Aku tak tahu bagaimana caranya aku sampai di sini—di dalam kenangan yang bukan sepenuhnya milikku.
Semua terasa nyata, tapi tak dapat kusentuh. Seperti berjalan di dalam air yang tidak membasahi kulit. Dunia ini lembut, bisu, dan memutar satu adegan: sungai kecil yang menjadi saksi masa kecilku.
Tapi kali ini, aku bukan diriku sendiri.
Aku... melihat sebagai dia.
Sebagai wanita itu.
Aku berdiri di tepi sungai yang asing namun akrab. Airnya jernih, batu-batunya membentuk lintasan kecil di mana lumut tumbuh tipis. Burung-burung berkicau, langit memutih oleh cahaya pagi yang lembut.
Di seberang sungai, dua anak bermain—aku sendiri, dan Ethan kecil.
Aku tahu ini bukan mimpi. Ini kenangan. Bukan sepenuhnya milikku, tapi aku bisa merasakan hangatnya air, tawa Ethan, bahkan bau tanah basah yang terseret angin.
Tiba-tiba, suasana berubah. Langit meredup.
Ethan kecil menunjuk ke arah sela batu besar yang menjorok ke sungai, tempat kami dulu menemukan kalung giok itu. Kami berdua berjongkok, menggali di antara lumut dan kerikil, dan...
Kalung itu muncul—bersinar samar, seperti menunggu ditemukan.
Tapi kali ini, aku melihat sesuatu yang tak pernah kusadari sebelumnya:
Tangan putih pucat, nyaris tak terlihat di bawah arus sungai, menjulur pelan, lalu menghilang begitu kalung itu terangkat.
Dan kemudian… peristiwa itu mulai terulang.
Air tiba-tiba meluap. Deras, dingin, dan datang tanpa peringatan. Aku kecil terpeleset, tubuhku terbawa arus, terseret ke bagian sungai yang lebih dalam. Aku berteriak. Ethan memanggil namaku panik, lalu lari ke arah pelayan.
Aku kecil berusaha menggapai apa pun—batu, ranting, apa saja. Tapi tiba-tiba…
Ada tangan lain.
Bukan Ethan.
Seorang anak laki-laki—mirip Ethan, tapi bukan dia. Matanya sedikit lebih gelap, dan ekspresi wajahnya… aneh. Tenang, tapi penuh kekhawatiran. Ia tak bicara, hanya memandang, lalu menjulurkan tangan.
Ia berusaha menarikku. Tapi tangannya tak bisa menyentuh kulitku. Dunia kami berbeda.
Ia lalu menoleh. Melihat ke arah pemuda yang sedang memancing di hulu sungai.
Dan ia berteriak.
“Tolong dia!”
Pemuda itu tersentak. Seperti baru sadar ada suara. Ia menoleh, panik, lalu melihat tubuh kecilku yang nyaris tak terlihat di antara pusaran arus. Ia melemparkan tongkat bambu ke sungai, dan entah bagaimana—tanganku berhasil menggenggamnya.
Bukan karena aku melihat bambu itu. Tapi karena tangan anak laki-laki itu membimbingku.
Tubuhku terseret ke tepian. Nafasku berat. Pemuda itu menepuk-nepuk punggungku, berusaha mengeluarkan air yang sempat kutelan. Lalu dengan sigap menggendong tubuh basahku ke klinik.
***
Aku—masih dalam tubuh wanita itu—melangkah ke tepi sungai. Langkah-langkahku tidak mengusik rumput, tidak meninggalkan jejak. Tapi ada kehadiran di sana. Ada waktu yang membeku di antara bebatuan.
“Kalung itu,” bisiknya lirih di telingaku, “seharusnya kujadikan jimat untuk anakku. Tapi hari itu... aku kehilangan kesempatan. Aku kehilangan semuanya.”
Aku menggenggam liontin giok yang kini tergantung di leherku. Batu itu berdenyut perlahan, seperti merespons ingatan yang baru saja dibuka kembali.
Wanita itu berdiri di sisiku, gaunnya melambai tertiup angin tak kasatmata. Matanya basah, tapi senyumnya lembut.
“Terima kasih... telah melihat dia.”
“Kebanyakan orang hanya mencari cahaya. Tapi kau... kau tak takut pada bayangan.”
Lalu, perlahan, dunia kenangan itu mulai memudar.
Sungai memucat.
Angin berhenti.
Wanita itu menyentuh dahiku, seperti seorang ibu memberkati anaknya sebelum tidur. Dan sebelum semuanya menjadi gelap, aku mendengar suaranya sekali lagi:
“Temukan kuncinya... dan bawa dia pulang.”
Lalu dunia kenangan kembali bergetar.
Gambaran sungai memudar. Cahaya giok membias. Waktu meremas dirinya keluar dari pusaran memori, dan aku terbangun dengan napas tersengal di atas kasur.
Tanganku masih menggenggam kalung giok. Dan di balik tirai kamarku, suara kecil terdengar lagi.
“Orang yang membawaku ke sini memanggilku… Mari,” bisiknya.
***
Pagi datang dengan langit yang kelabu. Rumah Pakde Raka masih sepi. Ibu belum pulang dari rumah sakit, dan anak-anak masih tertidur di kamar. Di luar, daun randu berjatuhan pelan satu per satu. Sunyi. Tapi pikiranku berisik.
Aku duduk di lantai ruang tengah, memandangi kalung giok yang masih menggantung di leherku. Kilau emeraldnya tidak sekuat tadi malam, tapi aku tahu—energi di dalamnya belum benar-benar padam.
Semua terasa seperti serpihan yang belum selesai kusatukan. Tapi satu nama terus berputar di benakku: Mari.
Dan tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
***
Aku membuka koper besar yang kubawa dari Temanggung, yang kini diletakkan di pojok ruang tamu. Di bawah tumpukan map plastik dan fotokopi artikel lama, kutemukan satu bundel berisi dokumen hasil penyelidikan awal kami—aku, Lintang, dan Dira. Kami menyebutnya "fase penelusuran awal tentang Ethan", sebelum semuanya menjadi terlalu personal.
Kertas-kertas itu sudah mulai menguning, ujungnya lecek. Beberapa berkas sudah lama tak kusentuh. Tapi saat kubuka satu folder berlabel "Jejak Riwayat Non-Resmi", aku langsung melihat nama itu.
Dalam catatan liburan keluarga Van der Maes di Cisarua, disebutkan bahwa:
“seorang pelayan bernama Mari kerap mendampingi Daniel saat masa pemulihan.”
Daniel. Anak yang selamat dari kecelakaan. Anak yang disebut punya “donor internal”. Anak yang harusnya satu-satunya.
Tapi tidak mungkin semuanya sesederhana itu.
Dan kemudian aku menemukan satu halaman yang dipindai Dira dari memo internal rumah sakit keluarga.
Hanya sebagian yang terbaca—scannernya terlalu tua, kertas aslinya lembap dan rusak. Tapi kalimat-kalimat yang muncul seperti pecahan ledakan kecil di dadaku:
“Subjek paling menjanjikan menunjukkan stabilitas emosi saat dipisahkan dari donor utama.”
“...protokol pendampingan spiritual telah dicoba melalui unit eksternal: caregiver 'M'...”
“Anak donor biologis harus tetap tidak dicatat secara sipil. Statusnya hanya tersimpan dalam lini eksklusif arsip rumah tangga.”
Tangan dan tengkukku mulai dingin. Tapi aku terus mencari.
***
Di dalam kotak arsip linen rumah sakit—yang dulu ditemukan Lintang saat ia tanpa sengaja menyortir logistik donasi lama dari rumah keluarga Van der Maes—terselip satu benda yang waktu itu kami anggap tidak penting:
Pakaian bayi kecil berwarna abu-abu, bersih tapi lusuh. Ukuran yang sama dengan milik Daniel. Dan di bagian labelnya tertulis:
“Objek Cadangan #04.”
Kami dulu mengira itu hanya sandi logistik. Tapi sekarang aku punya hipotesis baru: mereka memberi nomor pada anak-anak.
Dan #04… bisa jadi anak yang wajahnya masih kabur dalam mimpiku.
Anak yang wajahnya mirip Ethan, tapi tak pernah dipanggil namanya.
***
Aku menyandarkan tubuh ke kursi kayu tua, jantungku berdegup tak teratur. Kupikir dulu ini semua hanya misteri supranatural. Tapi ternyata, ada tangan manusia yang ikut membentuknya. Dengan eksperimen. Dengan sistem. Dengan penghilangan.
Dan Pakde Raka...
Aku kembali membuka salah satu album foto lawas—yang halaman-halamannya sudah pernah kulihat. Tapi kali ini aku melihatnya dengan mata berbeda. Di foto KKN tahun 1981 itu, Pakde duduk di bangku plastik, memegang alat tensimeter. Di sebelahnya, seorang wanita muda berambut hitam gelombang, dengan kulit legam dan sorot mata yang tajam.
Di lehernya... kalung giok.
Aku menatap lama. Lalu membalik foto itu.
Ada tulisan tangan samar dengan tinta spidol tua:
“KKN – Klinik Cisarua. Dosen: Dr. Rachman. Koordinator lapangan: Raka.
Subjek pendampingan: Mari (non-lokal, klasifikasi suksesor).”
Suksesor.
Aku membacanya berkali-kali.
Mereka tak pernah menulisnya sebagai pelayan. Mari bukan sekadar pengasuh. Ia adalah bagian dari program, mungkin eksperimen, atau... penyelamatan. Tapi entah menyelamatkan siapa.
Daniel?
Atau anak keempat yang tak pernah tercatat?
Atau... dirinya sendiri?
Dan jika Mari adalah bagian dari program itu—lalu menghilang begitu saja—mungkin ia bukan hanya korban. Tapi saksi. Atau lebih dari itu... ibu dari kebenaran yang selama ini disembunyikan.
***
Di luar, angin mulai berembus pelan.
Aku menatap kalung itu.
Lalu menghela napas, dan berbisik pada diri sendiri:
“Kalau aku tidak mencari beliau... siapa lagi?”
Aku menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya mengetik pesan kepada Dr. Sora.
“Dok, saya Rembulan. Boleh minta waktu sebentar? Ada hal penting yang ingin saya tanyakan langsung.”
Kupikir beliau akan lama membalas. Tapi tak sampai lima menit, layar ponsel menyala. Balasannya singkat:
“Bisa. Datang ke ruang praktik besok jam 10 pagi, ya.”
Aku menggenggam ponsel itu lebih erat dari seharusnya.
Ada banyak pertanyaan yang ingin kulemparkan saat ini juga. Tapi aku tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikannya lewat teks. Aku ingin menatap matanya ketika kutanya: siapa sebenarnya anak itu?
Di luar, matahari sudah mulai turun ke barat. Suara serangga mulai mengambil alih halaman rumah, dan bayangan pohon randu memanjang ke lantai seperti tirai masa lalu yang belum ditutup.
Besok, mungkin aku akan mendapat jawaban.
Tapi malam ini, aku harus berani menghadapi yang belum selesai.