… katanya bakal nikah sama aku!” Tougo berkata pelan, wajahnya memerah.
“Memang kamu mau nikah sama aku?” Suci tertegun, binar matanya ceria. “Kalau kamu bilang mau, aku nggak akan dekat-dekat cowok lain lagi deh.”
Tougo menutup wajahnya malu, “Iya… mau,” ia sedikit terpaksa, cuma ini cara agar Suci tidak meladeni pria lain lagi.
Waktu itu ia belum paham, itu yang dinamakan cemburu. Ia cuma tahu, ia tidak suka melihat Suci dekat dengan anak laki-laki lain. Tapi ia juga risih saat Suci kerap menempelinya.
Selama ini, ia berusaha keras menjaga pesona Suci untuk dirinya sendiri. Sengaja ketus dan menjatuhkan kepercayaan dirinya, agar gadis itu tidak sampai tebar pesona kepada pria lainnya sekaligus tidak telalu menempelinya. Ia ingin hanya ia saja yang menikmati kemilaunya, agar Suci tetap berada di sisinya, dengan mengatur jarak, tanpa merasa punya pilihan.
Setelah lulus SMA, Tougo pergi ke Bogor, berkuliah, dan menemukan dunia baru. Dia sempat terlupa dengan Suci, disilaukan lingkungan barunya. Ia bertemu dengan gadis-gadis lain yang tampak lebih menawan. Ia juga baru menyadari pesonanya yang mudah memikat para wanita, dengan postur tinggi tegapnya, alis tebal, dan senyum manisnya. Ia tidak menyia-nyiakan itu, beberapa kali ia bergonta-ganti pasangan, karena tidak kunjung menemukan seseorang yang bisa klop dengannya—yang mau mentolerir sifat buruknya sesabar dan setulus Suci. Bahkan setelah lulus pun, Suci masih peduli padanya, memberinya informasi lowongan kerja di kantor tempatnya bekerja, RumahWaktu. Bukannya berterima kasih, Tougo malah menorehkan luka di hati gadis itu, menggantikannya dengan wanita lain. Akibat kebiasaan buruknya yang sulit hilang: menganggap remeh Suci.
Tougo menghela napas panjang, memandangi pantulan wajahnya di jendela. Hujan terus turun.
Dulu meski kuusir dan kusinisin, kamu tetap aja lengket. Kini, seolah dunia memagariku. Aku terlalu lama main-main, baru sadar nggak ada yang setulus kamu, Suci.
Tougo memejamkan mata, lalu tersenyum lirih. “Maaf Ci… aku pernah anggap kamu seperti bekas permen karet yang lengket. Padahal kamu cahaya paling tulus yang pernah hadir ke hidupku.”
-oOo-
Ini kesekian kalinya Anjar mengajak Vinda bertemu di luar keperluan kerja. Vinda merasa semakin mengenal Anjar. Sosoknya yang tengil di depan Fabian, ternyata berubah kalem jika di depannya. Terlalu tenang, hingga tak terbaca.
Ini orang maunya apa sih, ajak jalan melulu, nembak nggak, pikir Vinda kesal. Meski begitu ia mengikuti saja langkah Anjar menuju ke sebuah gedung bioskop di sebuah mal. Mereka memang berjanji bertemu untuk menonton film, meski Vinda belum mengetahui apa yang akan mereka tonton.
Vinda memasuki studio bioskop digandeng oleh Anjar. Ia sempat terkejut menemui bentuk studio yang menawarkan sofa nyaman untuk tempat duduknya.
“Sepi ya,” gadis itu melayangkan pandang ke seantero ruangan yang lengang. Ia pikir, mungkin film yang akan mereka tonton kurang laku.
“Memang studio ini udah aku pesan untuk kita aja,” Anjar menjawab tenang, mengejutkan gadis yang duduk bersamanya.
Vinda mulai gugup. Apa ini waktunya ya? ia menebak-nebak dengan irama jantung yang semakin cepat.
“Aku mau kamu mengenal aku dulu lewat film ini, sampai ke hal yang paling sulit dipercaya,” Anjar mengungkapkan pikirannya.
“Oh, oke,” Vinda semakin penasaran mengenai film apa yang akan ia tonton.
Sejenak studio meredupkan lampunya, layar yang menyala menunjukkan judul film: ‘Kisah Dibalik Semburat Senja Ungu’.
Kisahnya menarik dan seru, tentang orang-orang yang masuk ke dimensi aneh dengan senja ungu yang indah. Ceritanya berpusat pada tiga tokoh: Zea sebagai tokoh utama wanita; sisanya Durio, pemeran pria yang selalu melindunginya, dan Glysine, pemeran pria yang awalnya antagonis, namun berubah baik dan mengikuti Zea dengan loyalitas karena pernah ditolongnya meski pernah menjahatinya dan Durio. Mereka bertiga berjuang menuntaskan misi yang sama, untuk bisa kembali pulang, menghadapi berbagai macam arwah dan rintangan di tengah jalan. Vinda terpukau dengan alur ceritanya. Begitu film selesai, Vinda tampak terharu.
“Jadi gimana, seru?” tanya Anjar memastikan. Gadis yang bersamanya hanya mengangguk, masih terkesan dengan kisah yang baru saja ditontonnya.
“Tapi apa hubungannya ini dengan masa lalu kamu?” tanya Vinda.
“Kisah itu pernah aku alami, ketika dalam state koma,” Anjar akhirnya membongkar hal yang besar baginya. Ini pertaruhan untuknya: akankah gadis itu percaya atau menganggapnya gila. “Aku Glysine di cerita itu,” akunya lagi.
Vinda tercekat, tidak tahu harus merespon apa. Cerita tadi tampak sangat fiktif, apalagi dengan kehadiran Grim Reaper yang jadi semacam pemandu di dunia itu.
“Dan meski nggak dijelaskan di film, Zea dalam cerita itulah cinta masa laluku,” Anjar mengungkapkan. “Itu gambaran ya, namanya juga disamarkan. Tapi karakter dan kelakuannya kurang lebih sama seperti itu. Dia bahagia dengan Durio sekarang.”
“Yang membuat kamu susah move on?” tebak Vinda, teringat obrolan Anjar dengan Fabian. Anjar sendiri terkejut mendengar celetukan Vinda. Namun karena hari ini Anjar bertekad untuk jujur, ia akan mengungkapkan semuanya. Pemuda itu mengangguk. “Aku yang di sini punya banyak luka yang nggak terlihat, bahkan jiwaku bermasalah. Aku punya BPD akibat pola asuh orang tuaku dulu.”
“BPD?” Vinda mencoba mengartikannya.
“Borderline Personality Disorder, gangguan kejiwaan. Aku bisa terpicu kalau terlalu terguncang, sampai bisa lupa diri, disosiatif, atau panic attack,” Anjar menjelaskan. “Aku selama ini rutin ke psikolog untuk menekannya, tapi itu bisa sewaktu-waktu kambuh lagi kalau jiwaku tertekan atau emosiku terguncang.”
Vinda yang mendengar semua langsung dari mulut Anjar terperangah, ia tidak mengira dalam diri Anjar yang tampak normal, kehidupannya lebih rumit daripada yang ia kira.
“Intinya aku nggak mau kamu seperti beli kucing dalam karung. Aku jabarkan ini semua secara terang-terangan, supaya kamu nggak merasa terjebak nantinya dan menyesal,” Anjar menunduk, kepercayaan dirinya menurun.
“Aku terlanjur nyaman sama kamu, Vinda. Tapi aku nggak punya cukup kepercayaan diri akan bisa membahagiakanmu dengan diriku yang begini. Tapi sejujurnya aku cinta sama kamu, ingin kamu bahagia,” Ia bingung menjelaskannya.
“Bersedia!” sahut Vinda cepat.
“Hah?” Anjar terkejut mendapatkan respon itu.
“Intinya kamu mau tanya apa aku mau terima kamu yang seperti ini, kan?” Vinda menebak dengan tepat. “Aku bilang aku bersedia, aku akan ambil semua risikonya. Semua orang juga ada kekurangannya, Jar, itu biasa,” ia menenangkannya, berharap kepercayaan dirinya bisa bangkit.
Anjar mengernyitkan dahi, “Jadi kamu mau…”
“Mau!” Vinda menyela, yakin.
Anjar yang terkejut hanya bisa tertawa dan mengucek-ucek pangkal kepala Vinda dengan gestur sayang. “Okay, mulai sekarang kita jadi pasangan, ya?”
Vinda mengangguk, “Syaratnya kamu nggak boleh insecure lagi selama bersamaku!”
“Tunggu, memang kamu beneran suka sama aku?” Anjar belum yakin mengenai perasaan gadis itu.
“I love you to the moon, and back, and to other galaxy, and maybe another nebula, and back again!” Vinda menjelaskan dengan caranya.
Anjar yang mendengarnya tersanjung dalam tawanya. Ia merasa bersyukur dapat bertemu dengan gadis seunik ini dan diterima sebagai pasangannya. “Don’t exaggerate it!” responnya, masih tak bisa percaya.
“Kamu dibilangin nggak percaya!” Vinda manyun. “Kamu mungkin punya kemampuan lebih bisa melihat yang nggak terlihat. Aku juga sebenarnya punya kemampuan lebih, bisa melihat karakter orang dengan tepat. Dan aku yakin banget kamu pria baik yang akan bisa membahagiakan aku,” ia mengatakan dengan percaya diri.
“Jadi panggilan sayang kita apa nih?” Anjar mempertanyakan.
“Hah?” kali ini Vinda yang planga-plongo.
“Kita pacaran kan, kita panggilan sayangnya apa?” Anjar menanyakan.
Vinda pening. “Jar, kita udah dua puluhan tahun ya.”
“Ya nggak apa-apa, aku mau pakai panggilan sayang sampai setelah nikah dan terus sampai manula kok,” Anjar bersikeras. “Kamu maunya apa? Sayang? Cinta? Beb? Honey? Baby? Sweetheart? Oppa? Yobo?”
Vinda membekap mulut bawel Anjar karena geli mendengarnya.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya