Pagi datang dengan langit pucat, seperti selembar kertas buram yang belum ditulisi. Jalanan menuju klinik tempat praktik Dr. Sora di Bogor masih basah oleh embun, dan di sepanjang trotoar, suara sepeda tua bersaing pelan dengan langkah kakiku sendiri.
Aku tiba lebih awal. Lima belas menit sebelum pukul sepuluh.
Klinik itu tak berubah. Pintu kayunya masih mengeluarkan derit lembut saat dibuka, dan bau antiseptik halus masih menyelimuti lorong masuk. Di ruang tunggu hanya ada satu pasien lansia yang tampak tertidur sambil memeluk tas kecilnya. Aku duduk diam. Jantungku berdetak dengan pola tak teratur. Sesekali kutatap pintu berlabel "PRIVAT" di ujung lorong, seolah berharap waktu melompat lebih cepat.
Sepuluh lewat dua, pintu itu terbuka.
“Rembulan,” suara itu lembut tapi langsung menusuk kesadaranku.
Dr. Sora berdiri di sana, mengenakan batik abu-abu dan celana kain hitam. Wajahnya masih ramah, tapi tampak lebih letih dari terakhir kali kulihat. Seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak masa lalu di dalam dirinya.
Aku masuk pelan-pelan.
Ruang praktiknya sederhana, tapi hangat. Ada satu rak buku tinggi, meja kayu yang mengkilap, dan lukisan kecil berbingkai emas tergantung miring di dinding—lukisan bunga flamboyan. Aku mengenal bentuk itu. Lambang yang pernah muncul dalam surat Ethan. Pohon tempat aku dan Ethan menggantungkan papan kayu berisi janji untuk berteman selamanya.
Kami duduk berhadapan. Tak ada pengantar basa-basi. Dr. Sora menatapku, dan aku langsung bertanya:
“Apakah Daniel satu-satunya anak laki-laki dalam generasi terakhir Van Der Maes?”
Ia diam. Lama. Jarinya bergerak pelan di atas meja, seperti sedang meraba-raba kenangan yang tertimbun.
Akhirnya ia menjawab. Suaranya rendah, seolah berkata pada dirinya sendiri:
“Secara dokumen resmi, ya. Tapi… aku pernah dengar desas-desus.”
“Ayah Daniel pernah membawa seorang perempuan ke luar negeri untuk melahirkan. Katanya demi... eksperimen penyelamatan keturunan.”
Aku mencengkeram ujung rokku.
“Siapa perempuan itu?”
“Namanya tidak pernah dicatat secara jelas. Tapi dari cerita yang beredar… ia bukan istri. Bukan juga pendonor biasa. Ia dibawa ke sana—disiapkan secara khusus.”
Dia menatapku dalam-dalam.
“Dan beberapa tahun setelah itu… semua catatan tentang hal itu dimusnahkan. Mereka bilang... demi menjaga nama baik Daniel. Karena Daniel lahir sempurna. Sehat. Simbol kejayaan keluarga.”
“Tapi kamu tahu, Rembulan. Tak semua yang disembunyikan bisa dikubur selamanya.”
Aku hanya menunduk. Tak sanggup langsung merespons. Semua di kepalaku bergerak seperti lembaran yang ditiup angin, tapi justru kini terasa lebih utuh.
Nama Mari.
Kalung giok.
Anak laki-laki bermata hazel yang mirip sekali dengan Ethan.
Pakaian dengan label "Objek Cadangan #04."
Dan aku... satu-satunya yang masih bisa melihat mereka semua.
***
Dr. Sora bersandar, lalu menarik satu map kecil dari laci. Ia meletakkannya di atas meja.
“Ini salinan memo internal rumah tangga Van Der Maes yang tersisa. Tidak lengkap. Tapi... aku tahu kamu butuh melihatnya.”
Tanganku gemetar saat menyentuhnya.
Satu langkah lagi.
Satu potongan lagi dari kebenaran yang selama ini hanya bisa kulihat dari balik mimpi.
Aku memejamkan mata.
Potongan-potongan itu mulai menyatu.
Tidak semua kebenaran ada di arsip.
Beberapa hidup dalam kaca. Dalam bisikan. Dalam luka yang diwariskan diam-diam.
"Tunggu aku," bisikku pada anak itu, dalam bayangan pantulan kaca di pintu masuk klinik.
"Aku akan membukanya."
***
Map itu ringan di tangan, tapi isinya terasa berat. Berat seperti waktu yang menumpuk. Berat seperti kebenaran yang terlalu lama ditahan oleh orang-orang yang hidup dalam kepura-puraan.
Aku membawanya pulang tanpa berkata banyak pada Dr. Sora. Ia hanya mengangguk saat aku berpamitan, dan dalam tatapan matanya, aku tahu—ia menyerahkan sesuatu yang dulu bahkan ia sendiri takut untuk menyentuhnya.
Di kamar, saat anak-anak Pakde Raka sudah tertidur, aku membuka map itu dengan napas tertahan.
Halaman pertama adalah sepucuk surat.
Tulisan tangan pria tua, bergelombang dan ragu. Namun masih terbaca:
"Saya menulis ini bukan karena ingin mengkhianati keluarga yang membesarkan saya, tapi karena saya tahu... beberapa dosa tidak boleh diwariskan. Saya terlibat dalam program awal penyelamatan garis keturunan Van Der Maes-Sutrisno. Anak-anak yang dilahirkan bukan untuk dicintai, tapi untuk mewakili ideologi."
"Salah satunya lahir lewat jalur yang tidak pernah dicatat secara hukum. Ia adalah hasil penyatuan desain. Eugenika. Dan saat tumbuh, ia menunjukkan kemiripan dengan pewaris utama. Terlalu mirip."
"Kami menyebutnya sebagai 'subjek cadangan', tapi bagi kami—dia adalah kebenaran yang tak bisa diceritakan. Dan kini, kebenaran itu menghantui yang tak bersalah."
Tertulis di akhir surat itu nama seseorang.
Dr. R. A. Liem.
Nama yang langsung memicu sesuatu di kepalaku.
Itu nama yang dulu disebut Lintang—sebagai kerabat jauh dari ibunya. Dulu kami menganggapnya hanya bagian kecil dari pohon keluarga yang rumit. Tapi sekarang, dia adalah saksi hidup dari sejarah kelam yang ditutupi lapisan demi lapisan kebohongan.
***
Halaman berikutnya lebih rapi. Laporan medis.
Tabel. Grafik. Frasa-frasa kering yang membuat kulitku bergidik:
"Dua anak lahir dengan susunan genetik identik, namun dari kandungan dan induk berbeda."
"Pemisahan dilakukan sejak usia dini, dengan tujuan melihat efek keterikatan emosional pada perkembangan neurologis dan respons sosial."
"Disimpan untuk keperluan darurat.”
"Pendamping spiritual ditugaskan untuk membangun keterikatan semu—agar anak tetap menunjukkan tanda keseimbangan walau hidup dalam bayangan."
Aku berhenti membaca. Tanganku dingin. Mataku mulai panas.
Anak itu bukan sekadar korban. Ia adalah hasil dari eksperimen.
Simbol paling menyakitkan dari sejarah yang ingin disangkal oleh keluarga yang mengagung-agungkan kesempurnaan. Anak yang tidak dicatat karena terlalu mirip dengan anak yang dijadikan lambang. Anak yang tak pernah dimaksudkan untuk dikenang.
Tapi kini... ia hadir dalam mimpi, dalam kaca, dalam kalung warisan ibunya yang ditenggelamkan waktu. Dan aku... aku ada di tengah-tengahnya.
***
Aku duduk diam lama di lantai. Di luar, suara jangkrik mulai menggantikan angin sore. Tapi aku masih belum bergerak.
Keluarga ini—keluarga Van Der Maes—tidak hanya mewariskan kekayaan. Mereka mewariskan penyakit, kebohongan, dan luka. Dan sekarang, luka itu mengejar generasi baru.
Mengejar aku.
Aku yang dulu hanya ingin memahami kenapa Ethan menghilang. Aku yang cuma ingin membantu anak-anak yang muncul dalam mimpi.
Ternyata... aku bukan orang luar.
Aku bagian dari cerita ini.
Bagian dari luka yang diwariskan. Dan mungkin... bagian dari cara menyembuhkannya.
***
Kalung giok itu terasa hangat di kulitku. Ukirannya kini seolah bergerak pelan, berdenyut seiring degup jantungku.
Dan bisikan itu muncul lagi, bukan dari luar, tapi dari dalam pikiranku sendiri:
“Temukan kuncinya… dan bawa dia pulang.”